4
PEMBANTU BARUKU TERNYATA .... 4






"Mama, kenapa, Ma?" Aku dan Mas Rama menghampiri Mama yang tengah berkacak pinggang di depan Bi Mina. Sedangkan wanita itu, ia hanya diam tanpa melakukan apa-apa.

"Rama, dia kok ...."

Mama tidak melanjutkan ucapannya setelah melirik ke arah suamiku. Dari ekor mata, aku bisa melihat jika Mas Rama memberikan isyarat dengan melebarkan mata kepada ibunya itu.

Sepertinya Mama tahu sesuatu tentang Bi Mina ini. Jika tidak, tidak mungkin dia langsung marah-marah saat melihat Bi Mina berada di rumahku.

"Ekhem, aduh, kok sepertinya Mama haus, ya Mel. Kita ke dapur, yuk, Mama mau minum ini," ujar Mama dengan******tenggorokannya.

Aku hanya mengangguk dan kembali ke dapur sesuai dengan keinginan Mama. 

"Mama datang ke sini, kok gak bilang-bilang. Tahu gitu, Mel akan masak banyak untuk menyambut kedatangan Mama." Aku memberikan segelas air putih untuk ibu mertuaku.

"Namanya juga sudah tidak sabar pengen melihat cucu, Mel. Setelah Rama memberi kabar kalau kamu dan bayimu sudah pulang, Mama langsung saja datang ke sini. Maaf, ya Mama tidak bisa menemani kamu waktu di rumah sakit," ujar Mama terlihat tulus.

Rumah Mama berada di kampung halaman Mas Rama, yaitu di Cianjur. Sedangkan aku dan Mas Rama saat ini tinggal di Kota Jakarta. 

Dulunya, Mas Rama adalah perantau yang bekerja di perusahaan Papa. Seringnya kita bertemu di kantor, membuat aku dan Mas Rama semakin dekat, hingga akhirnya dia memberanikan diri melamarku untuk ia jadikan istri.

Bak gayung bersambut, aku pun menerima pinangannya. Karena memang aku pun memiliki perasaan yang sama kepada Mas Rama. 

Tidak berselang lama dari pernyataan cintanya padaku, aku dan dia akhirnya menikah. Semua orang berbahagia dengan pernikahan kami. Tidak terkecuali kedua orang tuaku yang memang sangat menyukai kepribadian Mas Rama yang baik dan ramah. Dia pun sangat bertanggung jawab dalam mengurus perusahaan Papa yang kini Papa percayakan kepada suamiku.

Setelah dua tahun pernikahan, aku dan Mas Rama dikaruniai seorang putra yang baru saja aku lahirkan empat hari yang lalu. 

Terlalu menyakitkan jika kecurigaanku tentang Mas Rama yang berselingkuh, benar adanya. Aku tidak akan bisa memaafkan kedua orang itu jika terbukti mereka mengkhianatiku. 

"Mel, kok diem aja, kenapa?" tanya Mama sembari menggoyangkan lenganku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya secara perlahan. Sesak dadaku jika harus menerima pengkhianatan dari suami yang amat aku cintai.

"Tidak, Ma. Apa Mama mau sarapan? Akan Mel, ambilkan." 

"Ah, tidak Mel. Mama tidak lapar, Mama hanya ingin melihat cucu Mama, boleh?" Mama menghentikan tanganku yang hendak mengambil roti bakar untuk Mama. Lalu ia alihkan dengan bertanya tentang Raka.

"Tentu saja boleh, Ma. Masa lihat cucunya tidak boleh. Ayo, kita ke kamar," ujarku membuat kedua sudut bibir Mama terangkat ke atas.

Dengan antusias, Mama mengikuti langkahku menuju lantai dua rumahku. Masuk ke dalam kamar utama yang menjadi kamarku dengan putranya.

"Ya ampun, Melodi, kamar kamu luas sekali. Kamu tidak capek membersihkan kamar sebesar ini?" tanya Mama dengan mata yang memindai ke seluruh ruangan. 

Ini memang baru pertama kalinya Mama datang ke rumahku. Dulu, saat Mama datang berkunjung, aku masih berada di rumah yang lama. Rumah yang saat ini ditempati oleh kakak tertuaku.

"Oh, ya ampun tampan sekali kamu, Nak." Mama mengelus pipi Raka dengan jari telunjuknya. Senyum bahagia begitu terlihat di wajahnya.

"Iya, dong Ma, pasti tampan. Siapa lagi ayahnya." Mas Rama yang baru saja masuk, menimpali ucapan Mama. Kini kedua tangan Mas Rama kembali memeluk pinggangku dari belakang.

"Lho, Mas. Aku kira kamu udah berangkat kerja, dari tadi aku gak liat kamu," kataku heran. Pasalnya sejak Mama datang aku tidak lagi melihat suamiku.

Apa dia mojok bersama pembantu itu? 

Ah, bisa-bisanya dia memanfaatkan kehadiran Mama jadi momen mereka berduaan.

"Mana bisa aku berangkat ke kantor tanpa pamit sama jagoanku. Tadi ... Mas dari luar dulu, manasin mobil."

Mas Rama berjalan ke arah ranjang Raka dan menggendong bayi merah itu.

"Jangan dicium, Ram. Kasihan kulitnya yang bersih nanti ternoda oleh bibirmu." Mama menggerutu menasehati putranya yang hendak mendaratkan bibirnya di pipi anakku.

"Emang gak boleh, ya Ma?" tanya Mas Rama.

"Gak boleh!"

"Kata dokternya emang gak boleh gitu?" tanyanya lagi dengan menatap Mama dan aku secara bergantian.

"Kata Mama. Nanti nakalnya kamu, nular sama anakmu." Mama mengambil alih bayiku dari gendongan Mas Rama. Aku hanya terkekeh melihat anak dan ibu itu.

"Yaudah, kalau gak boleh cium anaknya, mamanya aja yang aku cium. Eh, sama neneknya juga, deh." 

Aku dan Mama tergelak melihat tingkah Mas Rama. Dia mencium pipiku dan Mama bergantian. 

Saat aku akan mengambil tas kerja Mas Rama, tidak sengaja mataku melihat Bi Mina yang tengah berdiri di ambang pintu yang terbuka. Matanya terlihat sendu dengan menatap ke arah Mas Rama yang sedang bergurau dengan Mama. 

Setelah menyadari jika aku tengah melihatnya, ia pergi dengan mengusap kedua matanya bergantian.

Bi Mina menangis?

Kenapa memangnya? 

Oh, jangan-jangan dia memang iri melihat kedekatan Mama dengan cucunya. Atau cemburu melihatku yang selalu mendapatkan perlakuan lembut dari Mas Rama. 

Nikmati saja kesakitanmu, Bi. Siapa suruh menjadi duri dalam rumah tanggaku. 

Tidak sadar diri!








Bersambung















Komentar

Login untuk melihat komentar!