Bab 5
Pov Mas Fahmi

"Lalu, kapan pernikahannya dilaksanakan?" tanya Avika membuyarkan ketegangan di antara kami. Dia jadi terkesan sangat tak sabar alias kebelet kawin jika sudah seperti ini. 

"Lebih cepat lebih baik," timpal Om Yunus. Wow, calon mertuaku ini sungguh-sungguh diluar pikiranku rupanya. Beliau tampak mendukung sekali dengan niat kami. Harusnya ia menimbang terlebih dahulu. Bagaimana nasib Avika kedepan jika bersuami lelaki sepertiku.

"Secepatnya itu kapan, Yah?" tanya Avika lugu. Ck, dasar gadis gampangan. Dia kenapa bodoh sekali. 

Teruntuk kalian yang masih menjomblo dan hendak menikah. Pastikan untuk memilih lelaki yang jelas bibit, bebet dan bobotnya. Jangan terlalu polos juga jangan terlalu mudah percaya. Sebab yang lebih******dariku masih sangat banyak diluaran sana. 

"Kalian menikah siri saja dulu. Tunggu Fahmi benar-benar mapan baru langsungkan resepsi." Om Yunus bernada sinis sekali.  Dia menyindirku, begitu?

"Jangan khawatir Om, saya janji akan sepenuhnya bertanggung jawab pada Avika," kataku penuh percaya diri. 

*** 

Motor butut milik Doni melaju sangat pelan dan berisik. Maklum saja, ia memang senang berganti knalpot. Belum lagi jika sudah menjelang pergantian tahun baru. Bisa-bisa lebih berisik daripada suara letupan kembang api yang ada.

"Turun sini aja, Don," kataku meminta menepi. 

"Mau kemana?" tanyanya. 

"Males nih balik kerumah," kataku cuek seraya melompat dari boncengannya. 

"Mi, jangan semakin jauh deh ama Avika. Kenapa nggak jujur aja sih kalau mau kawinin anak orang?" Ia mulai ceramah. Kali ini mesin motor ikut dimatikannya. Dia bawel sekali. 

"Gue, serius kawin? Enggaklah, males banget terikat sama hal yang begituan," kataku sambil mengendikkan bahu. 

"Ya Ampun, serius lo kalo ngomong. Jangan mainin anak orang, gila lo!" Doni nyolot. Ia turun dari motornya. 

"Suka-suka lah, ngapain sih ikut campur. Awas kalo lo buka mulut," sungutku tak kalah kesal. 

"Ini udah nggak bener!" Doni membentak. Ya, aku memang tau ini tidak benar. Tapi, biarlah. Aku hanya bermain-main saja. Apa salahnya?

Tak mau ambil pusing dan berdebat lagi. Aku bergegas saja membalik badan berlalu dari hadapannya. 

"Terserah lo ajalah, hari ini terakhir kali gue anterin. Besok enggak lagi." Ia kembali menyalakan motor. Tanpa lagi menoleh ke arahku, ia melajukan si butut miliknya memasuki gang menuju rumah.

"Hidup gue, terserah gue mau dibawa kemana. Nggak usah ngurusin apalagi nyeramahin. Gak mempan!" 

*** 

Menikmati sesuatu berbentuk serbuk yang dihisap itu luar biasa enak sekali. Melayang, tenang, damai. Ah, surga dunia rasanya. Tapi, masih nikmat surga yang diberikan Avika padaku. Gadis itu, pandai sekali menyenangkanku. 

"Uhuk! Uhuk!" Roni tersedak. Ia tak pandai sepertiku. Maklum, baru pemula. 

"Pelan aja, kalem, nikmati tiap hisapannya," kataku seraya menepuk pundaknya. Kami sedang berpesta di kostan milik Juned. Pesta yang melenakan dan melayangkan kami dalam kenikmatan. 

"Nggak pulang lo?" tanya Bang Juned. Senior yang juga agen kami. 

