BIARKAN AKU PERGI (1)
Sore itu, pekerjaan sudah usai. Namun, waktu masih ada beberapa menit menunggu jam pulang kerja. Setelah membereskan meja, aku memilih menunggu dengan berselancar di salah satu sosmed sejuta umat.
Saat aku sedang asyik menelisik satu persatu gambar dan postingan teman-temanku yang ada di beranda sosmed itu, tiba-tiba pandanganku terhenti pada sebuah foto.
Keningku mengernyit saat menyadari gambar seseorang yang aku kenal. Siapa lagi kalau bukan foto Mas Bayu, lelaki yang sudah dua tahun ini menjadi suamiku.
Mataku seketika membulat bersamaan dengan degup jantung yang bergemuruh. Di sana ada gambar Mas Bayu yang sedang selfie dengan seorang wanita. Aku perbesar gambar itu, meyakinkan kalau itu benar Mas Bayu. Tentu saja benar. Bajunya, jam tangannya, model sisiran rambutnya, tentu saja itu Mas Bayu. Aku mengenal semuanya.
Tapi, siapa wanita ini? Berani sekali dia memposting dengan gaya seperti itu dengan Mas Bayu-ku?
"Fahira, sudah jam setengah lima. Waktunya pulang!" Salah satu rekan kerjaku melambaikan tangan padaku.
Aku mendongak sebentar, lalu melambaikan tangan padanya, memberi kode agar dia duluan. Sementara, mataku kembali menatap lekat gambar yang ada di depanku.
Geram rasa hati ini harus kunetralisir dengan embusan nafas berkali-kali.
Tapi, tunggu!
Aku meneliti dengan seksama akun itu. Ini bukan akun Mas Bayu. Ini adalah akun milik orang lain dengan menandai Mas Bayu.
Aku mengeja nama pemilik akun itu. Nabila? Siapakah dia?
Aku dan Mas Bayu sebenarnya tidak terlalu aktif di medsos. Dari beranda Mas Bayu dapat terlihat postingan terakhirnya adalah setahun yang lalu.
Jadi, apakah ini artinya, Mas Bayu tidak sadar kalau dirinya ditandai oleh seseorang bernama Nabila.
Dengan dada berdebar, segera aku mengeklik akun bernama Nabila itu.
Violaa, aku dapat melihat postingan Nabila yang lain yang diatur publik.
Sambil menscroll akun milik Nabila, pikiranku tiba-tiba menerawang.
Apa Nabila ini mantan Mas Bayu?
Aku mengamati setiap postingan Nabila sebelum postingan selfie dengan Mas Bayu tadi. Di postingan sebelumnya, tidak ada Mas Bayu. Pun tidak ada likes atau komentar dari Mas Bayu. Kesimpulanku, Nabila ini tidak berinteraksi dengan Mas Bayu dalam waktu yang berdekatan. Bisa jadi, foto itu adalah foto pertama dengan Mas Bayu.
Aku menikah dengan Mas Bayu karena dijodohkan. Tetapi, sebelum kami menikah, Mas Bayu telah memiliki pacar. Dan menurut pengakuannya, pacar Mas Bayu lah yang meninggalkannya dan menikah dengan orang lain.
Alasan ini pula yang membuat Mas Bayu tidak mudah menerimaku sebagai istrinya.
Awal pernikahan, hubungan kami terasa hambar. Mas Bayu hanya memperlakukanku sebatas formalitas, tanpa ada rasa cinta sedikit pun. Bahkan, kami juga sepakat tidak memiliki anak dahulu sebelum kami saling jatuh cinta.
Tetapi, rupanya apa yang banyak dikatakan orang menjadi kenyataan. Bahwa cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Dan kini, kami pun merasakannya.
Bahkan, baru dua bulan terakhir aku dan Mas Bayu akhirnya berkomitmen untuk segera punya anak. Apalagi, usiaku kini sudah hampir 25 tahun, dan Mas Bayu 27 tahun. Artinya tidak ada alasan lagi untuk menunda.
Tetapi, rupanya takdir berkata lain. Baru saja aku melihat kenyataan yang menyesakkan.
Aku kembali menghela nafas.
