Pov Mas Fahmi
Pernikahan sederhana digelar di rumah Avika. Gadis itu tampak cantik sekali dengan balutan kebaya berhijab putih. Tak banyak tamu undangan yang datang. Hanya dari pihak keluarganya saja. Sedangkan aku, tentu saja seorang diri. Tak ada yang ku ajak. Karena yang mereka tahu, aku pemuda sebatang kara. Aktingku bagus sekali!
Proses ijab qabul dimulai. Ikrar pernikahan yang harusnya suci, terpaksa menjadi ternoda karena dusta dan kebohonganku menjadi bagian di dalamnya. Ada perasaan bersalah? sedikit. Tapi, sempat menggangguku setelah hari-hari pernikahan mulai berlalu.
Aku tinggal bersama Avika di rumah orang tuanya. Istriku sangat manja. Ia selalu ingin berdua denganku saja. Seringnya tawa cekikikan keluar dari dalam kamar kami. Lenguhan khas pengantin baru, acap kali terdengar memenuhi ruang kamar Avika. Kami sungguh sangat menikmatinya.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Satu minggu pernikahanku dengan Avika, semua masih terlihat hangat-hangatnya. Aku memperlakukan diri seperti sedang di rumah sendiri. Avika melayaniku dengan baik. Menyiapkan makan, pakaian, juga segala kebutuhanku. Hanya saja, perlahan mertua mulai terlihat tak suka. Berkali mereka bertanya tentang asal-usul juga pekerjaanku.
"Kamu nggak lanjut kuliah?" tanya Om Yunus.
"Enggak, Om. Mau fokus kerja aja," sahutku berbohong. Padahal sehari-hari aku memang tak kuliah. Pekerjaanku sebatas tukang parkir di sebuah perbelanjaan pusat kota. Sangat jauh dari rumah Avika. Point itu membantuku untuk terus berkelit dan berbohong. Rahasiaku masih tersimpan aman.
"Jangan panggil, Om. Sebut Ayah saja, toh sekarang kita keluarga," ucapnya sambil tersenyum. Manusia yang lugu bahkan di usia yang telah dikategorikan matang.
"Iya," sahutku sambil menyunggingkan senyum ke arahnya.
"Ikut kerja sama Ayah aja, gimana?" tanyanya lagi.
Oh, Tidak. Jika aku bergantung dengannya, akan sangat sulit saat akan melepaskan Avika. Aku tak ingin terjebak dalam sandiwaraku sendiri.
"Enggak, Yah, makasih. Biar saya usaha sendiri saja. Inshaa Allah, saya masih mampu menafkahi Avika," kataku menolak. Silahkan kalau mau muntah, boleh!
***
Sesuatu yang bernama surga dunia itu perlahan memudar. Terasa hambar. Tak seseru saat aku dan Avika belum menikah. Apakah aku bosan? mungkin. Tapi, bahkan pikiranku mulai mencoba untuk dengan gadis yang lain.
Avika memang pandai menyenangkanku. Mengerti cara berbakti pada suami. Hanya saja, entahlah. Semakin kesini. Rasanya semua jadi biasa saja. Tak istimewa dan tak senikmat di awal kami bermula.
Baru dua bulan pernikahan. Aku mulai bosan.
"Yang," panggilku pada Avika. Gadis itu sedang memoles skincare di wajahnya. Bisa habis uang yang kuberikan jika ia tak pandai mengontrol diri dalam menggunakan. Avika boros sekali.
"Iya, kenapa, Mas?" tanyanya antusias.
"Kamu, sayang sama Mas, kan?" tanyaku sambil menatap lekat. Kedua mata hitam yang jernih milik Avika berbinar sempurna. Mendadak ada perasaan yang, entahlah.
"Sayang banget, Mas. Kenapa nanya begitu?" tanyanya masih lamat memandang. Ada yang berdesir di dalam sini. Hatiku mulai bertingkah liar.
"Mas mau kerja keluar kota, boleh?" tanyaku sambil meraihnya kedalam pelukan. Caraku selalu seperti ini. Yakin saja, ia akan menurut tanpa banyak berkata lagi.
