Mendadak hatiku terasa sangat sesak sekali. Mas Fahmi, kenapa tak memberi penjelasan tapi justru pergi dengan gadis itu? Adakah ia menyembunyikan sesuatu? Tapi, bukankah selama ini Mas Fahmi tak pernah menunjukkan sikap anehnya. Dia suami yang baik dan bertanggung jawab.
"Yun," panggilan Bibi menghentakanku. Ambyar sudah pikiran yang tadi memenuhi rongga kepala.
"Itu, cepet samperin Fahmi!" Bibi menatapku sambil menggoyangkan tangan. Menyuruh bergegas pergi.
"Iya, Mbak. Minta penjelasan sekarang. Mumpung ada gadis itu," timpal Wawan tak kalah semangat.
Aku menghela napas pelan. Berpikir sejenak ditengah tumpukan pertanyaan yang carut marut. Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Tapi juga bukan pilihan yang baik. Ini dirumahku. Ada beberapa tetangga juga yang kulihat mengiintip tadi. Akhirnya aku menggelengkan saja kepala.
"Enggak, Bi. Nanti saja tunggu Mas Fahmi. Dia pasti punya alasan sendiri," ucapku berusaha tenang. Kuperhatikan ekspresi Wawan dan Bibi yang tampak kecewa. Tak apa, akupun sama. Tapi, memperkeruh susana juga tak baik.
"Yasudah, sekarang ayo kerumah Bibi. Reza pasti haus," ucap Bibi seraya mengusap punggungku. Menenangkan.
"Iya, Bi."
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah Bibi. Tak henti-hentinya orang bertanya kepadaku. Ada apa? Kenapa ribut-ribut di rumah? Tadi ada yang ngamuk? Ah, orang memang selalu saja kepo dengan urusan orang lain.
Tapi, tak heran juga sih jika ada yang bertanya begitu. Sebab, teriakan gadis itu cukup keras dan berisik. Tentu saja membuat orang datang dan bertanya-tanya. Disaat sudah seperti itu, aku hanya memberi segaris senyum sebagai jawaban kepada mereka.
Bibi dari tadi menggenggam erat tanganku. Semoga saja hanya salah paham semata. Apa yang gadis itu ucapkan tidak sungguh-sungguh benar terjadi. Aku percaya Mas Fahmi. Dan selamanya akan selalu percaya padanya. Berkali aku menghela napas seraya berhitung.
Satu,
dua,
tiga,
tenang. Aku harus tenang, demi Reza putraku. Bismillah. Ya Allah, beri hamba ketenangan ....
"Kamu, di sini saja dulu, Yun. Biar nanti Fahmi jemput kesini," ucap Bibi begitu kami tiba di rumahnya. Aku menganggukkan kepala. Manut saja apa kata beliau.
"Bi, jangan sampai Ibu sama Bapak tau soal ini," ujarku memohon. Seraya meraih Reza dari pangkuan Karin di sofa. Anakku masih tertidur pulas. Untunglah ada Karin yang bisa di titipi tadi. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Reza tersenyum dengan kedua mata yang terpejam sempurna.
"Udah, Bibi ngga akan ngomong-ngomong," ucap Bibi lagi. Cukuplah ini menjadi urusanku dan Mas Fahmi. Jangan sampai mertua tau masalah rumah tangga kami saat ini. Mereka orang-orang baik.
***
Sudah lewat jam dua belas siang. Tapi, Mas Fahmi tak juga kunjung datang. Gelisah ini masih. Namun berusaha menutupinya sama saja menelan pil pahit sendiri. Sungguh tak enak sama sekali.
"Makan dulu, Yun. Inget, kamu nyusuin Reza. Jangan sampai Asinya seret," ujar Bibi menasehati. Sudah berapa kali tadi beliau menawariku makan, tapi, selalu saja kutolak dengan alasan masih kenyang.
Bibi Muslihah. Biasa kupanggil Bi Mus saat kami berdua saja. Beliau janda dengan dua anak. Wawan dan Karin adalah buah hatinya yang berbeda Ayah. Aku melihatnya seperti melihat super woman yang terus bekerja tak kenal lelah.
Mendengar kisahnya dari Ibu mertua, membuatku sangat kagum kepada Bi Mus. Perempuan yang mampu bangkit dari keterpurukan setelah dua kali menjanda karena di tinggal suaminya menikah lagi. Ah, laki-laki kenapa selalu begitu? Semoga Mas Fahmi bukan pria yang gemar selingkuh. Dan insiden tadi, hanya sebuah kesalah pahaman yang tak berujung pada perceraian. Sungguh, aku tak ingin menjalani kehidupan seperti itu. Membayangkannya saja sudah sangat menyakitkan.