Aku tak boleh gegabah. Aku harus mengetahui fakta yang sesungguhnya. Apakah Mas Bayu kembali pada wanita bernama Nabila itu? Atau ini hanya kebetulan saja.
Aku bergegas meninggalkan ruang kerjaku. Beberapa menit lagi biasanya Mas Bayu akan menelpon dan mengabarkan kalau dia sudah menjemputku di bawah. Aku tak mau membiarkannya menunggu terlalu lama.
--
Sesampai rumah, aku bersikap seperti biasa, seolah-olah aku tidak tahu apa-apa. Si*alnya, saat Mas Bayu sedang mandi, aku melihat ponselnya bergetar.
Sebuah notifikasi pesan masuk ke benda pipih itu. Dan, aku dapat dengan jelas membaca notifikasi itu.
[Bay, apa bisa kita ketemu sekarang? Penting!]
Aku pura-pura tidak melihat ponsel milik Mas Bayu ketika dia keluar dari kamar mandi.
Aku memilih pura-pura sibuk dengan laptop yang ada di hadapanku, meski, ekor mataku tetap mengamati dia yang segera mengambil dan membuka ponsel itu.
Keningnya sedikit berkerut sambil melirik ke arahku.
“Kenapa, Mas?” tanyaku saat pandangan kami beradu. Aku pura-pura heran melihat ekspresinya.
“Sepertinya aku harus keluar. Ada urusan,” sahutnya singkat.
Lelaki itu lalu membuka pintu lemari dan mencari baju ganti. Tak lama, dia sudah rapi dan bersiap pergi.
Kuhembuskan napas dengan kasar setelah dia keluar dari kamar.
Saat deru mobil terdengar menjauh, aku memilih membuka sosmed milik wanita bernama Nabila dari laptopku. Rasa penasaranku belum tertuntaskan.
Aku bolak-balik menggeser kursor ke atas dan ke bawah. Sayang, foto yang tadi sore tak kutemukan lagi.
Mendadak aku mulai ragu. Jangan-jangan siang tadi aku salah lihat. Jangan-jangan hanya halusinasiku?
Tiba-tiba, di kepalaku terbersit untuk log in atas nama Mas Bayu di akun aplikasi yang kini sedang kubuka. Siapa tahu ada status yang hanya bisa dilihat oleh orang yang berteman dengannya.
Sejak Mas Bayu mulai mempercayaiku, aku pun tahu apa saja pin dan password yang sering dia gunakan. Dia menggunakan kode yang hampir selalu sama dan tak terduga oleh orang lain.
Tak butuh waktu lama, aku sudah bisa masuk ke akun milik Mas Bayu.
Tak ada yang mencurigakan.
Mas Bayu memang bukan tipe orang yang suka bermedsos. Hingga, tak sampai lima belas menit, ada notifikasi di akun Mas Bayu.
Mataku membulat. Ada postingan baru yang menandai akun ini.
Buru-buru kubuka notifikasi itu.
Dadaku terasa sesak saat melihat apa yang terbuka di layar. Jantung seolah mau lepas dari tempatnya. Namun, aku harus dapat mengontrol emosiku. Meski dengan tangan bergetar, aku geser kursor hingga dapat mengamatinya dengan jelas.
Wow! Tangan dua orang yang saling bertaut. Sudah bisa kupastikan salah satu tangan itu milik Mas Bayu dari jam tangan yang dipakainya.
Dan caption-nya, cukup membuatku mual:
“Jika sudah jodoh, tak akan dapat terpisah."
___
BIARKAN AKU PERGI (2)
Kutatap foto di akun itu sekali lagi.
Tiba-tiba mataku mengembun. Aku seperti tak percaya. Baru saja aku merasakan manisnya cinta dari Mas Bayu. Tetapi rupanya begitu cepatnya cinta itu telah ternoda.
Benarkah Mas Bayu mencintaiku? Apakah kemaren itu bukan cinta? Apakah dia hanya pura-pura mencintaiku untuk menyenangkan hatiku? Jangan-jangan dia bilang ingin punya anak karena desakan orang tuanya. Karena, kami sudah dua tahun menikah dan belum ada tanda-tanda akan memiliki keturunan. Padahal itu semua memang sudah kami rencanakan sebelumnya.