"Kenapa keluar kota?" ia melepas pelukan. Lalu kembali menatap dalam.
Sial! Dia mulai bertanya. Tapi, bukan Fahmi namanya jika tidak pandai berkelit.
"Mas mau kerja ikut teman, lagian cuma satu bulan kok. Mas janji deh, bakal transfer uang buat kamu," kataku mengelak. Kulihat Avika tampak murung.
"Sayang, percaya deh sama Mas," kataku lagi meyakinkan. Ia masih tak bergeming. Seperti sedang berpikir tentang jawaban yang akan di berikan.
"Sayang," lirihku membisik pelan. Ia lalu mengangguk setuju.
"Tapi, janji yah cuman satu bulan?" tanyanya masih tak percaya.
"Janji."
***
Segala keperluan telah di persiapkan Avika. Drama kepergian kali ini benar-benar membuatku harus menguras pikiran dan tenaga. Bagaimana tidak?
Harus berpura-pura sedih meninggalkan Avika.
Harus berusaha mencari alasan yang tepat untuk Om Yunus.
Harus berusaha berkelit, saat ditanya detail pekerjaanku di luar kota.
Sedangkan, aku sendiri tak tau pekerjaan apa yang akan kulakukan setelahnya.
Akting! Harus pandai akting! Aku meyakinkan diri.
"Saya titip Avika ya, Bu, Yah?" kataku saat berpamitan. Kulihat wajah Avika masih sembab. Ia semalaman tak tidur menangisi kepergianku. Menyebalkan sekali.
"Pikir dulu matang-matang, Fahmi. Kenapa nggak ikut di perusahaan Ayah saja?" tanya Om Yunus lagi. Rasanya ingin memutar bola mata, jengah. Tapi aku justru tersenyum seraya sedikit menghela napas di hadapannya.
"Fahmi ingin berdiri di atas kaki fahmi sendiri. Doain aja, Yah. Biar usaha Fahmi keluar kota nggak sia-sia. Sesuap nasi yang dimakan Avika, biarlah dari hasil keringat saya sendiri. Meski sedikit, asal berkah," kataku setengah mengiba. Mau mual lagi? Silahkan. Muntah paku juga boleh.
"Mas," lirih Avika sambil memandangku penuh haru.
"Fahmi pamit dulu, assalamualaykum," kataku seraya melepas genggaman tangan Avika.
Berkali mertuaku meminta untuk mengantar. Tapi, berkali pula aku meyakinkan diri bahwa aku ingin mandiri. Pelajaran berharga yang harus terpetik adalah. Jangan pernah menikahkan anak gadis dengan pria yang tak jelas asal usulnya. Tak jelas kedatangannya dari mana. Jika sudah begitu, maka akan tak jelas pula sang pemuda meninggalkan istri ataupun kekasihnya.
***
Kulihat uang di dompet. Ada beberapa perhiasan Avika yang ia berikan padaku. Katanya ia ingin aku menggunakannya saat kelak aku butuh. Wow, dia lugu sekali. Begitu percayanya hingga seikhlas begini. Tentu saja aku butuh. Sudah lama tak 'berpesta' bareng teman-temanku.
Langsung saja kuhubungi Bang Juned. Terakhir kami bertemu satu minggu yang lalu. Itupun sebentar sebab takut kepergok orang lain kami sedang transaksi barang haram.
"Bang, ada kagak?" tanyaku di telepon.
"Ada," jawabnya seperti biasa. "Mau berapa?" tanyanya lagi.
"Sepaket, gue tunggu di tempat biasa," ucapku menimpali.
"Oke!"
Telepon ditutup. Bang Juned pasti sudah bersiap ke tempat kostannya. Akupun tak mau berlama-lama. Segera saja bergegas menuju pasar pusat kota. Menjual perhiasan milik Avika kepada pedagang jual beli emas pinggir jalan raya. Avika, Avika, betapa bodohnya gadis sepertimu ini.
Mau mencaciku? Boleh!
Mau menghujat? Silahkan!
Siapkan saja kalimat yang pantas di ucapkan untukku. Sebab di titik ini, aku memang pantas untuk dimaki.
***