"Disuruh makan kok di anggurin," celetuk Bibi lagi. Aku kembali tersenyum tipis. Tak berselera sebenarnya.
"Tok! Tok! Assalamualaykum," suara salam dan ketukan pintu terdengar. Suara tak asing yang sangat kukenal. Mas Fahmi.
"Wa alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh," sahutku bebarengan dengan Bibi. Mas Fahmi berjalan tergesa masuk ke dalam rumah. Ia lalu duduk tepat di sebelahku tanpa banyak bicara.
"Dari mana kamu!" Bibi menegur seraya bangkit berdiri. Nadanya penuh penekanan khas orang sedang marah. Eh, kenapa jadi Bibi yang marah?
"Kita pulang ya, Dek." Mas Fahmi meraih tanganku. Tak sedikitpun memandang ke arah Bibi yang mengajaknya bicara. Lho, ini ada apa?
"Fahmi!" Bibi membentak. Aku menoleh, memandang Bibi yang tengah menatap tak suka pada Mas Fahmi.
"Bi," sahut Mas Fahmi sambil menatap dalam ke arah Bibi. Entahlah, kenapa jadi sering menggunakan bahasa mata saat Mas Fahmi bicara. Bibi menghela napas pelan.
"Terserah kalian sajalah," ucapnya ketus. Aku mengerutkan dahi, bingung. Maksudnya Bibi, apa coba? Kenapa Bibi sangat marah pada Mas Fahmi? Ada apa? Ya Allah, kenapa perasaanku tak enak begini ....
***
Ruang tamu masih dalam keadaan berantakan. Para tetangga yang tadi berkerumun mendadak hilang entah kemana. Mungkin besok akan beredar gosip hangat terbaru. Tentang perempuan yang mengamuk dan mengaku sebagai pacar Mas Fahmi di rumahku. Sepertinya aku harus memikirkan alasan yang tepat jika ada yang bertanya. Orang tak waras? Mungkin lebih tepatnya begitu.
Mas Fahmi menuntunku ke dalam kamar. Setelah itu, aku meletakkan Reza di atas kasur bayinya. Ia mudah terbangun, juga mudah sekali untuk tidur.
"Dek," panggil Mas Fahmi. Dia duduk melipat lutut di depanku.
"Lho, kenapa Mas?" tanyaku kaget. Mas Fahmi masih merunduk dan melipat lututnya.
"Maaf, kamu jangan salah paham," katanya lagi. Ia mendongak tampak kedua matanya berembun.
"Mas, Yuni percaya, Mas Fahmi bukan lelaki seperti itu," ucapku sambil mengajak Mas Fahmi berdiri. Tak perlu ia berlutut di hadapanku begini.
Ia lalu memelukku erat. Kurasakan tangannya mengusap punggungku menenangkan.
"Dia, mantan kekasih Mas dulu. Tapi, kami nggak ada hubungan apa-apa kok. Dia, hanya terobsesi saja." Mas Fahmi masih mengusap punggungku. Kudengarkan dengan seksama penuturannya. Meski begitu, hatiku kenapa tak mau di ajak kompromi?
"Kamu, jangan salah paham, ya? Mas sayang banget sama kamu, Dek." Ia melepas pelukan. Mencengkeram erat bahuku sambil menatap dalam.
Kulihat binar kedua matanya. Ucapannya begitu tulus menyentuh hati. Bagaimana bisa marah aku jika sudah begini? Aku hafal betul suamiku bukan pria seperti itu. Ya, aku harus percaya.
Aku mengangguk pelan. "Yuni selalu percaya sama Mas," ucapku seraya tersenyum. Ia lalu kembali memeluk erat tubuhku. Tenang, perasaan ini sungguh menyenangkan.
"Biar Mas saja yang bersihkan ruang tamu, kamu istirahatlah sama Reza, sekali lagi Mas minta maaf," ucapnya lagi. Aku mengangguk. Kubalas pelukan Mas Fahmi dengan melingkarkan tangan di pinggulnya. Kupejamkan mata seraya menyesap aroma khas suamiku. Ya Allah aku senang sekali. Bukankah kepercayaan itu yang utama? Aku masih memiliki itu hingga detik ini.
Tapi kemudian, saat mata ini terbuka. Kulihat dari pantulan cermin di lemari besar. Tampak sesuatu yang janggal juga mencurigakan. Mas Fahmi ... dia tersenyum, entahlah. Senyumannya memberi arti yang berbeda.