Mendadak aku merasa bodoh dengan sikap Mas Bayu selama ini. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang? Kenapa aku terbuai dengan sikap Mas Bayu akhir-akhir ini? Apa itu semua ternyata palsu?
Segera ku sign out akun Mas Bayu. Aku tak ingin dia menyadari kalau akun itu usai dibuka.
Aku berusaha untuk segera tidur sebelum Mas Bayu pulang.
Tetapi, mataku tak juga mau terpejam. Bayangan Mas Bayu sedang berdua dengan wanita itu tak mau enyah dari ingatanku.
Aku bingung harus berbuat apa. Marah? Tentu tidak bisa. Ini sangat memalukan. Bukannya selama ini aku memang tak tahu perasaan Mas Bayu sejatinya terhadapku. Jika aku marah, bukannya bisa jadi Mas Bayu malah menertawakanku.
Aku sudah merasa kalah sebelum bertanding. Sepertinya, aku yang harus mengalah. Aku yang harus pergi. Aku harus Menyusun rencana kepergianku. Dan rencana ini harus sukses. Aku tak ingin Mas Bayu menghalangi kepergianku. Aku harus segera dapat melupakan Mas Bayu. Melupakannya untuk selamanya.
Kuhembuskan napas dengan kasar.
Kuputuskan untuk bangun dari tidur. Laptop yang tadi telah mati dan kuletakkan, akhirnya kubuka kembali.
Tiba-tiba ingatanku tertuju pada rencanaku jauh sebelum aku menikah dulu. Sekolah ke luar negeri. Mungkin ini salah satu cara aku pergi dan melupakan Mas Bayu.
Segera kucari informasi pendaftaran program master. Beruntung, sekarang sedang dibuka pendaftaran mahasiswa baru. Artinya, aku bisa mendaftar untuk tahun ajaran yang akan segera dimulai. Artinya dalam tiga bulan ke depan aku bisa pergi.
Ah, tiga bulan. Lama juga ya? Aku menghela napas lagi. Jika aku ingin rencana berjalan mulus, artinya aku harus pura-pura tidak tahu apa-apa hingga tiga bulan ke depan? Bisa kah?
Ah, tak penting. Yang terpenting aku harus diterima dahulu. Jika sudah diterima, aku bisa berangkat lebih cepat bukan?
Ada banyak beasiswa ditawarkan. Tetapi, proses mendapatkan beasiswa tampaknya memakan waktu. Segera kuteliti uang tabunganku. Selama dua tahun menikah dengan Mas Bayu, aku bahkan hanya sedikit menggunakan uang gajiku. Mas Bayu dengan sangat baik memberiku ATM yang selalu diisinya.
Aku sedikit bernapas lega setelah melihat biaya hidup di berbagai negara. Sepertinya, tabunganku cukup untuk melarikan diri selama setahun. Toh, nanti di sana aku bisa bekerja, bukan?
Mataku benar-benar tidak mengantuk. Padahal ini sudah hampir jam 11 malam. Dan Mas Bayu belum menampakkan tanda-tanda mau pulang.
Aku segera kembali browsing universitas dan negara tujuan yang hendak kudaftar. Berbekal pengalaman di lembaga riset bidang sosial ekonomi, aku sudah bisa memilih jurusan mana yang hendak diambil. Akupun mencari universitas di kota dengan biaya hidup rendah dan tuition fee yang tidak terlalu mahal, mengingat aku akan sekolah dengan biaya sendiri jika aplikasi beasiswa tidak ada yang lolos.
Deru mobil masuk rumah sudah terdengar. Aku segera mematikan laptop dan meletakkannya di meja kecil di sebelah tempat tidur. Si*alnya aku tidak bisa tidur kalau belum ke toilet dahulu.
“Kamu belum tidur, Ra?” tanya Mas Bayu saat kami berpapasan karena aku baru dari toilet. Dia sepertinya kaget mendapati aku masih terjaga.
“Dari mana, Mas?” tanyaku tanpa mengindahkan pertanyaannya.
“Ketemu temen,” ujarnya singkat.
Aku hanya mengangguk lalu beranjak ke tempat tidur.
Entahlah, malam ini aku merasa dia lain dari biasanya. Atau hanya perasaanku saja karena aku baru melihat faktanya hari ini. Tapi, segera kusingkirkan perasaan itu. Masih ada waktu tiga bulan, dan aku tak ingin sampai rencanaku ketahuan olehnya. Lebih baik, aku bersikap biasa saja.
