Contoh Materi Promosi di FB (2)
DIMADU DENGAN SAHABAT SENDIRI (1)

“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua nya akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani. 

Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya. 

Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang. 

Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya. 

Kantor Pusat tempat Firman bekerja ada di Jakarta. Begitu juga dengan keluarganya. Di Surabaya, dia hanya bertugas sementara hingga proyeknya selesai. Karena hanya sementara, tak mungkin istrinya harus keluar kerja untuk mengikuti penugasannya. 

“Tidak enak sama tetangga, Rani anak gadis, sering pergi dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sambung Ayah Rani sebelum Firman menjawab. 

“Maaf, Om. Saya belum bisa memastikan. Soalnya sampai tahun depan kantor saya di Jakarta sedang sibuk-sibuknya. Dan sepertinya tidak bisa saya tinggalkan.“ Firman mencoba mencari alasan. 

Ingin menjawab yang sesungguhnya, kalau sebenarnya dia adalah pria beristri, sepertinya bukan saat yang tepat. Bagaimana bisa seorang pria beristri dekat dengan wanita lain? Jika dia melakukannya, pasti Ayah Rani akan mengusirnya. Firman pikir, lebih baik untuk mengulur waktu, sementara dia punya jawaban yang tepat. 

“Kami paham dengan kesibukan Nak Firman. Begini saja, saya sebagai orang tua, takut kalau kenapa-kenapa. Apalagi Rani kan anak perempuan kami satu-satunya. Bagaimana kalau kalian menikah dulu saja. Nanti, kalau Nak Firman sudah longgar, kita bisa perkenalan orang tua, sekaligus mengurus untuk meresmikannya.” Ayah Rani memberi solusi.

Pria paruh baya itu sudah sangat menginginkan Rani segera mengakhiri masa lajang. Usia hampir kepala tiga adalah usia yang rawan. Apalagi Rani punya karir yang bagus. Pria biasa saja, pasti akan minder mendekati Rani. 

Dulu, saat Rani belum jadi siapa-siapa, ayahnya sudah berusaha mengenalkan dengan beberapa anak sahabatnya. Namun, selalu saja ditolak. Kini, anak-anak sahabatnya satu persatu sudah berkeluarga. Hanya Firman satu-satunya lelaki yang terlihat serius dengan Rani. 

Selain tampang rupawan, Firman terlihat sebagai pria baik-baik. Pria rumahan yang bertanggungjawab. Juga tidak neko-neko. Jadi, apalagi yang harus diragukan? Apalagi usia Firman yang masih muda, seumuran dengan Rani terlihat mereka adalah pasangan yang cocok. 

Entah apa yang ada dalam otak Firman saat itu. Dia menerima saja tawaran dari Ayah Rani, tanpa memikirkan keluarganya di Jakarta. Pernikahan siri yang dilakukan hanya mengundang tetangga kanan kiri, memang tak membuat tetangga curiga. Justru tasyakuran yang dilakukan untuk memperjelas hubungan mereka dan menyampaikan alasan tentang kesibukan Firman. Ayah Rani berjanji akan segera meresmikan hubungan keduanya di Kantor Urusan Agama, begitu proyek Firman selesai. 

Tak terasa, pernikahan mereka sudah menginjak usia empat bulan. Proyek Firman di Surabaya juga sudah usai. Firman sudah kembali ke Jakarta, dengan alasan pekerjaan di kantor pusat, namun sesekali juga mengunjungi Rani. Apalagi Jakarta-Surabaya bukanlah jarak yang jauh. 

Citra, istri Firman yang di Jakarta, tak pernah sedikit pun menaruh curiga. Firman masih sama seperti sebelumnya. Sering ke luar kota, karena memang itulah pekerjaannya. Citra juga tidak pernah mempermasalahkan keuangan karena dia juga bekerja. Gaji Firman memang 100% Citra yang pegang. Tapi, semua bonus ada di tangan Firman. 

Di samping itu, Rani yang juga wanita karir tak pernah menuntut materi dari Firman. Sehingga empat bulan punya dapur dua, tak pernah sedikit pun terendus oleh kedua istrinya.

“Sayang, minggu ini aku akan meninjau proyek di Surabaya selama seminggu,” kata Firman saat sarapan pagi bersama Citra dan anak-anaknya. 

