Bab 4
"Kamu yakin, ini permintaanmu?" 

Aku mengangguk pasti. Ia pasti tak menyangka dengan permintaanku. 

Beginilah isinya :

1. Mas Arifin harus berhenti tidur di kamar kerja, dan tidur dengan saya selama tiga bulan sebelum perceraian.
2. Perceraian akan terjadi setelah 3 bulan persyaratan ini.
3. Mas Arifin wajib menghabiskan weekendnya bersama keluarga.
4. Untuk setiap acara, saya wajib diajaknya 
5. Meminta nafkah sejumlah 10 juta perbulan setelah perceraian.
6. Menuruti semua keinginan saya. 

Setelah membaca isi surat itu, Mas Arifin tampak gundah. Aku yakin, bukan poin ke lima yang membuatnya keberatan. Tapi sisanya. Ia jadi tak punya waktu bersama Anita. 

"Tapi, Num, apakah ini tidak berlebihan? Aku lebih suka kamu meminta hartaku daripada ini," keluhnya. 

"Kenapa? Karena kamu jadi gak punya waktu bersama wanita itu?" tanyaku

Mas Arifin tampak diam sebentar, lalu mengambil pena yang aku selipkan diatasnya.

"Oke, aku setuju." 

Aku tersenyum kala melihatnya mulai menandatangani isi permintaan itu. 

---

Sore hari. 
Aku mengajak Umar jalan-jalan sore. Menggunakan kain jarik, aku membawanya ke taman yang ada di ujung perumahan. 

"Nah, Umar, kita main dulu sebentar ya, Nak." 

Umar tampak tersenyum. Aku tak mampu menghilangkan resah di dada. Bagaimanapun, Umar akan berpisah dengan Papanya. Aku tak tenang. Apalagi banyak korban broken home diluaran sana yang menjadikanku takut jika Umarpun akan begitu. 

"Eh, ada dedek Umar. Kak Tasya, sini, Nak! Ada adek Umar, nih!" seru Bu Tiqoh, tetanggaku. 

Tasya berlari menghampiri Umar. Umurnya baru tiga tahun. Sedangkan Bu Tiqoh sendiri adalah janda. Ia bercerai karena sang suami tak mampu berbuat adil antara dirinya dan sang mertua. 

"Mbak Tiqoh, saya mau nanya, boleh?" Izinku hati-hati. 

"Boleh, ada apa, Num?" 

"Kehidupan Mbak Tiqoh setelah bercerai bagaimana? Lebih bahagia atau malah seperti terbelenggu dalam satu ruang kosong?" tanyaku. 

Mbak Tiqoh terdiam, aku jadi merasa gak enak. Duh, kenapa juga sih nanya ke dia? 

"Maaf, Mbak, saya gak bermaksud. Jangan dijawab. Maaf banget, ya," ucapku sambil mengelus lengannya. 

"Nggak apa-apa kok, Num. Saya malah semakin bahagia setelah bercerai. Ayahnya Tasya gak bisa menghargaiku. Apa-apa Ibunya. Bukan aku menginginkannya terus bersamaku. Tapi, frekuensi dia tinggal denganku dan Ibu mertua sangat beda jauh. Dia tinggal dirumah Ibunya selama empat hari dalam seminggu. Sisanya denganku. Itu belum termasuk ketika ada panggilan dadakan. Tapi Alhamdulillah setelah berpisah, ternyata hidup saya tenang. Tidak seperti dulu yang selalunya dipenuhi rasa was-was." 

Aku memikirkan perkataan Mbak Tiqoh. Nasib kami hampir sama. Hanya saja, orang ketiga dalam rumah tanggaku adalah Anita, sedangkan Mak Tiqoh adalah sang mertua sendiri. 

"Sabar ya, Mbak, mungkin memang jodohnya pendek. Insya Allah, suatu saat nanti Mbak dapatkan jodoh yang terbaik. Yang penting ikhlas menjalani semuanya. Demi Tasya," ucapku sambil menjawil pipi gembil Tasya. Dia sangat lucu, juga cerewet. Namun hal itu yang membuat Umar suka dengannya. 

"Makasih, Num. Saya malah jadi curhat nih, hehe." 

Aku tersenyum sambil membatin, 'Aku yang lebih terima kasih, Mbak.'


Komentar

Login untuk melihat komentar!