--
Di kantor, saat jam istirahat, aku manfaatkan untuk mengirim aplikasi. Beberapa persyaratan yang membutuhkan dokumen baru pun kupersiapkan dengan matang, misalnya hasil tes Bahasa Inggris. Semua persyaratan sudah aku siapkan dalam satu folder. Hal ini memang karena aku pernah berniat sekolah lagi sebelum menikah. Tapi, impian itu kandas karena aku menikah. Aku sendiri tak pernah membahas hal ini dengan Mas Bayu. Sehingga Mas Bayu tak pernah tahu dengan impian ini.
Hampir tiap hari aku bersemangat mengecek email untuk mendapatkan progress aplikasiku. Aku sudah tak terlalu memperdulikan Mas Bayu lagi. Selama proses aplikasi ini, aku bersikap biasa saja, meskipun masih sering memergoki notifikasi di ponselnya saat dia tinggal mandi.
Bahkan, aku masih melayaninya tak kurang suatu apapun, termasuk di tempat tidur. Aku melakukannya semua dengan baik agar Mas Bayu tak pernah menyangka kalau aku sebenarnya hanya berpura-pura.
Hingga akhirnya hari yang kutunggu pun tiba. Aku mendapatkan beberapa surat penerimaan dari universitas. Dan yang lebih menyenangkan salah satunya aku mendapatkan beasiswanya juga, sehingga aku tak perlu repot mengeluarkan biaya. Tabunganku bisa aku pakai buat back up jika beasiswanya kurang.
Aku memang tidak berniat mendaftar beasiswa pemerintah Indonesia. karena aku tidak ingin meninggalkan jejak yang akan mudah dilacak oleh Mas Bayu.
Akhirnya, aku memilih universitas di Belanda dengan beasiswa dari organisasi pendidikan di Belanda. Tak mengapa beasiswanya tak sebesar beasiswa dari pemerintah Indonesia. konon, memang standar biaya hidup mahasiswa master memang tidak besar. Berbeda dengan mahasiswa PhD.
Segera visa studi kuurus. Aku ingin berangkat secepatnya. Aku sengaja tidak memberitahu rencana ini ke Ayah atau ibuku. Aku tak ingin rencanaku sampai bocor. Jika Ayahku tahu, otomatis ayah mertuaku juga akan tahu. Artinya, rencanaku pasti akan gagal.
Aku sudah mempersiapkan resign dari kantorku. Jauh-jauh hari aku beritahu atasan langsungku dan aku memintanya untuk merahasiakan dulu. Aku pun sengaja tidak menyebutkan secara detil kemana aku akan sekolah dan untungnya atasanku hanya bertanya negara, bukan nama kampusnya.
Sayang, aku tak dapat membagi kebahagiaanku memperoleh beasiswa dengan Mas Bayu. Bahkan aku malah mendapatkan berita yang lebih menyesakkan.
Sore itu aku membaca notifakasi di ponsel Mas Bayu saat dia sedang di kamar mandi
[Bay, jangan lupa besok kita belanja buat persiapan pernikahan kita]
Seketika mataku membulat. Aku mengucek mataku. Apakah aku salah lihat?
----
BIARKAN AKU PERGI (3)
Baiklah Mas Bayu, batinku. Aku hanya akan meninggalkan kenangan manis untukmu. Aku tak akan meninggalkan dendam. Waktu yang tersisa akan kubuat untuk membahagiakanmu. Apalagi aku selama ini bersandiwara untuk tidak tahu apapun denganmu. Dan kurasa, engkaupun bersandiwara seolah tak ada perbedaan sikapmu padaku.
Berusaha mencintai seseorang, dan saat sudah berhasil mencintai ternyata dicampakkan, bagaimana rasanya? Pedih bukan?
Tetapi apakah kepedihan harus di balas dengan kepedihan yang sama? Akan kupilih jalanku.
Aku memang memilih pergi. Selain karena aku tak sanggup menerima kenyataan perihnya cinta diduakan, aku memilih melupakan. Dan yang terpenting lagi, dengan aku pergi, Mas Bayu tidak perlu kesusahan mencari alasan untuk membohongiku kelak.
