Flashback
Pov Mas Fahmi
Terjebak di antara dua wanita dengan dua pernikahan yang berbeda membuatku sangat frustasi. Jika dibilang ini salahku, memang. Tapi, ini juga bukan kehendakku. Ah, sudahlah tak mungkin ada yang percaya. Aku memang bajingan. Silahkan jika ingin mengataiku. Lakukanlah tak mengapa. Aku memang pantas untuk di caci.
Sejak Wawan menghubungiku pagi itu. Aku sudah benar memprediksi. Avika, istri pertamaku sedang ngamuk di rumah Yuni. Aku sudah menduga, lambat laun ini semua akan terjadi.
"Mbak Yuni ada sama kamu, Wan?" tanyaku di telvon.
"Iya, di sini sekarang."
"Ya sudah, tunggu, aku akan kesana."
Rasa ini kembali sesak. Apa yang kuperbuat harus berani kupertanggung jawabkan. Ini telah sangat jauh, debaran jantung ini sama persis kurasakan. Saat itu, saat aku memulai segalanya.
***
Berpilin berputar. Menarik diri menjauh kedalam waktu yang bersamaan. Sepuluh tahun silam. Saat diri masih bisa dibilang remaja baru menginjak dewasa. Meski begitu, aku masih senang berbuat apa saja, tanpa pertimbangan, tanpa pemikiran matang.
Aku di usia yang ke dua puluh. Mengenal gadis itu, Avika. Cinta pertamaku. Gadis yang benar-benar membuatku jatuh cinta. Di antara begitu banyak gadis-gadis yang pernah kukenal sebelumnya.
Salah satu anugerah yang Allah berikan padaku adalah wajah yang tampan. Senyum manis dengan gingsul yang membuat semakin menawan. Dulunya aku playboy. Bahkan sampai sekarang pun sama. Hanya saja, semenjak aku mengenal Avika. Gadis itu, membuatku banyak berubah. Semakin menggila.
Suntuk di rumah tanpa pekerjaan membuatku gemar bermain-main di jalanan. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ibu, Ayah, dua kakak perempuan dan satu adik perempuan. Ya, aku anak lelaki satu-satunya. Paling disayang dan selalu dibanggakan. Aku tau betul itu. Karena Ibu dan Ayah tampak berbeda memberikan kasih sayangnya jika dibanding kepada saudara perempuanku yang lain.
Kedua orang tuaku tak pernah mempermasalahkan jika aku masih pengangguran. Toh kedua kakakku yang telah menikah dengan orang kaya mampu memberi uang jajan untuk mereka. Sita, adikku, ia masih SMP kala itu. Jadi, nikmati saja hidup ini.
Yang paling berisik adalah Nenek. Ia selalu saja menceramahiku. Membanding-bandingkan dengan Wawan, sepupu yang selalu di banggakan. Ia selalu lebih unggul dariku. Dan aku, selalu saja di anggap bayangan oleh Nenek dan Kakek. Padahal dari segi fisik. Aku sangat jauh lebih menarik. Mungkin karena aku nakal, sedangkan Wawan pemuda yang baik-baik. Ah, penilaian manusia kadang membuatku jengah.
Semua itu bermula saat. ....
"Nungguin siapa, Mas?" Seorang gadis berambut hitam sebahu bertanya. Ia mengempaskan diri di bangku panjang taman kota. Tepat di sebelahku.
"Nungguin temen, tuh lagi disana," sahutku sambil mengarahkan kepala ke arah Doni dan teman smsnya. Dari semalam ia sudah sibuk membujuk. Meminta antar untuk ketemuan. Dasar! Giliran udah seneng, temen di anggurin begini.
"Jadi, Mas temennya Mas Doni?" Gadis itu kembali bertanya. Oh rupanya ia teman kenalan Doni. Baguslah, ada teman mengobrol, setidaknya begitu.
"Iyap!" Aku mengangguk.
"Avika!" Aku menoleh. Gadis itu mengulurkan tangan nya. Kujabat sambil terus menilai memperhatikan. Dia, seperti kebanyakan anak Smea lainnya, masih unyu-unyu dan menggemaskan. Wajahnya lumayan juga.