Citra sudah biasa ditinggal dinas ke luar kota oleh Firman. Dia merasa tak pernah ada yang aneh. Apalagi kehidupan keluarganya baik-baik saja. 

Citra adalah cinta pertama Firman. Mereka kuliah satu kampus. Citra adik tingkat Firman dan salah satu mahasiswi popular. Namun, cintanya jatuh pada Firman. 

Mereka berdua nikah muda, saat baru lulus kuliah. Kala itu, Firman belum siapa-siapa. Citra rela hidup susah tinggal mengontrak di rumah petak. Saat Firman masih sibuk sana sini mencari pekerjaan, Citra sudah bekerja sebagai staf admin di salah satu perusahaan swasta. 

Seiring waktu, Firman diterima bekerja di tempatnya yang sekarang. Atas dukungan Citra, karirnya melesat. Citra sendiri tak pernah memikirkan karir. Dia sudah merasa cukup meski sudah senior hanya sebagai staf. Dia lebih mementingkan keluarga dan sering menolak untuk dipromosikan karena khawatir tidak sebebas sekarang jika tanggung jawab pekerjaan bertambah. 

Sebagai wanita rumahan, Citra pun lebih mementingkan keluarga. Tak heran jika karirnya hanya begitu-begitu saja. Kalah jauh dengan yuniornya. Selain itu, Citra juga menarik diri dari aktivitas media sosial. Dia sering merasa minder dengan teman-temannya. Dia yang dulu popular, sekarang kalah jauh dengan teman-temannya. 

“Iya, Sayang. Ohya. Aku juga minta ijin, sabtu ini ada reuni, boleh ya?” sahut Citra. 

Citra sebenarnya kurang menyukai acara kumpul-kumpul. Tapi, karena acara reuni kali ini hanya reuni kecil geng nya SMA, rasanya tak ingin untuk dilewatkan meskipun dia harus menempuh ratusan kilometer. Dia sudah kangen mengenang masa mudanya setelah sekian lama berjibaku dengan urusan rumah tangga. 

“Ya boleh, terserah mama. Yang penting hati-hati,” jawab Firman. Pria itu mengecup kening istrinya, sebelum kemudian meninggalkan Citra untuk berangkat ke kantor. Anak-anak biasanya urusan Citra. 

***ETW***

“Jadi kapan kita akan menikah secara resmi?” tanya Rani sambil bermanja di bahu Firman. Minggu ini Firman sedang dinas ke Surabaya selama seminggu. Setiap dinas ke Surabaya, tentu saja Firman akan menginap di rumah Rani. 

“Nanti sayang. Mas belum sempat mengurus surat-suratnya,” dalih Firman. 

Rani hanya dapat menghela nafas untuk bersabar. Bagaimanapun Rani sangat ingin segera meresmikan hubungan mereka dan mengundang teman-temannya untuk hadir di acara resepsi pernikahannya. Rani selalu merasa risih jika bertemu teman lamanya dan ditanya statusnya. Sebuah buku nikah, jauh lebih berharga dibandingkan hanya gambar foto berdua dengan Firman. 

“Ngga usah sedih, pasti nanti segera aku urus,” bujuk Firman sambil menjawil dagu Rani. 

***ETW***

Sore itu Rani dan Firman sengaja jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Apalagi yang tidak dia lakukan selain menghabiskan waktu dengan Firman mumpung dia sedang di Surabaya. 

“Makan yuk, Mas. Aku lapar, “ ajak Rani sambil menggamit lengan Firman menuju Foodcourt di lantai lima pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya. 

“Aku ke toilet dulu ya, Ran,” kata Firman setelah memesan menu. 

Sedang Rani memilih menunggu menu yang dipesan sambil memainkan ponselnya. 

“Hai! Rani kan? Maharani?” Seorang wanita dengan baju tunik dan jilbab pasmina menyapa Rani. Dia mendekat, memastikan yang disapa adalah benar sahabatnya saat SMA dahulu. 

Sekilas Rani mengingat-ingat. 

“Ya ampun Citra! Apa kabar?” Rani bangkit dari duduknya. Ia segera menghambur ke pelukan Citra. 