Atau, apabila dia jujur pun, bukankah tetap akan terasa perih.
“Aku lapar. Kamu masak apa?” tanya Mas Bayu mengagetkanku. Pria itu baru saja usai dari kamar mandi.
Biasanya dia akan mengecek ponselnya jika keluar dari kamar mandi. Sore ini tidak.
Mungkin saja dia tidak sedang menunggu sesuatu yang penting. Atau, dia sedang berpura-pura mencintaiku.
Kupejamkan mata ini. Mengapa jadi begini rasanya. Seharusnya aku tak perlu tahu apapun agar yang kulakukan menjadi ikhlas. Jika sudah begini, aku harus menanggung nyeri setiap saat.
“Mmm, sop buntut, Mas. Ayo kita makan,” ajakku sambil menyunggingkan senyum terbaikku. Aku pintar bersandiwara, bukan?
Mas Bayu mengangguk. Lalu mengekoriku menuju ruang makan kami yang jadi satu dengan dapur.
Meskipun aku bekerja, kamu tak punya ART. Aku selalu merapikan rumah sebelum kami berangkat kerja. Rumah kami tidak terlalu besar, dan kami hanya tinggal berdua. Jadi memang belum memerlukan ART. Aku juga yang memasak setiap hari. Tepatnya masak untuk makan malam, karena paginya biasanya kami hanya makan sesuatu yang simple. Segelas susu dan setangkup roti dengan selai.
Segera kusiapkan makan malam untuk Mas Bayu. Hari-hari terakhir bersamanya, sengaja aku memasak makanan spesial untuknya. Makanan favoritnya jika kami keluar makan. Aku dulu memang tidak jago masak. Tapi untuk mencuri hatinya, ibuku memintaku belajar masak. Toh sekarang bisa melihat resep berbagai masakan dari channel yout*be.
“Tumben kamu ngga lembur, Mas?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ngga. Semua pekerjaan sudah aku selesaikan. Oh ya, aku juga akan keluar kota minggu depan,” ujar Mas Bayu datar sambil terus menyendok sup di mangkuknya.
Mataku sedikit memicing. Ada apa keluar kota? Tapi dia tidak bilang urusan pekerjaan. Tapi, aku memang selama ini tidak pernah bertanya tentang urusan pekerjaannya. Hal ini karena pekerjaannya jauh beda dengan pekerjaanku. Sehingga untuk hal-hal teknis, kami jarang membicarakannya. Paling, kami membicarakan hal-hal umum saja.
“Kamu pergi berapa hari, Mas?” akhirnya kutanya juga. Kuanggap aku paham kalau dia keluar kota untuk bekerja. Aku tak mau mencecarnya, biar dia merasa nyaman dan aku layak dipercaya.
“Seminggu saja. Weekend depan aku sudah di rumah,” ujarnya lagi.
Aku mengangguk. Tapi, kepalaku berfikir keras. Bagaimana caranya aku mengorek informasi tapi tanpa terlihat mencecarnya.
“Mas. Aku kangen mama dan papa. Apa tidak bisa sebelum kamu ke luar kota, kita berkunjung ke sana?” tanyaku. Mama dan papa adalah sebutan buat orang tuanya Mas Bayu.
Memang kami sudah lama tidak mengunjunginya. Tepatnya, setelah Mas Bayu mulai perhatian padaku. Dulu, kami sering mengunjunginya namun, hubunganku dengan Mas Bayu masih hambar. Kami sering ke sana untuk mendapatkan berbagai nasehat. Tetapi, beberapa bulan belakangan, Mas Bayu memang tampak sibuk, jadi aku tak berani mengusulkannya.
Sekarang, aku mengusulkannya karena berharap aku mendapatkan informasi dari mertuaku. Biasanya mama mertua akan mengatakan apa saja tentang anaknya itu, sebagai wujud dukungan terhadapku.
Boleh jadi, jika aku mendapatkan fakta tentang rencana Mas Bayu, kunjunganku ke mertua adalah kunjungan terakhir sebelum aku pergi.
