tiga
 Madu In Training 4

Waktu menunjukkan lewat pukul empat saat Gendhis Wurdani Parawansa pamit kepada kakak iparnya, Kartika Hapsari. Gendis pulang terlebih dahulu karena sang bunda menelepon dan memintanya cepat pulang. Hal tersebut membuat Kartika bersyukur, jika tidak, dia bakal tetap menunggu kedatangan abang kandungnya lalu membeberkan semua yang dia ketahui pada Krisna, tentang kondisi istrinya yang sebenarnya amat mengkhawatirkan, serta rencana Kartika untuk menjodohkannya dengan Daisy.


"Bukankah Daisy kesayanganmu juga?"ujar Kartika saat Gendhis merajuk dan dia sudah menghabiskan lembar tisu ke tujuh. Gendhis memang mengangguk tapi dia tidak berniat mendapat kakak ipar baru lagi bila kakak ipar kesayangannya masih hidup.


"Kak, aku nggak mau punya dua kakak ipar perempuan. Aku nggak mau Mas Krisna berbagi istri, aku nggak mau ada dua ratu dalam satu istana Kangmasku, belum lagi bila Bunda tahu, semua orang tahu." 


"Itu jadi urusanku." Kartika memotong. Dia bicara dengan nada amat meyakinkan sehingga setiap Gendhis berusaha membeberkan fakta bahwa baik Krisna, Bunda dan dirinya sendiri tidak bakal mendukung niat Kartika tersebut.


"Lagipula, Mas Krisna hanya akan punya satu istri." Kartika menyunggingkan senyum sebelum dia melepaskan adik iparnya.


Meski begitu, Gendhis tetap tidak menyukai ide kakak ipar tersayangnya tersebut. Apalagi, setelah mendengar pengakuan Kartika barusan, hanya ada satu istri, bukankah itu seperti dia seolah yakin bahwa dirinya akan pergi meninggalkan dunia. Tapi, daripada itu, tidak ada yang lebih menyedihkan bila hal ini diketahui oleh Krisna sendiri dan Gendhis, seperti sebelumnya yakin, abangnya tidak bakal bahagia sama sekali saat mendengarnya.


"Dhis, tolong lakukan saja pekerjaanmu dan jangan kamu menolaknya. Hanya ini satu-satunya permintaan dari kakak iparmu ini dan waktu kita tidak banyak lagi.


Tersudut dan terpaksa, Gendhis tahu dia tidak punya pilihan. Mereka berpacu dengan waktu dan dia hanya menjalankan tugasnya, walau lebih bagus lagi, Daisy yang bakal mendapat tugas maha sulit ini menolak mentah-mentah permintaan Kartika. Dengan begitu, dia punya seorang lagi sekutu buat menentang niatan jelek seorang Kartika Hapsari yang merasa dia bisa mendahului takdir Tuhan dan merencanakan skenario baru sesuka hatinya, seolah-olah dia adalah sutradara amat berbakat dan bisa menebak, baik hati suaminya dan hati adik angkatnya bisa diatur sedemikian rupa. 


"Sudahlah. Jangan menangis. Kamu tahu dengan jelas, tidak ada yang bisa mengubah takdir. Yang pasti, sekarang siapkan mentalmu dan ketika aku mati nanti, jangan sia-siakan air matamu. Gunakan untuk hal yang lebih berguna seperti mendoakan misi kita bakal sukses."


Gendhis menyerah dan hal terbaik yang bisa dia lakukan hanyalah pergi dari kafe tersebut dan bergegas menemui Daisy, sesuai permintaan Kartika. Meski seperti tadi, dia betul-betul yakin, wanita itu tidak bakal sudi menuruti keinginannya. Kartika terlalu sinting dan Daisy yang waras pasti menolak diperistri Krisna yang selama bertahun-tahun menjadi musuh bebuyutannya. 


***


Krisna Jatu Janardana terburu-buru memarkirkan mobil di depan pelataran parkir Kharisma Kafe. Setelah keluar dan mengaktifkan alarm, dia segera menelepon istrinya dan merasa amat lega begitu Kartika menjawab dirinya sudah berada di dalam. 