"Fahmi," ucapku memperkenalkan diri. Ia tersenyum ramah, lalu mengalirlah perbincangan di antara kami yang ngalor ngidul setelahnya. Dia lumayan asyik juga.
Seperti kenalanku sebelum-sebelumnya. Aku tak pernah menunjukkan identitas diri yang asli. Bagiku, itu suatu privasi yang tak sembarangan kuberikan. Dia percaya saja segala bualanku. Kami lalu bertukar nomor telpon. Berniat untuk saling menghubungi dan memberi kabar setiap hari.
Awal pertemuan, ia telah terjebak dalam permainanku. Melihat cara ia bicara, cara ia memamdang, aku berani menyimpulkan. Ternyata ia telah jatuh hati kepadaku. Avika, entah kau gadis yang keberapa. Tapi, kesan bersamamu menciptakan rasa yang berbeda.
***
[Lagi apa, Mas?] Sebuah pesan masuk di gawaiku. Aku tersenyum simpul. Sudah kubilang, gadis itu telah jatuh hati padaku. Nama Avika terpampang di sana.
[Kuliah] Balasku berbohong.
[Masa kuliahnya sore?] Ia membalas.
[Dih, dibilangin gak percaya. Pagi kerja, sore baru kuliah] Balasku lagi masih berbohong.
[Eh, ciyeee. Calon suami idaman nih.] Ia mulai membual. Aku berdecak, dia membuatku semakin tertarik saja.
[Hidup di Surabaya keras Non, apalagi sebatang kara begini. Harus bisa cari uang sendiri. Syukur-syukur bisa buat modal kawin. Hahahahaha]
Waktu terus bergulir. Seiring dengan itu semua. Kebohonganku semakin menjadi-jadi saja. Berbalas pesan, telponan, ketemuan terus saja berlangsung lama. Ia gadis yang ceria. Membuatku nyaman, dengan sifat-sifat alaminya. Meski sudah banyak gadis yang pernah kupacari. Tapi, Avika, ia memilih ingin menikah denganku.
Ya Tuhan. Aku belum siap.
***
Waktu berjalan cepat. Tak terasa Avika sudah lulus Smea. ia menagih janji. juga meminta pembuktian atas apa yang telah kuperbuat selama ini.
"Jadi, kamu serius mau menikahi Avika?" Tanya om Yunus, ayah Avika. Aku mengangguk. Cinta ini memang gila. Hubungan kami sudah semakin jauh saja. Sedikit mencicipi surga dunia membuatku menginginkannya lebih. Dan Avika, gadis yang telah memberiku banyak dunia miliknya.
"Orang tua?" Om Yunus masih bertanya. Aku menggeleng.
"Saya sebatang kara, Om. Saya tidak tahu dimana kedua orang tua saya," ucapku berbohong. Lidah yang terbiasa berkelit dan berdusta membuatku tak risih lagi untuk berbicara.
"Pekerjaan kamu, apa?" tanya Om Yunus lagi.
"Ayaaaah," lirih Avika merengek. Ia sudah terjebak dalam permainanku. Benar-benar ingin menikah denganku. Dan ia telah mengambil sumpah, akan memperjuangkan cinta kami katanya. Andai ia tahu, yang membuatku candu dengannya bukanlah atas dasar cinta. Melainkan, ah sudahlah. Tak perlu kujelaskan tentang hal ini.
"Kamu bisa bekerja sama saya nanti. Yasudah, jangan memikirkan itu. Kalau kamu serius menikah dengan anak saya. Jadilah lelaki yang bertanggung jawab sepenuhnya." Om Yunus menjelaskan panjang lebar. Ia sama seperti Avika. Mudah sekali kubohongi. Padahal ini menyangkut masa depan putri semata wayangnya. Memang nasib mujur sedang berpihak kepadaku.
"Ehm!" Doni mendehem keras. Seketika aku melirik ke arahnya, yang sedang duduk tepat disampingku. Ia sudah berkali melarang, tapi sama sekali tak punya nyali untuk menghentikanku. Awas kalau sampai ia buka mulut dan bicara macam-macam. Apalagi sampai kedua orang tuaku tau. Aku menatapnya tajam. Detik itu ia lalu kembali diam.
"Lalu, kapan pernikahannya dilaksanakan?"