Mereka berdua bersahabat saat masih SMA. Rani hampir tak mengenal Citra. Ibu muda itu jauh berbeda dengan saat SMA dulu. Dulu dia terlihat modis dan berkelas. Sementara sekarang, jauh terlihat sederhana. 

Sejak lulus SMA keduanya terpisah. Mereka kuliah di kampus yang berbeda. Keadaan juga yang membuat keduanya tidak saling kontak. Rani yang menarik diri dari aktivitas sosial karena belum berkeluarga. Citra yang menarik diri karena kesibukan bekerja dan punya tiga orang anak di usia belum genap tiga puluh tahun. 

“Sedang apa di Surabaya? Sama Siapa?” Rani memindai sekitar, memastikan ada seseorang yang sedang bersama Citra. 

Bahkan, Citra belum sempat menjawab pertanyaan Rani sebelumnya. 

“Ya ampun, Ran. Kan tadi ada reunian khusus teman-teman sekelas kita, cewek-cewek aja. Ternyata temen-temen kelas kita banyak yang di Surabaya. Kamu tadi di cari-cari lho. Acara ini 'kan sudah diposting di grup. Sudah lama dan sering dibahas,” ujar Citra antusias.

Sebenarnya, Citra tahu acara itu juga karena ada salah satu yang men-japri-nya. Tapi, ia sama sekali tidak ingat untuk menghubungi salah satu sahabatnya, Rani. Waktu itu malah kepikiran kalau Rani salah satu yang bakal datang, karena memang orang tua Rani orang Surabaya. 

Kebetulan mereka dahulu SMA di Solo, saat orang tua Rani yang asli Surabaya pindah tugas ke kota itu. Sementara, Citra sendiri asli Solo. 

Rani tertegun sejenak. Dia memang malas mengecek percakapan di grup alumni sekolah maupun kuliah. Bahkan sampai ribuan notifikasi, saking tidak pernah dibukanya kedua grup itu. 

“Trus yang lain mana?” tanya Rani penasaran. 

“Udah bubar semua. Cuma sebentar kok tadi. Makan-makan, udah,” Citra menjawab dengan antusias. 

“Kamu nginep dimana?” tanya Rani. Dia ingin menawarkan sahabatnya menginap di rumahnya. Bisa ngobrol-ngobrol sampai malam, seperti saat masih gadis dulu. 

“Aku nggak lama. Ini langsung balik Jakarta. Kebetulan papanya anak-anak juga lagi keluar kota,” jelas Citra. 

Ada rona kecewa di wajah Rani. “Padahal aku kangen. Dah lama banget nggak ketemu,” sungut Rani. Masih seperti dulu. 

“Kamu apa kabar?” tanya Citra seraya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Rani. 

“Baik!” Pandangan Rani yang semula ke Citra, beralih ke belakang Citra. “Eh, aku kenalin ya sama suami aku,” kata Rani saat melihat Firman menghampirinya. 

Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. 

Seketika mata Citra langsung membulat sempurna. Begitu juga Firman. Firman tak menyangka Citra ada di Surabaya. 

---

DIMADU DENGAN SAHABAT SENDIRI(2)

Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. 

Seketika mata Citra langsung membulat sempurna.

Begitu juga Firman. Pria itu tak menyangka Citra, istrinya, ada di Surabaya. 

“Citra!” Citra mengulurkan tangannya sambil tersenyum menyebutkan namanya, seolah tidak mengenal Firman. 

Firman ragu melihat uluran tangan itu. Namun, demi menutupi fakta yang sesungguhnya di depan Rani, terpaksa dia menerima uluran tangan singkat itu. 

“Mas, ini Citra sahabatku SMA.”

Bak disambar petir mendengar ucapan Rani. Mata Firman seketika membulat, lalu segera mencoba mengendalikan diri. Firman segera menunduk, tak berani menatap Citra lebih lama. Gemuruh di dadanya tak karuan. Degup jantungnya menjadi tak menentu. Rasa bersalah dan malu pada istrinya, bercampur menjadi satu. 

Bersamaan dengan itu, Rani pindah posisi duduk, mendekat ke Citra. Kini, kedua istrinya duduk bersebelahan, membuat denyut jantung Firman semakin tak karuan. 