Tanpa pikir panjang, Krisna melangkah masuk kafe. Suara beberapa pelayan terdengar menyambut dan dia tersenyum kepada beberapa dari mereka. Krisna tahu, wajah beberapa perempuan yang menoleh kepadanya nampak terpesona. Tatapan mereka tidak bisa ditipu. Sesekali di antara perempuan tersebut memperhatikan penampilannya yang memang menawan dari atas hingga ujung kaki, lalu berbisik kepada rekan di sebelahnya. Dia mafhum mereka selalu memuji. Krisna adalah salah satu pemenang jebolan kontes Pria Sehat Indonesia pada tahun 2015 yang memang pemilihannya agak ketat. Haruslah seorang yang berwajah tampan, pintar, dan paling penting proporsional. Tambahan lain, pria tersebut haruslah laki-laki tulen, bukan melambai alias punya orientasi seksual menyimpang. 


Tetapi, Krisna sudah meninggalkan dunia gemerlap tersebut sejak mengenal Kartika. Mereka saling jatuh cinta dan menikah tanpa berpacaran. Fokus hidup Krisna adalah Kartika hingga detik ini, tahun ke lima pernikahan mereka. 


Krisna menemukan Kartika duduk agak sedikit tersembunyi di sudut kafe. Senyumnya mengembang. Gegas, dia mendekat dan tanpa ragu, dikecupnya puncak kepala Kartika yang tertutup jilbab sifon lembut yang menjulur hingga perut. Sampai kapan pun, Kartika adalah wanita kesayangannya yang paling indah. 


"Assalamualaikum. Udah lama nunggu, Sayang?"


Kartika menggeleng. Krisna mengambil posisi duduk di bangku depan tempat dia duduk saat ini. Penampilannya tampak sangat sempurna. Memukau walau hanya memakai kemeja putih slim fit dan celana berbahan wol warna abu-abu tua. Si tampan itu selalu punya pesona yang tidak bisa ditolak. Kartika merasa amat sedih harus meninggalkan Krisna seorang diri. Terutama karena dia tahu, pria tersebut bakal hancur tanpa dirinya. 


"Nggak. Tadi Gendhis sempat mampir, kok. Nemenin aku." 


Krisna tidak menaruh curiga sama sekali. Gendhis dan Kartika memang selalu akrab. Dalam satu minggu, bisa dipastikan mereka akan bertemu beberapa kali. Walau, pria itu tidak tahu alasan mereka bertemu selain kerinduan antara kakak dan adik ipar. Bahkan hingga bertahun-tahun lamanya pertemuan itu selalu terjadi. Kesibukan Krisna membuatnya selalu percaya pada Kartika dan dia berterima kasih kepada adiknya Gendhis karena mau menemani Kartika saat dia tidak bisa melakukan tugasnya sebagai seorang suami. 


"Kok, nggak nungguin? Tumben. Biasanya kalau ada perayaan, dia yang duluan minta traktir. Pesan yang paling banyak dan paling mahal."


Sekalipun Gendhis tampak sangat modis dan langsing, tidak terlihat kalau dia adalah penggemar kuliner. Di depan sang abang, dia akan jadi dirinya sendiri. Tidak heran, meski mereka keturunan Jawa dan Kartika selalu memanggilnya Mas, Gendhis malah membahasakan diri kepada Krisna dengan bahasa gaul lo-gue tanda mereka amat akrab. 


"Dia dapat tugas penting, makanya nggak bisa lama." 


Ngomong-ngomong, Kartika senang melihat penampilan Krisna hari ini. Sebagai pengusaha otomotif yang sedang naik daun, dia menarik banyak perhatian perempuan. Tidak terhitung banyaknya sales cantik yang berusaha menarik perhatian si tampan itu, tetapi Krisna selalu memilih Kartika sekalipun dia tidak pernah bisa berfungsi sempurna sebagai seorang istri. 


Dia bahkan membayangkan reaksi Daisy saat mereka menikah nanti. Ah, pikiran itu seharusnya cepat menjadi nyata jika adik angkatnya tersebut tidak banyak protes. Krisna adalah pria soleh terbaik dan amat langka. Daisy bakal sangat menyesal menolaknya. Kesetiaan suaminya patut diadu dan Kartika bahkan heran, Krisna mampu bertahan selama bertahun-tahun setelah tahu Kartika akan mengalami pendarahan setiap mereka berhubungan. 


Tapi, setiap Krisna mengajaknya berobat atau melakukan pemeriksaan, Kartika selalu mengelak dan mengatakan kalau dia akan melakukannya sendiri. Krisna seharusnya curiga tetapi dia terlalu cinta dan tidak menyadari bahwa setiap menit kebersamaan mereka akan berkurang. Kartika amat senang karena Krisna seperti itu.


