Prolog
Sewaktu Kartika Hapsari mengetuk pintu depan Panti Asuhan Hikmah Kasih, Daisy Djenar Kinasih, salah satu pengurus panti, sedang menggendong Jelita, bocah cantik berusia satu setengah tahun yang baru saja mandi. Handuk berwarna kuning masih membelit tubuh bocah kurus tersebut dan dia melambai sembari pamer senyum pada tamu mereka yang datang sore itu.

"Mbak Tika? Aduh maaf, Desi nggak dengar tadi pas ketuk pintu." Gadis dua puluh dua tahun itu meminta Kartika masuk. Tangannya terarah pada sofa berwarna cokelat tua bahan oscar yang di beberapa bagian agak sedikit geripis dan melesak. Meski begitu, walau beberapa furnitur yang terdapat di dalam ruang tamu tampak tua dan tidak bagus layaknya furnitur di rumah warga lain, kondisi ruang tamu tersebut amat rapi dan terawat. Di dinding atas sofa, terdapat beberapa foto dalam pigura yang berisi gambar kepala yayasan, pengurus, serta foto-foto anak-anak dirawat di tempat itu. 

"Nggak apa-apa. Salah Mbak yang datang mendadak, nggak kasih tahu kamu terlebih dahulu."

Daisy lantas diam sejenak, berusaha memindai lawan bicaranya yang kini memilih menghenyakkan pantat ke atas sofa. Terdengar suara derak dan sejenak, Kartika melirik tempat dia duduk tersebut dengan perasaan was-was. 

"Karetnya agak dol, sering diloncatin Syarif sama Udin." Daisy meminta maaf. Dia kemudian masuk ke sebuah kamar untuk mengambil kebutuhan Jelita yang nampak anteng dalam gendongannya. Karena itu juga, Kartika yang tadinya duduk, kemudian memutuskan untuk menyusul Daisy.

"Namanya anak-anak. Tapi hari ini agak sepi, ya? Yang lain ke mana?"

"Ke ulang tahunnya Sifa. Yang bulan kemarin baru diadopsi sama keluarga Harmansyah. Mereka semua senang, karena selain kangen, anak-anak baru sekali ini diajak naik bus gede dan pakai seragam. Heboh banget pas mereka juga diajak belanja ke mal." Daisy menjelaskan.

Dia sudah menarik selembar setelan yang sudah disetrika dari sebuah lemari plastik warna biru, celana dalam dan kaos dalam untuk Jelita. Daisy juga membawa sebotol minyak kayu putih dan sebotol bedak bayi berukuran 500g serta sebuah sisir berwarna cokelat tua ke atas sebuah karpet plastik bermotif mirip tikar pandan dan mendudukkan Jelita yang langsung berusaha berdiri begitu pantatnya menyentuh lantai.

"Kamu nggak ikut?" Kartika bertanya. Dia kemudian ikut duduk di depan Daisy yang menggoda Jelita dengan sebuah gelitikan hingga balita tersebut terkekeh geli.

"Jelita mencret. Udah beberapa kali beol. Jadi aku yang jaga. Lagian kalau semua pergi, ndak enak panti jadi kosong.

Kartika memperhatikan Jelita yang menepuk-nepuk botol bedak dengan semangat. Dia mengelus punggung bocah kecil itu setelah merasa Daisy memberi bedak terlalu banyak di sana.

"Kasian, Jelita tulangnya nonjol gini. Nggak dibawa ke rumah sakit aja, Des?" Kartika menawarkan dan dibalas gelengan oleh Daisy.

"Nggak, Mbak. Udah dibawa ke bidan. Dikasih sirup sama antibiotik." 

Kartika menggeleng tanda tidak setuju, "Kok gitu? Bidan kan tugasnya membantu ibu dan bayi yang baru lahir." Belum sempat protesnya usai, Daisy sudah terlebih dulu memotong, "Bidan Yatri langganan panti, Mbak. Boleh ngutang kalo duit belum ada. Jelita juga sudah mulai senyum, nggak nangis-nangis lagi kayak semalam."