Sedang Citra berlaku sebaliknya. Meski hatinya hancur, tapi mata wanita itu tajam menatap pada Firman. Lelaki yang sudah bertahun didampinginya, dari bukan siapa-siapa. Dan kini, setelah sedikit saja menjadi orang, nyatanya telah berani bermain api di belakangnya. 

“Ohya, Rani. Aku naik pesawat jam enam. Jadi, mesti buru-buru ke bandara. Aku duluan, ya.” Citra berucap dengan suara bergetar, menahan luka yang menganga. 

“Citra, kami antar, ya. Ya, Mas?” Rani yang berbahagia, dapat memamerkan punya suami pada sahabatnya ini, tak segan memberi tawaran, sekaligus memohon pada suaminya agar bersedia mengantar sahabatnya ke bandara. 

Firman tergagap. Ia bingung antara menghiyakan atau menolak. Posisinya sungguh sulit. 

“Nggak usah, Rani. Aku sudah pesan taksi. Sampai ketemu lagi, ya.” Citra setengah berlari kecil menuju lift setelah memberikan pelukan pada sahabatnya. Hatinya sudah hancur. Air matanya pun tak kuasa terbendung. 

Dia menolak karena sudah tak tahan lagi. Tak mungkin dia akan bersama Firman dan Rani lebih lama lagi. Apalagi, Rani tampak sangat bahagia. 

Di dalam taksi menuju bandara, pikiran Citra berkelana tak tentu arah. Salah apa dia dengan Firman hingga suaminya itu dengan tega mengkianatinya. Tragisnya, dengan sahabatnya sendiri. 

Apa yang kurang dari Citra? Apakah dia kurang baik dalam melayani Firman?

Citra menggeleng. Selama ini, kehidupan mereka baik-baik saja. Setiap ada pertengkaran, hanya pertengkaran kecil yang tak berarti. Semua akan selesai dengan pelukan hangat dan saling memaafkan. Lalu mengapa Firman berpaling? 

Sampai di Jakarta, Citra segera membersihkan diri. Anak-anak sudah tertidur pulas. Besok adalah jadwal Firman kembali ke Jakarta. Citra harus sudah bisa berfikir jernih dan tidak mengedepankan emosi. Saat ini, yang dipikirkan Citra adalah nasib ke tiga buah hatinya.

"Aku tak boleh rapuh," desis Citra. 

Malam semakin larut, Citra pun tak dapat memicingkan mata. Bulir bening di matanya tak jua berhenti mengalir. Bayangan Firman dan Rani masih tampak jelas di pelupuk mata.

"Kenapa harus Rani? Kenapa?" tanya Citra dalam hati. 

"Mas Firman, apa yang kamu inginkan sesungguhnya, Mas? Apakah kamu selama ini tak bahagia denganku? Atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku?" desis Citra lagi. 

Citra menggeleng.

Semuanya seperti hanya mimpi. Bukan nyata. Kegembiraannya bertemu teman lama, justru membawanya melihat kenyataan yang sama sekali di luar dugaan. 

***ETW***

Rani sudah tertidur pulas. Namun mata Firman tak juga terpejam. Pikirannya sibuk menyiapkan apa yang akan dikatakan esok kepada Citra. Alasan apa yang bisa dia sampaikan? Khilaf? Apa benar khilaf? Terlalu klise!

Ada penyesalan dalam lubuk hati Firman. Tapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan, Firman pun belum sanggup mengatakan yang sesungguhnya kepada Rani. Terlebih orang tua Rani. 

Ini memang sebuah kesalahan. Tapi bagaimana ia dapat memperbaikinya? 

Apa yang harus Firman katakan nanti, kepada orangtua Citra, kepada orang tuanya tentang status barunya. Penyesalan pun tiada berarti. 

Akankah Citra menerima Rani? Ataukan Citra akan menerima maafnya? Berbagai kemungkinan memenuhi otak Firman. 

“Mas, bangun. Sudah pagi. Kamu harus berangkat dengan penerbangan pertama kan?” Rani menggoyang-goyang bahu Firman. Pria itu tertidur kala pagi hampir menyapa, sehingga membuatnya bangun kesiangan.

Firman segera beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih dipenuhi hal-hal yang meresahkan. Tak pernah dia merasakan seresah ini. Dia sangat mengkawatirkan penerimaan Citra setiba di Jakarta nanti. 