"Sudah pesan? Kayaknya kamu belum makan." Krisna melirik cangkir berisi teh yang baru terminum seperempatnya di hadapan Kartika. Karena itu juga, dia melambai memanggil pelayan untuk minta diantarkan buku menu.


"Sengaja nunggu." 


Kartika tidak bicara lagi. Dia memilih memandangi suaminya yang kini mengucapkan terima kasih kepada pelayan pria yang menyerahkan buku menu kepadanya lalu pandangan Krisna terarah kepada beberapa gambar menggugah selera dan mulai bertanya kepada Kartika tentang menu yang akan dipilihnya. 


"Chicken cordon bleu enak, kok. Kamu mau?" Kartika menunjuk ke arah menu di hadapan mereka ketika Krisna tampak bingung. Pria itu selalu begitu. Tidak bisa memesan menu sendiri alasannya tidak mengerti. Padahal dia adalah seorang atasan di kantornya. Kartika bahkan harus mengirim bekal makan siang jika dia memasak atau memesan layanan makanan online jika dia harus pergi ke rumah sakit.


"Ada yang lain?" Krisna membolak-balik menu, " lokal aja, Yang."


"Ada ayam goreng lengkuas. Kamu mau? Ini pernah kita makan waktu ke Bandung." Kartika menunjuk lagi gambar menu berikutnya yang berada di lembar ketiga. Gambar ayam goreng dengan sambal menggoda membuat Krisna langsung mengangguk setuju. Dengan tangannya yang agak sedikit gemetar, Kartika lalu menulis angka satu di kertas pesanan dan dia juga menambahkan angka di sebelah menu nasi dan air minum untuk suaminya, si tampan manja yang tidak pernah bisa hidup tanpanya. 


"Selanjutnya, dessert. Kamu mau pesan apa?"


Krisna menunjukkan beberapa gambar makanan penutup. Tetapi dia lebih memilih meraih tangan kanan Kartika yang jauh menarik perhatiannya. Tangan selembut sutra itu tampak sangat ringkih dan amat kurus. Krisna mesti menahan ngilu di dalam hati melihat keadaan istrinya. Bahkan, untuk itu dia sengaja menggeser tempat duduknya menjadi lebih dekat dengan Kartika dan menggenggam tangan istrinya dengan amat erat.


"Tika. Jangan bohong lagi. Tolong." 


Krisna mencoba tersenyum. Dia tidak sanggup lagi bersikap pura-pura tidak tahu. Pria kuat itu mengerjap beberapa kali sebelum membawa genggaman tangan mereka ke dekat bibirnya lalu mengecup punggung tangan istrinya berkali-kali.


"Aku ditelepon Dokter Farhan."


Air mata Krisna jatuh sebelum dia bicara, "Aku cemas banget. Aku nggak mau kehilangan kamu, Sayang." 


Kartika berusaha tersenyum. Dia tidak ingin menangis. Dia sudah berjanji kepada dirinya untuk tetap kuat dan meneruskan perjuangannya hingga titik penghabisan meski tahu, istri lain di belahan dunia mana saja bakal menghujat. 


Mereka tidak tahu seperti apa suaminya sementara Kartika amat paham sekali dan dia ingin memberikan satu yang terbaik buat suaminya sebelum napasnya benar-benar berhenti. 


Sebuah pesan WA masuk dan notifikasinya membuat perhatian Kartika teralihkan.  Dia menoleh ke arah ponsel dan meminta waktu kepada suaminya untuk membaca pesan tersebut.


Dari Gendhis.


Berdebar, Kartika mengusap layar dan berusaha tidak terlihat antusias. Dia belum tahu berita yang bakal dia dapat tapi Kartika percaya, Daisy bakal menurut jika Gendhis yang turun tangan. Sejak dulu, mereka bertiga punya hubungan amat unik. Kartika dan Daisy amat dekat, begitu juga Kartika dan Gendhis. Tetapi, Daisy dan Gendhis adalah duo yang tidak terpisahkan bila mereka sedang bersama. Namun, lucunya, jika mereka berkumpul bertiga, suasana yang terjadi malah sebuah kecanggungan yang aneh seolah ketiganya baru saling mengenal. Dia sendiri tidak mengerti kenapa bisa seperti itu.


"Gendhis bilang apa?" Krisna yang penasaran, mengusap air mata dengan punggung tangan kiri sementara tangan kanannya tetap menggenggam tangan Kartika. Sementara buku menu tadi tergeletak, terlupakan.