Kartika berusaha agar air matanya tidak tumpah. Memandangi balita malang yang entah siapa orang tuanya itu, mengingatkan dia dengan nasib mereka berdua. Dia sedikit lebih beruntung daripada Daisy. Kartika diadopsi oleh keluarga yang amat baik dan mencintainya, sedangkan Daisy, walau telah empat kali diadopsi, entah mengapa, keluarganya tidak pernah bertahan lama. Pada akhirnya, gadis tersebut muak dan memohon agar diizinkan tinggal di panti untuk mengabdi ditempat dia dirawat dan dibesarkan walau tanpa gaji sekalipun.

"Jelita ikut ke dokter ama Bude, ya?" Kartika bicara, mengabaikan gelengan dari Daisy yang kini sudah memakaikan celana dalam buat gadis mungil tersebut.

"Mbok dipakein diapers. Nanti mencretnya kemana-mana." Kartika protes. Daisy tentu saja tertawa, "Mahal, Mbak. Lagian kalo pake celana, aku bisa tahu kapan dia buang air. Jelita juga bisa laporan kalau dia beol."

"Tapi nanti berceceran dong fesesnya." 

Daisy mencium pipi Jelita yang baru saja kelar dia beri bedak tipis.

"Halum, halum, halum, anaknya siapa ini?" 

Jelita terkekeh geli. Daisy lantas menoleh lagi, "Nggak apa-apa, Mbak. Desi tinggal lap, bersihkan dengan alat pel."

"Nggak jijik kamu?" Kartika mencari-cari jejak keberatan di wajah lawan bicaranya tersebut, tapi Daisy tidak menampakkan wajah kesusahan sama sekali.

"Yah, Mbak. Bu Yuyun yang ngasuh kita berdua dari kecil juga nggak ada jijik sama sekali."

Kartika mengulum senyum. Daripada membeli pokok sekali pakai yang jumlahnya tidak murah, masih mending mencuci ulang bertumpuk-tumpuk pakaian kotor. Dana yang diterima yayasan untuk panti harus dihemat sedemikian rupa. Mengasuh anak-anak malang seperti Jelita kadang juga membuat para pengurus berjuang lebih keras saat mereka sakit, entah itu merawat mereka atau juga memikirkan biaya pengobatan. Itu saja, di luar biaya makan dan lain-lain. Karena itu juga, mempertanyakan tentang popok sekali pakai pada mereka adalah hal yang seharusnya tidak perlu diucapkan. 

Meski begitu, kadang ada saja bantuan datang berupa paket-paket kesehatan, bantuan sembako, pakaian balita, anak-anak, bahkan untuk para pengurus selain donasi dari para donatur yang untungnya tidak pernah putus memperhatikan anak-anak malang tersebut. Kartika termasuk salah satu di antara mereka. 

Kunjungannya ke panti biasanya selain kangen dengan Daisy sang adik angkat, adalah memberikan bantuan entah itu berupa kebutuhan pokok atau juga dana yang setiap melihat angkanya, membuat Daisy atau para pengurus panti merasa amat tidak enak hati.

Mereka semua tahu, setelah diadopsi oleh sepasang suami istri kaya raya, Kartika juga dinikahi oleh pemilik bengkel dan showroom mobil ternama di Jakarta. Uang tentu bukan lagi masalah. Akan tetapi, tetap saja, kebaikan sang donatur tetap yang telah memberikan sumbangsih amat banyak para yayasan tersebut, membuat Daisy sungkan karena mereka telah terlalu banyak mendapatkan bantuan.