“Kamu kenapa, Mas? Kok seperti ngga senang mau balik ke Jakarta? Mau besok aja balik Jakarta?” goda Rani.

Rani tentu saja masih ingin bersama Firman lebih lama. Kalau tidak kerja, rasanya ingin ikut Firman ke Jakarta. 

“Mas, boleh ngga akhir pekan ini aku yang ke Jakarta? Aku juga ingin jalan-jalan dan nginep di rumahmu,” kata Rani saat mengantar Firman ke bandara. 

“Mas, kok diem aja.” Rani menyenggol lengan Firman.

“Eh—Iya boleh. Nanti Mas atur,” jawab Firman tergagap. Sepertinya Firman harus menyiapkan apartemen jika sewaktu-waktu Rani memaksa datang ke Jakarta. Tidak mungkin diajak menginap di rumahnya atau di hotel. 

Tapi yang terpenting sekarang adalah, bagaimana dia harus berbicara dengan Citra, dan mengambil hati Citra kembali, pikirnya.

Mobil yang membawa Firman dari Bandara Soekarno-Hatta sudah tiba di depan rumah Firman. Rumah di daerah penyangga Jakarta. Rumah yang dibangun dengan keringatnya bersama Citra. Tak ada arti apa-apa Firman tanpa Citra. 

“Papa pulang!” teriak Rio dan Romi sambil menghambur ke luar rumah. Anak-anak yang berumur 5 dan 3 tahun ini memang sedang aktif-aktifnya. 

Firman segera membentangkan tangannya dan memeluk kedua buah hatinya. 

“Adik Rara mana?” tanya Firman sambil menciumi kedua putranya. 

“Lagi sama Mama,” jawab Rio sambil berlarian masuk kembali ke rumah. 

Jantung Firman bergemuruh saat dia melangkah masuk ke dalam rumah. Dia sudah membayangkan bagaimana Citra akan marah kepadanya. 

Dipindainya dalam rumah. Tidak ada Citra di ruang tamu, ruang tengah ataupun ruang makan. Firman bergegas ke kamarnya sambil membawa kopernya. 

Kosong!

Firman menghela nafasnya. Mempersiapkan mentalnya untuk bicara dengan Citra. Wanita yang sepanjang hidupnya setia padanya, tak pernah sedikitpun membuatnya marah dan kesal. Tapi kini, dia telah menyakitinya, di depan mata kepalanya. 

Firman beranjak ke kamar Rara. Dibukanya pintu kamar itu perlahan. Jantungnya bergemuruh saat dilihatnya ada Citra di sana sedang duduk dikursi membelakanginya. Menghadap ke jendela besar yang menghadap ke luar. Tentu saja, Citra pasti sudah tau kedatangannya. Dari jendela itu, Citra bisa melihat lalu lalang di depan rumahnya. 

Pelan-pelan Firman berjalan mendekati Citra. 

“Dik, “ panggil Firman.

Citra bergeming. Air mata Citra belum juga berhenti menetes. 

Sejak pagi memang dia memutuskan mengurung diri di kamar Rara dan meminta Mbak Susi, pengasuh Rio dan Romi, untuk mengajak anak-anak bermain tanpa mengganggunya.

Citra ingin sendiri. Hanya Rara yang ada dipelukannya. 

“Dik, Mas minta maaf,” bisik Firman sambil membungkukkan badannya, mendekap tubuh Citra dari belakang. 

Rara yang sedang menyusu, langsung bangun begitu mendengar suara Papanya. Tangan mungil Rara mengapai-gapai papanya minta digendong. Bayi belum berumur setahun itu serta-merta terkekeh begitu melihat papanya melepas rengkuhan pada mamanya dan menyambut gapaian tangannya. 

Citra tetap bergeming. Pandangannya masih kosong ke luar jendela.

Firman dibuat salah tingkah melihat Citra yang hanya berdiam. Biasanya, istrinya itu selalu hangat menyambut kedatangannya, meski selama ini, diam-diam dia telah berkhianat. 

Hingga malam menjelang, Citra masih saja belum mengucapkan sepatah kata pun pada Firman. Lidahnya masih kelu. Citra hanya berbicara ke anak-anak, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, tidak ke Firman. 

