Kucing Kudis
Kucing Kudis 

Sekali-kali libur menulis tentang noda, takut pembaca bosan.
Pengin nulis tentang anakku dan kucing gering tung ting tur kudisen.

Itung-itung tamba kangen sama anak lanang yang sudah berapa minggu belum ketemu, lagi sibuk persiapan semprop untuk thesisnya.
.

Seperti rutinitas pagi yang lain, jendela dan gorden aku buka.
Biar pasukan udara pengap di dalam rumah bisa berganti  dengan pasukan udara segar.

Begitu pintu dapur terbuka, Si Garang, Hidung belang, Oyen buluk dan para kucing liar lainnya biasanya kompak menampakkan hidung dempisnya. Hidung kucing termasuk mancung apa dempis? Bingung aku tuuu....
Kalau kucing bisa ngomong, mungkin mau menyapa :
"Selamat pagi, Ibu"
"Selamat pagi, Bapak"

Pagi ini tidak ada meongan ramah Oyen dan komplotannya.
Di kap mobil cuma ada kucing pendatang baru yang sibuk garuk-garuk telinga karena terkena scabies. Kurus, dekil, bulu dan kulitnya rontok bertebaran di kaca depan mobil.

Oyen dan kawan-kawannya mungkin tida tega, melihat kondisi warga pendatang baru dunia perkucingan yang kondisinya mengenaskan. Jadi pagi ini memilih pergi dengan menitip absensi setor muka ke kucing kudis.

"Ini kucing kondisinya mengenaskan banget."
"Aduh, bagaimana penanganannya."
"Jangan-jangan sudah hampir  mati." Aku membatin dengan cemasnya.

Biasanya menu sedekah yang aku siapkan untuk kucing liar seadanya. Faktor tidak tahan melihat penderitaan si kucing kudis, kali ini menu terpaksa diada-adakan.
.
Anakku Abung yang perasaannya super halus, melihat ada kucing penyakitan terus sibuk memberi makan, menyiapkan litter untuk tempat tidurnya, menyiapkan susu, juga mencuci tempat susu dan makanan.

Mungkin abung berfikiran : 
"Begini rupanya kalau punya anak, repot!."
😀😀😀
.

Penderitaan si kucing terus menerus  garuk-garuk sepenjang hari sampai berdarah mengusik rasa tenangku.
Aku menghubungi temanku yang memelihara kucing kampung sampai sebanyak 15 ekor.

"Tidak diobati juga tidak apa, perhatikan saja asupan gizinya."
"Kucing kampung liar punya daya tahan tubuh yang bagus, tanpa di obatin juga anti sembuh sendiri".

Advis dari temenku, lumayan membuat lega hati.Bayangin saja, bagaimana aku tidak cemas. si kucing pekerjaannya cuma menggaruk kulit yang penuh scabies. 
Coba kalau garuk-garuk terus sampai musim sensus di kolom pekerjaan Kartu Tanda Penduduk Kucing akan tertulis pekerjaan garuk-garuk.

Seandainya sekali garuk sepanjang satu centi, berjam- jam menggaruk, bila di jumlahkan jarak garukan si kucing sudah melewati Jalan Daendels berapa kilo meter?

By the way, kamu tahu tidak satuan jarak yang bikin kangen?
Apa coba? Cm Km!
.

Nasehat temanku cuma bisa mendinginkan hatiku dan suamiku. Tidak untuk anakku.
Menjelang magrib, Abung celingak celinguk melulu di depan garasi. Sangkaku lagi nungguin go food atau delivery apalah. Bolak balik angkat telephon memberi panduan lokasi rumah.

Selang beberapa menit terus bertanya :

"Ibu kagungan arto pinten?."
Ibu punya uang berapa?

"Cobi teng tas wonten pinten,"
Coba di tas ada berapa?" 
"Abung butuh pinten?," tanyaku.
Abung butuh berapa?

Abung diam tidak menjawab.
.

Habis magrib ada tamu datang, di sambut Abung yang sudah siaga dengan litter berisi kucing kudis. Oooo, barusan minta uang untuk biaya pengobatan kucing toh? Aku baru paham.
.

Si Mbak dari pet shop dengan cekatan memeriksa seluruh tubuh mulai kondisi bulu, mata, sampai mencatat bobot badan.
Setelah di diagnosa, si kucing cukup berobat jalan, tidak perlu menjalani pengobatan rawat inap. Pengobatannya di suntik anti scabies.
Si Mbak juga berpesan supaya berhati-hati saat bersentuhan langsung dengan si kucing, karena scabies menular.

Kabar kucing kudisnya sekarang bagaimana? Entahlah.
Setelah kondisinya pulih, tubuhnya gemuk ginu-ginuk, kembali gagah perkasa, kucing aku ajari kembali untuk hidup balik ke alam liar.

Aku kurang telaten merawat kucing, Cint. Selain harus disiplin menyiapkan makan, minum, ini dan itu aku juga sering meninggalkan rumah untuk menjenguk orang tua

"Mencintai kan tidak harus memiliki, bukan?"

Komentar

Login untuk melihat komentar!