"Makanya Mbak sayang banget sama kamu. Setelah semua teman-teman kita bahagia dengan hidupnya masing-masing, kamu masih setia di sini, berkorban buat adik-adik, sampai lupa membahagiakan diri sendiri." Kartika mengelus punggung tangan Daisy yang baru kelar mendandani Jelita. Si mungil dengan rambut tipis sewarna jagung tersebut menyunggingkan senyum saat dia berusaha berdiri.

"Ngomong apa sih, Mbak Tika ini? Desi bahagia, kok. Lihat adik-adik nyaman dan sehat sudah berarti segalanya buat Desi."

"Maksud Mbak, kamu nggak ada niat buat pacaran...?"

Kartika sengaja mengulur kalimat barusan dan tentu saja karenanya, Daisy lantas melirik dengan sudut matanya yang memilik buku mata amat lentik. Meskipun tidak memakai bedak dan make-up, Daisy memiliki kecantikan alami yang mampu membuat banyak kaum Adam terpesona. Tapi, dia lebih memilih menutupi kecantikannya dengan jilbab panjang terulur yang pada akhirnya membuat Daisy nyaman karena tidak semua lelaki suka pada wanita yang menyembunyikan kecantikan di zaman sekarang.

"Haduh, pacaran opo, Mbak? Desi nggak ada waktu buat begituan. Maunya sama yang serius, langsung halal, nikah. Biar puas-puasin mesranya waktu sudah sah. Bebas ngapain aja."

Daisy tersipu, malu sendiri dengan kalimat yang barusan diucapkannya. Entah mengapa, Kartika merasa, selama sepersekian detik, mata wanita muda itu terarah ke pintu luar seolah takut ada yang mendengar. Tapi, disamping itu Kartika merasa Daisy juga mencuri pandang ke arah pigura depan kamar yang mereka tempati saat ini. Sang pemilik yayasan yang saat ini entah berada di mana, Kartika tidak tahu, adalah seorang pria tampan yang selain sopan, punya akhlak amat baik. Dia mengenal Sauqi Hadad dengan yang sudah menjadi generasi ketiga dalam hal mengurus dan menakhodai Panti Asuhan Hikmah Kasih. 

Bukan kabar burung lagi, hampir semua gadis yang berada di panti mengidolakannya. Daisy bisa jadi salah satunya. 

"Ntar kalo kamu nikah, yayasan bakal kelimpungan."

Daisy mengerjap selama satu detik lalu menahan rona di wajah, dia bicara gugup, "Desi ngarepnya nikah sama suami yang mengerti kalau istrinya punya tanggung jawab dengan adik-adik di sini. Lebih bagus, kalau nyantolnya sama orang sini juga."

Kartika menggeleng tidak setuju. Tebakannya barusan tidak salah. Bukan itu tujuannya datang hari ini.

"Janganlah. Nikah sama orang sini bakal bikin hidupmu muter-muter di panti, tok. Kamu harus melanglang buana, Des."

Deasy cekikian geli, "Ya ampun, Mbak. Santai aja. Desi baru dua puluh. Belum mikirin nikah. Masih fokus ngerawat adik-adik. Lagian nggak ada yang mau juga, kok. Desi kan anak yatim piatu. Tinggal di panti juga. Orang-orang punya stigma kalau anak panti adalah anak yang nggak diinginkan, anak haram. Ya kali, Desi bakal diterima dengan mudah jadi bagian keluarga seseorang. Biar sudah jaman modern, tetap bibit, bebet, bobot, jadi pertimbangan. Siapa yang mau punya menantu yang nggak jelas asal-usulnya."

"Hush." Kartika memotong, "Mbak ketika menikah dengan Mas Krisna, nggak ada tuh ditolak sama keluarganya. Bunda Hanum menerima Mbak dengan sukacita, walau sampai detik ini, Mbak belum bisa memberi cucu..."

Wajah Kartika tampak lesu seketika dan sewaktu melihatnya, membuat Daisy yang sedang mengawasi Jelita berjalan hilir mudik dalam kamar, melemparkan pandangan prihatin. 