"Enggaklah Bang, bisa di hajar Bokap kalau gue teler begini. Hahahahahaha," tawaku melengking. Meski setengah sadar, aku masih bisa mengendalikan diri. Tak seperti teman-teman yang lain. Maklum, aku memang sudah ahli. 

Teman yang buruk membawa pada lembah yang buruk. Terwarnai atau mewarnai adalah pilihan. Namun, aku telah kalah karena tak melawan. Kemaksiatan ini menjebakku semakin dalam. Menarik lagi dan lagi. Hingga terlena dan tak tau cara untuk kembali. 

*** 

Hari-hari berjalan seperti biasa. Herannya, kedua orang tuaku tak pernah menaruh curiga. Sebab apa? Permainanku sangat rapi. Lidah yang sering berkelit membuat siapa saja mudah percaya. Kedustaan dan kebohongan merupakan sesuatu yang sudah lumrah kulakukan. 

"Bu, minta duit," kataku. Kulihat Ibu sedang memasak di dapur. Ada banyak sembako yang sedang di rapikannya. Mbak Rina, kakak pertamaku. Tadi datang mengantarkan uang dan sembako. 

"Kemarin bukannya sudah dikasih, Mi?" tanya Ibu. 

"Kan, dipake bayar arisan," kataku berbohong. Padahal uangnya sudah kugunakan untuk berpesta.

"Ibu nggak ada uang, coba minta Ayahmu," katanya lagi. Ah, aku tau ibu berbohong. Tadi jelas sekali Mbak Rina memberi uang. Kudengar satu juta kalau tak salah. Bisa-bisanya Buaya sepertiku di kadalin. Mimpi!

"Ya udahlah," kataku kemudian bergegas pergi menuju kamar. Kulihat Sita sedang belajar di ruang keluarga, bersama Ayah yang sibuk dengan siaran sepak bola di televisi. Aku harus bersiap. Malam ini, aku harus berkemas.

Aku mengempaskan diri di atas kasur. Rindu pada Avika membuatku mengkhayal dengan sempurna. Tak sabar lagi rasanya. Memadu kasih dengannya ibarat candu. Awalnya sedikit lama-lama membuatku ketagihan. Ingin melakukan lebih dan lebih.

Ah, aku sangat merindukannya.

*** 

Dalam setiap keluarga akan selalu ada ujian di dalamnya. Entah itu suami istri yang bertengkar setiap hari. Entah itu ekonomi yang terpuruk. Atau, entah itu anak-anak yang tak patuh kepada orang tuanya. 

Keluargaku ada di poin terakhir. Aku adalah ujian bagi mereka. Anak yang tak patuh, pembangkang, juga sangat nakal. Namun, meski begitu, mereka tetap peduli dan sayang padaku. Cinta macam apa seperti ini? Buta dan tuli?

Begitulah sejatinya orang tua. Meski berkali anaknya melakukan kesalahan, tetap saja pintu maaf selalu terbuka. Rasa sayang tak pernah sirna pada buah hatinya. Juga cinta kasih yang tak pada tempatnya, membuatku terlena untuk terus terjebak dalam kesalahan yang sama dan berulang setiap harinya.

Aku memang di sayang. Bahkan cenderung dimanjakan. Dari kecil segala kebutuhanku selalu dipersiapkan. Bahkan hingga detik ini, kadang makanpun masih di suapi. Mungkin karena aku anak lelaki satu-satunya. Yang lama dinanti juga dibanggakan karena paras rupawannya. Soal tampang bukan aku yang menilai. Tapi kebanyakan saudara dan kenalanku, menilaiku seperti itu. Beruntung sekali bukan aku ini? 

Tengah malam aku mengendap. Setelah sore tadi berhasil mengambil berlembar uang kertas berwarna merah dari dompet Ibu. Juga beberapa tabungan yang sudah berkali-kali aku intai milik Ayah. Akhirnya aku mantap untuk pergi meninggalkan rumah. Menemui gadisku juga calon keluarga baruku.

Besok kami akan menikah.


Komentar

Login untuk melihat komentar!