“Dik, kamu nggak tidur di kamar?” tanya Firman saat sudah larut malam, Citra masih di kamar Rara. Hati Firman sangat pedih. 

Jika ingin memilih, sepertinya lebih baik Citra memarahinya, memakinya, dibandingkan didiamkan seperti ini. Citra yang biasanya periang dan cerewet, tiba-tiba berubah menjadi dingin. 

Firman duduk di tepi ranjang milik Rara, dimana Citra terbaring membelakanginya sambil memeluk Rara. Diraihnya jemari tangan Citra.

Wanita itu tak menepisnya, tapi juga tidak menyambutnya.

Citra seperti sudah mati. 

“Dik, Mas minta maaf.” Diciumnya jemari tangan itu. 

Air mata Firman pun tak kuasa dibendung. Menetes hingga terjatuh membasahi selimut yang menutupi tubuh Citra.

Namun Citra bergeming. Dia sudah mati rasa.

***ETW***

Saat pagi menjelang, Citra terbangun. Pandangannya memindai pada Firman yang masih tertidur dengan posisi duduk di lantai dan kelapa menyandar di kasur. Namun, Citra sama sekali tidak terenyuh. Sayatan sembil masih terasa dalam jantungnya. 

Pelan-pelan Citra beranjak dari kamar Rara. 

Seperti biasa, Citra segera menunaikan tugas rumah tangganya dari pagi buta, termasuk menyiapkan perlengkapan kerja Firman. Lalu, semua hal di rumah itu berjalan normal, seperti tak terjadi apa-apa. 

"Papa masih capek, ya, Ma?" Begitu Rio dan Romi bertanya. Mereka sudah paham kalau kadang ada saat Papanya tidak bisa diganggu. 

Firman pun terbangun saat matahari menyoroti dalam kamar, dan terdengar suara rengekan Rara.

Pria itu memindai sekitar setelah mengerjap. Tak ada Citra di kamar. Hanya bayi mungil itu yang mulai tak nyaman karena hari telah siang. 

Segera Firman meraih Rara dalam gendongan dan membawanya turun untuk mencari Citra. 

“Mbok, Bu Citra mana?” tanya Firman ke Mbok Sumi, asisten rumah tangganya. 

“Sudah berangkat barusan, sama anak-anak,” jawab Mbok Sumi sambil meraih Rara untuk segera dimandikan. 

Firman menghela nafas.

Sakit sekali rasanya didiamkan oleh Citra. Baru kali ini dalam hidupnya dia tidak dianggap. 

[Mas, Sabtu ini aku jadi ke Jakarta, ya. Aku sudah pesan tiket. Antar aku ketemu Citra, ya!]. 

 ---

DIMADU DENGAN SAHABAT SENDIRI (3) 

[Weekend ini aku ke Jakarta, lho. Kita ketemuan, ya.] 

Sebuah pesan masuk ke ponsel Citra.

Citra hanya mengernyit. Tidak ada namanya. Tepatnya, Citra belum menyimpan nomor kontak itu.

Citra memilih memasukkan kembali ponsel itu ke dalam laci meja kerjanya. Tak ada niat membalasnya segera. 

Pekerjaan kantornya yang menumpuk, membuatnya melupakan segala masalahnya. Dan Citra sangat bersyukur dengan hal ini. Karena membuatnya tidak tenggelam dalam emosi. 

Sayangnya, saat dia memasuki rumah, emosinya kembali terkuras. Melihat anak-anak yang ceria, membuat dia teringat masa-masa bahagianya bersama Firman, yang kini hancur dalam sekejap.

Menjelang tidur, Citra membuka kembali ponselnya yang sejak siang tadi hanya berada di tas kerjanya. Dilihatnya berderet notifikasi pesan singkat disana. 

[Hei, nggak dibales, sih. Ini Rani.] Pesan itu masuk beberapa saat setelah pesan yang pertama. 

[Aku boleh main ke rumahmu, kan? Aku ingin lihat keponakanku yang lucu-lucu.] Pesan berikutnya terbaca oleh Citra. 

[Nanti kita jalan-jalan ya. Kamu ajak keluargamu, aku ajak suamiku.]

Citra mengenggam ponselnya erat. Hatinya semakin hancur. 