"Tapi, Mbak nggak sedih-sedih amat. Di sini ada Jelita dan teman-temannya yang menghibur. Kalau lagi suntuk sama kafe dan toko online, Mbak mampir ke sini. Ada kamu juga yang nggak pernah bosen meladeni curhat Mbak."

Daisy yang kemudian bangkit lalu menangkap Jelita yang berjalan santai menuju pintu keluar, pada akhirnya menghela napas sebelum menggendong kembali gadis kecil itu dan membawanya ke arah Kartika yang memandangi lantai tegel dengan wajah muram.

"Mbak, kan, sudah lebih dari kakak kandung Desi sendiri. Ojo sedih, toh. Aku ikutan mau nangis. Dokter nggak bilang apa-apa, kan? Sakit Mbak nggak makin parah, kan?"

Kartika diam, tapi secepat kilat matanya basah dan Deasy yang mulanya memperhatikan Jelita yang sudah asyik menjelajah kamar kembali, mendekat ke arah Kartika dan mengusap punggungnya. Bukannya reda, tangis wanita tiga puluh tahun itu makin pecah.

"Ya, Allah, Mbak. Eling. Kenapa? Kasih tahu Desi. Ada Desi yang bisa bantu Mbak."

Kartika menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan terisak-isak. Hijab syari warna peach yang senada warnanya dengan gamis, membuatnya amat anggun. Tapi, karena menyentuh bahu dan punggungnya, Deasy tahu, keadaan Kartika tidak baik-baik saja.

"Mbak, Ya Allah. Kurus banget badanmu. Mbak makan, nggak? Suamimu dah tahu belum?"

Kartika mengangguk. Tangisnya pecah lagi.

"Minggu depan kami ulang tahun pernikahan yang ke lima. Mas Krisna bakal hancur kalau aku kasih tahu waktu istrinya nggak banyak lagi..."

"Mbak...kamu jangan ngomong begitu. Aku nggak mau ada apa-apa..." Deasy menyambar tubuh ringkih Kartika dan tidak kuasa menahan air mata yang makin deras saat adik angkatnya memeluknya dengan erat.

Bahkan, Jelita yang saat itu bingung dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya, ikut menangis panik. Deasy sampai harus bangkit dan menenangkan si kecil dalam gendongannya.

"Nggak apa-apa, Sayang. Bude sedih aja." Daisy merayu sang bocah supaya tangisnya reda.

"Kamu beneran mau bantu Mbak?" Kartika tiba-tiba saja berdiri dan bergerak mendekati Deasy dengan tangan bergetar. Untuk pertama kali, selama mengenal wanita itu, Deasy Djenar Kinasih merasa bahwa Kartika Hapsari tampak sangat mengkhawatirkan. Dia bahkan tidak bisa menahan diri untuk mendekati Kartika lalu memeluknya sambil menahan air mata yang dari tadi memang hendak tumpah.

"Mbak jangan nakutin Desi..." 

"Dokter bilang, waktuku nggak lama lagi, Des. Mas Krisna bakal hancur kalau dia tahu kenyataan dia akan kehilangan istrinya..."

"Mbak nggak boleh ngomong gitu. Maut cuma Allah yang menentukan. Mbak nggak boleh..."

Kartika menggeleng. Dia lantas menarik jemari kiri Deasy erat-erat lalu menatap wajah adik angkatnya dengan penuh harap, "Waktuku nggak lama lagi. Cuma kamu yang bisa kupercaya. Tolong aku, Des. Tolong gantikan aku jadi istri Mas Krisna. Tolong menikah dengannya..."

Deasy Djenar Kinasih merasa palu Godam sedang menghantam wajahnya dan dia hanya mampu memandangi wajah Kartika yang menganggukkan kepala berkali-kali.

"Bantu aku. Itu permintaan terakhir dari kakakmu ini."