Wajah Kartika tampak tegang selama beberapa detik ketika membaca tulisan yang tertera di layar. 


Ngamuk. Malah ngajak Dhis berantem. Khas dia banget, Nenek Serigala.


Kartika meneguk air ludah. Jika Gendhis saja bisa gagal, dia harus bagaimana? 


"Sayang? Kenapa jadi pucat? Ada masalah apa? Biar Mas bantu."


Usapan lembut Krisna di bahu Kartika membuatnya menoleh dan dia kembali meneguk air ludah. 


Kalau begitu, si kambing harus bisa menerima kenyataan itu, pikir Kartika. Dia harus bicara kepada Krisna dan membuat suaminya menerima permintaannya.


Ralat.


Permintaan terakhir Kartika di hari jadi pernikahan mereka yang kelima yaitu menjadikan Daisy Djenar Kinasih istri kedua Krisna. 


Misi yang tidak mungkin, tetapi dia harus melakukannya. Kambing malang itu harus tetap selamat, suka atau tidak suka sekalipun Kartika bakal menerima konsekuensi kemarahan dari suaminya sendiri.


***

Bab
Sinopsis
1
Prolog
2
satu
3
dua
4
tiga
5
empat
6
lima
7
enam
8
tujuh
no_image no_image
9
delapan
no_image no_image
10
sepuluh
no_image no_image
11
sebelas
no_image
12
dua belas
no_image
13
tiga belas
no_image
14
empat belas
no_image
15
lima belas
no_image
16
enam belas
no_image
17
tujuh belas
no_image
18
delapan belas
no_image
19
Sembilan belas
no_image
20
dua puluh
no_image
21
dua puluh satu
no_image
22
dua puluh dua
no_image
23
dua puluh tiga
no_image
24
dua puluh empat
no_image
25
dua puluh lima
no_image
26
dua puluh enam
no_image
27
dua puluh tujuh
no_image
28
dua puluh delapan
no_image
29
dua puluh sembilan
no_image
30
tiga puluh
no_image
31
tiga puluh satu
no_image
32
tiga puluh dua
no_image
33
tiga puluh tiga
no_image
34
tiga puluh empat
no_image
35
tiga puluh lima
no_image
36
tiga puluh enam
no_image
37
tiga puluh tujuh
no_image
38
tiga puluh delapan
no_image
39
tiga puluh sembilan
no_image
40
empat puluh
no_image
41
empat puluh satu
no_image
42
empat puluh dua
no_image
43
empat puluh tiga
no_image
44
empat puluh empat
no_image
45
empat puluh lima
no_image
46
empat puluh enam
no_image
47
empat puluh tujuh
no_image
48
empat puluh delapan
no_image
49
empat puluh sembilan
no_image
50
lima puluh
no_image
51
lima puluh satu
no_image
52
lima puluh dua
no_image
53
lima puluh tiga
no_image
54
lima puluh empat
no_image
55
lima puluh lima
no_image
56
lima puluh enam
no_image
57
lima puluh tujuh
no_image
58
lima puluh delapan
no_image
59
lima puluh sembilan
no_image
60
enam puluh
no_image
61
enam puluh satu
no_image
62
enam puluh dua
no_image
63
enam puluh tiga
no_image
64
enam puluh empat
no_image
65
enam puluh lima
no_image
66
enam puluh enam
no_image
67
enam puluh tujuh
no_image
68
enam puluh delapan
no_image
69
enam puluh sembilan
no_image
70
tujuh puluh
no_image
71
Tujuh Puluh Satu
no_image
72
tujuh puluh dua
no_image
73
tujuh puluh tiga
no_image
74
tujuh puluh empat
no_image
75
tujuh puluh lima
no_image
76
tujuh puluh enam
no_image
77
tujuh puluh tujuh
no_image
78
tujuh puluh delapan
no_image
79
tujuh puluh sembilan
no_image
80
delapan puluh
no_image
81
delapan puluh satu
no_image
82
delapan puluh dua
no_image
83
delapan puluh tiga
no_image
84
delapan puluh empat
no_image
85
delapan puluh lima
no_image
86
delapan puluh enam
no_image
87
87 Madu in Training
no_image
88
delapan puluh delapan
no_image
89
extra 1 Madu in Trainin...
no_image
90
extra 2
no_image
91
extra part 3a
no_image
92
extra part 3b
no_image
93
Gendhis dan Syauqi 1
no_image
94
2 Gendhis dan Syauqi
no_image
95
epilog Daisy-Krisna
no_image