"Rani, Maafkan aku." Citra segera meletakkan ponselnya di nakas setelah dinon-aktifkannya ponsel itu. Dia seolah tak ingin membaca pesan dari Rani. 

***ETW***

Sudah hampir seminggu sejak kepulangan Firman dari Surabaya, Citra masih mendiamkannya. Citra seperti marah namun tak dapat mengungkapkan. Dia hanya bisa diam membisu. 

Firman pun tak jua berani buka suara untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi. Lidahnya menjadi kelu melihat kebisuan Citra. Bahkan, menyentuh Citra pun Firman menjadi segan. 

Firman tahu, dia sudah melakukan kesalahan besar. Tapi, ia tak tahu bagaimana caranya memperbaiki. 

Tapi, itu semua hanya terjadi antara Firman dan Citra.

Citra masih seperti biasa pergi bekerja dan mengurus kebutuhan rumah tangga. Beruntung mereka punya dua asisten yang mengurus rumah dan anak-anak. 

Firman hampir lupa kalau hari ini Rani akan ke Jakarta. Untungnya, tidak sulit mencari apartement full furnished di Jakarta. 

[Mas, jangan lupa jemput, ya. Aku sudah mau boarding] Sebuah pesan dari Rani masuk ke ponsel Firman. 

Firman yang dari tadi mematung melihat Citra yang masih terdiam di kamar Rara, segera beranjak. 

“Mas …. ” Panggilan lirih Citra menghentikan langkah Firman.

Langkah Firman pergi di hari libur seolah memberi isyarat bagi Citra kalau Firman tak benar-benar minta maaf padanya. 

“Ceraikan aku….” lanjut Citra. Airmatanya masih mengurai, menganak sungai membasahi wajah cantiknya. 

Kalimat singkat yang meluncur dari mulut Citra sontak membuat hati Firman hancur berkeping-keping. Itu adalah kata-kata yang paling ditakuti Firman. Bodohnya dia, kenapa tidak dari dulu dia menyadari bahwa kesalahannya akan membuat kata itu meluncur dari mulut Citra. 

Firman berbalik dan berjalan mendekati Citra yang duduk menyendiri di depan jendela kamar Rara. Dia melipat kakinya di depan Citra, agar bisa melihat wajah Citra dari dekat. Diraihnya jemari tangan Citra dan ditautkannya dengan jemarinya erat. 

“Mas, minta maaf. Jangan pernah katakan itu. Jangan hukum Mas seperti ini.” Air mata Firman luruh. 

Tapi, Citra bergeming. Menatap Firman saja rasanya ia enggan. Citra lebih memilih menatap luar jendela. Melihat kendaraan yang melintas di depan rumahnya. 

Hingga bunyi ponsel membuat Citra menoleh, karena Firman tak jua mengangkatnya. 

“Angkat, Mas,” kata Citra. 

Namun, Firman justru membuat nada diam di ponselnya. Tak ada keinginan mengangkat, meski tahu siapa yang memanggil. 

Citra menjadi geram. “Aku memaafkanmu, jadi tolong tinggalkan aku,” jawab Citra tanpa sedikitpun menatap Firman. “Pergilah, jangan buat sahabatku terluka,” lanjut Citra. 

Kata-kata Citra sungguh menyakitkan. Citra hampir tak pernah berkata sekaku ini. Biasanya dia akan berkata yang lembut dan hangat.

“Dik…” Firman tergugu di hadapan Citra. Dibenamkannya kepalanya ke pangkuan Citra, berharap Citra akan melunak. Firman merasa sudah tidak ada harganya di hadapan Citra. 

Panggilan ponsel kembali terdengar. 

“Pergilah, Mas. Jangan membuat sahabatku menunggu.” Citra berdiri dari kursi tempat dia duduk. Pangkuannya sudah basah dengan air mata Firman. Tak ada gunanya menangis sekarang. Semua sudah terjadi. 

Bagi Citra, yang terpenting adalah kejelasan menghadapi masa depan. 

***ETW***

“Maaf, Sayang. Mas terlambat. Macet,” dalih Firman saat menjemput Rani di bandara. 

Firman melajukan mobilnya menuju apartemen yang baru kemaren dipesannya. Beruntung dia sempat melihatnya terlebih dahulu, dan meninggalkan beberapa setel baju cukup buat menghabiskan akhir pekan bersama Rani. 