***


Halo. 
Terima kasih buat yang menyempatkan mampir ke lapak ini. Salam kenal buat pembaca baru dan salam sayang buat pembaca kesayanganku yang rela kabur dari******demi penulis gendengnya yang satu ini. 

Jika suka silahkan klik ❤, komen yang banyak, dan share ke teman-teman, ya. Semakin banyak yang baca, diriku bakal sering apdet. 

Mwaaacch..

💅💅💅💅 MCR
Bab
Sinopsis
1
Prolog
2
satu
3
dua
4
tiga
5
empat
6
lima
7
enam
8
tujuh
no_image no_image
9
delapan
no_image no_image
10
sepuluh
no_image no_image
11
sebelas
no_image
12
dua belas
no_image
13
tiga belas
no_image
14
empat belas
no_image
15
lima belas
no_image
16
enam belas
no_image
17
tujuh belas
no_image
18
delapan belas
no_image
19
Sembilan belas
no_image
20
dua puluh
no_image
21
dua puluh satu
no_image
22
dua puluh dua
no_image
23
dua puluh tiga
no_image
24
dua puluh empat
no_image
25
dua puluh lima
no_image
26
dua puluh enam
no_image
27
dua puluh tujuh
no_image
28
dua puluh delapan
no_image
29
dua puluh sembilan
no_image
30
tiga puluh
no_image
31
tiga puluh satu
no_image
32
tiga puluh dua
no_image
33
tiga puluh tiga
no_image
34
tiga puluh empat
no_image
35
tiga puluh lima
no_image
36
tiga puluh enam
no_image
37
tiga puluh tujuh
no_image
38
tiga puluh delapan
no_image
39
tiga puluh sembilan
no_image
40
empat puluh
no_image
41
empat puluh satu
no_image
42
empat puluh dua
no_image
43
empat puluh tiga
no_image
44
empat puluh empat
no_image
45
empat puluh lima
no_image
46
empat puluh enam
no_image
47
empat puluh tujuh
no_image
48
empat puluh delapan
no_image
49
empat puluh sembilan
no_image
50
lima puluh
no_image
51
lima puluh satu
no_image
52
lima puluh dua
no_image
53
lima puluh tiga
no_image
54
lima puluh empat
no_image
55
lima puluh lima
no_image
56
lima puluh enam
no_image
57
lima puluh tujuh
no_image
58
lima puluh delapan
no_image
59
lima puluh sembilan
no_image
60
enam puluh
no_image
61
enam puluh satu
no_image
62
enam puluh dua
no_image
63
enam puluh tiga
no_image
64
enam puluh empat
no_image
65
enam puluh lima
no_image
66
enam puluh enam
no_image
67
enam puluh tujuh
no_image
68
enam puluh delapan
no_image
69
enam puluh sembilan
no_image
70
tujuh puluh
no_image
71
Tujuh Puluh Satu
no_image
72
tujuh puluh dua
no_image
73
tujuh puluh tiga
no_image
74
tujuh puluh empat
no_image
75
tujuh puluh lima
no_image
76
tujuh puluh enam
no_image
77
tujuh puluh tujuh
no_image
78
tujuh puluh delapan
no_image
79
tujuh puluh sembilan
no_image
80
delapan puluh
no_image
81
delapan puluh satu
no_image
82
delapan puluh dua
no_image
83
delapan puluh tiga
no_image
84
delapan puluh empat
no_image
85
delapan puluh lima
no_image
86
delapan puluh enam
no_image
87
87 Madu in Training
no_image
88
delapan puluh delapan
no_image
89
extra 1 Madu in Trainin...
no_image
90
extra 2
no_image
91
extra part 3a
no_image
92
extra part 3b
no_image
93
Gendhis dan Syauqi 1
no_image
94
2 Gendhis dan Syauqi
no_image
95
epilog Daisy-Krisna
no_image