Mas Bayu menatap mangkuk supnya yang mulai kosong. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu. Tapi, kemudian dia berujar juga,” Besok aku telpon mama, ya. Kapan papa dan mama di rumah,”
Aku sedikit lega mendengar ucapannya. Batinku terus berbisik, jangan ada dendam. Aku harus pergi dengan bahagia tanpa meninggalkan sedikitpun dendam dan sakit hati. Aku harus meninggalkan kesan sebagai menantu yang baik dan menyenangkan, apapun yang terjadi.
--
“Ra, kita ke rumah mama tidak bisa lama ya. Aku sudah ada janji lain dengan temanku,” ujar Mas Bayu sambil menyetir.
Kuberikan seulas senyum terbaikku padanya. Aku tunjukkan bahwa aku adalah istri yang pengertian dan tidak banyak menuntut.
Dulu, saat hubungan kami belum baik, memang dia sering mengatakan pergi dengan temannya dan aku tak pernah ambil pusing. Lebih baik membatasi interaksi yang kurang menyenangkan. Dan kini, saat dia kembali mengatakan pergi dengan teman? Aku bisa apa? Apa aku harus membatasinya?
Aku memang mencintainya kini. Tapi, bukankah cinta tak harus memiliki? Jika cinta membuatnya harus memilih dan dia memilih untuk bahagia bersama yang lain, haruskah aku menghalanginya.
Aku tahu, cinta seharusnya diperjuangkan. Tapi, jika Mas Bayu enggan untuk berjuang? Dan dia lebih memilih jalannya dengan menutupi hubungannya dengan orang lain, haruskah aku mencari jalan merebutnya kembali?
Ya. Aku memang akan merebutnya. Tapi tidak merebutnya dengan kasar. Tidak merebutnya dengan dendam. Aku akan merebutnya dengan kasih sayang. Aku ingin dia menyadari bahwa masih ada cinta di hatiku jika dia ingin kembali.
Aku begitu naif.
Mungkin, di luar sana tak ada wanita sepertiku yang memilih mengalah. Tapi, wanita itu mantan Mas Bayu. Mereka sudah saling mengenal dan mencintai sejak lama. Bisa jadi bukan cinta sesaat. Aku hanya ingin Mas Bayu memilih saja. Dan aku pasrah jika suatu saat aku bukan pilihan. Bisa jadi aku akan mendapatkan yang lebih baik dari Mas Bayu. Bukankah demikian?
Mas Bayu menyetir dalam diam. Mungkin banyak yang dia pikirkan. Akupun juga lebih banyak berpikir tentang rencana-rencanaku. Tentang kenangan manis yang ingin kuukir sebelum kepergianku.
Terkadang orang selalu menilai kita tidak ada harganya saat kita ada di sampingnya. Saat kita setia mendampinginya. Tak sedikit yang merasa kehilangan usai kita pergi darinya.
Aku menghela napasku.
Sepertinya aku tak punya sesuatu yang akan membuatnya kehilangan. Justru, kepergianku akan membuatnya senang. Dia tak perlu lagi repot membagi gajinya untukku bukan? ATM pemberian Mas Bayu tentu akan aku tinggalkan. Aku berjanji hanya membawa barang milikku sebagaimana saat aku datang ke rumah Mas Bayu.
Mobil yang kami tumpangi masuk ke pelataran rumah orang tua Mas Bayu. Rumah yang asri dengan halaman yang luas, karena rumah ini berada di perkampungan, bukan area perkotaan. Orang tua Mas Bayu sengaja membeli tanah di area perkampungan setelah bisnisnya berjalan lancar dan dikelola orang-orang kepercayaannya.
Tapi, tampaknya ada tamu yang datang di rumah mertuaku itu. Ada mobil asing yang terparkir di halaman, dan dari luar terlihat ada seseorang di ruang tamu.
Aku menggandeng tangan Mas Bayu menuju rumah mertuaku. Tak lupa aku membawa camilan buatan tanganku sebagai oleh-oleh. Tapi, langkahku kemudian tertahan saat melihat wanita yang duduk membelakangiku di ruang tamu dan sedang berbicara santai dengan kedua mertuaku.
Menyadari kedatangan kami, mama dan papa mertua segera menyambut kami.
"Fahira, kenalkan ini Nabila, teman Bayu sewaktu SMA,” ujar mama mertua.
--
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tamat di KBM, Joylada,******dan GoodNovel.