“Kamu kok bengong, Mas dari tadi. Apa kamu nggak suka aku ke Jakarta?” tanya Rani setelah beberapa saat merasakan kebisuan.

Firman memang hanya diam sambil mengemudikan mobilnya. Beda jauh dengan saat di Surabaya, dia selalu banyak bicara, meskipun biasanya hanya menanggapi cerita Rani. 

Rani memang hampir tak pernah mencecar menanyakan hal pribadi ke Firman. Bagi Rani, mungkin Firman tipe laki-laki yang tidak suka ditanya hal pribadi. Toh, selama ini Firman punya alasan mengapa dia belum bisa bertemu dengan orang tua Firman. 

“Maaf, Rani, Mas banyak kerjaan. Sepertinya Mas tak bisa menemanimu jalan-jalan akhir pekan ini karena lembur,” dalih Firman.

Sebenarnya, dia tak ingin meninggalkan Citra dalam keadaan seperti ini. Dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Citra terlebih dahulu. 

“Nggak papa, Mas. Nanti aku janjian ketemu Citra. Siapa tau dia bersedia menemaniku jalan-jalan bersama keluarganya,” lanjut Rani. 

Degup jantung Firman berpacu lebih kencang saat mendengar kata-kata Rani. Bagaimana mungkin Citra akan mengajak keluarganya jalan-jalan dengan Rani. Bagaimana kalau Rani sampai tahu, dia-lah suami Citra. 

“Atau, aku bisa nginap di rumah Citra aja. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Dulu kami sering menghabiskan waktu bersama, bercerita sampai pagi kalau dia sedang menginap di rumahku.” Rani bercerita dengan antusias, seperti tak ada beban di hatinya.

Sebaliknya, cerita Rani, membuat Firman merasa semangkin nelangsa, menyadari kebodohannya. Mengapa baru sekarang dia tahu, kalau Rani adalah sahabat Citra. Firman merasa, tak hanya menghancurkan keluarganya, tapi juga menghancurkan persahabatan istrinya. 

Di pemberhentian lampu merah, Firman sejenak mendongakkan kepalanya. Mencegah air mata menetes dari sudut matanya. Menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengurangi beban dalam dadanya. 

“Rani, maaf Mas harus kembali ke kantor,” kata Firman saat sudah mengantar Rani sampai apartemennya. 

“Mas sudah pesankan makan siang, sebentar lagi datang,” sambung Firman sambil mengecup puncak kepala Rani. 

Maafkan aku Rani, harus membohongimu. Bisik Firman dalam hati sambil meninggalkan apartemen dimana Rani tinggal. 

Beruntung Rani sangat memahami kesibukan Firman dan tak banyak bertanya. 

Rani segera mengambil ponselnya. Dengan antusias ditekannya nomor Citra.

“Hai, Citra. Kok pesanku tidak dibalas? Dari tadi pagi juga aku hubungi, non-aktif. Apa kita bisa ketemu sekarang?” tanya Rani dari ujung telpon. 

“Maaf, Rani, aku kemaren banyak kerjaan kantor. Selamat datang di Jakarta. Jadi kita ketemu?” sahut Citra berusaha senormal mungkin. Diredamnya gejolak hatinya dalam-dalam. Ada luka di sana. Tapi, Citra tak ingin melukai sahabatnya. Toh, dia bisa sedikit bersandiwara. 

Citra segera bersiap-siap setelah menyerahkan pekerjaan rumah dan urusan anak-anak ke Mbok Sumi dan Mbak Susi, kedua asisten rumah tangganya. 

“Mau kemana, Dik?” tanya Firman yang sudah berdiri di ambang pintu.

Citra hanya melihatnya melalui cermin di depannya, lalu sibuk kembali memulas wajahnya, untuk menyembunyikan rona sedih di wajah cantiknya.

“Mau ketemu Rani,” jawab Citra pendek. Tapi, jawaban itu sungguh menyakitkan bagi Firman. 

“Maaf, Mas. Aku pergi dulu. Rani sudah menunggu,” kata Citra sambil keluar dari kamarnya. 

Citra pergi menjauh meninggalkan Firman yang masih berdiri terpaku. 

Bersambung

Cerita lengkap ada di KBM, Joylada, dan GoodNovel