Mabuk Asmara
" Jika hati seseorang bersih, maka ia akan mudah menerima kebaikan dan mencintai amal shalih "
( Abuya Al-Habib Abdullah Baharun )
Bagaimana ini?? Aku mondar mandir tidak jelas. Tiba-tiba Mas Ahmad mengagetkanku dengan tepukan kecil di bahu, aku menoleh lalu dia menarik lenganku untuk menemui para tamu keluarga di ruang tengah.
"Dari tadi ditungguin sama mertuamu, malah bengong aja." gerutu Mas Ahmad dengan nada yang dibuat-buat seperti tengah memarahiku. "Ayo Dek, cepet ke sana. Itu Hafidz kasian loh sudah nungguin." serunya lagi.
Dengan mengucap basmalah terlebih dahulu, akhirnya aku tekadkan kaki ini berjalan mengikuti Mas Ahmad menuju ruang tengah. Tapi ketika sampai di sana yang terlihat hanya Bude Zakiyah yang sedang menerima Video Call dari suamiku. Ehm... bener kan dia suamiku?
"Lha, ini istrimu sudah datang Fidz." ucap Bude sambil mengarahkan gawai miliknya ke arahku yang tengah berdiri di sampingnya.
Aku terlonjak kaget, di sana terlihat Kak Hafidz tengah tersenyum. Maniis sekali.
Aku gak kuaat...
Meleleh hatikuu...
Telapak tanganku sudah terasa dingin, ditambah Bude menyuruhku memegang ponsel miliknya. Kemudian beliau pamit pergi meninggalkan aku berdua dengan Kak Hafidz. Ya, walaupun cuma lewat video call tapi Aku benar-benar malu. Catat ya.. MALU!
Ponsel yang kupegang ini tidak benar-benar kuarahkan ke arahku. "Assalamu'alaikum." ucapnya diseberang sana. Mendadak membuat hatiku berdesir mendengar suara manisnya.
"Gak jawab salam dosa loh, Dek." ucapnya lagi karena aku tak kunjung menjawab salamnya.
Aku terkesiap mendengar teguran Kak Hafidz.
"Wa'.. wa'alaikumsalam Kak ." jawabku kikuk. sambil mengarahkan ponsel ke sembarang arah.
"Lihat Kakak 'Azifah." ucapnya lagi dengan suara seraknya. Sontak langsung kuarahkan kamera ponsel kearahku.
"Nah, kalau gini kan enak. Masak dari tadi cuma dikasih lihat punggung sofa." aku menahan tawa mendengar Kak Hafidz menggerutu.
"Hehe... maaf Kak." jawabku pelan seraya menyengir malu. Sumpah demi apapun, ini pertama kali kami saling bertatap muka.
"Kakak lagi ngapain?" pertanyaan konyol. Jelas-jelas sedang video call denganku, masih ditanya. Sebenarnya yang keluar dari mulutku ini hanya untuk menutupi rasa canggungku saja.
"Lagi video call sama istri, tapi istrinya malu-malu." Kak Hafidz menatapku lekat.
Blush.. wajahku pasti sudah merah mendengar ucapannya barusan.
Kak Hafidz benar-benar membuatku salah tingkah.
"Bunganya, sudah diterima belum?"
"Sudah, terimakasih ya Kak." ucapku setulus mungkin.
"Iya sama-sama." jawabnya disertai tersenyum simpul.
Hening.. Diantara kami tak ada yang membuka suara, saling diam menyelami isi hati masing-masing. Hingga suara ledekan dari Mas Ahmad mengalihkan tatapan dalam kami.
"Waduh, kasian amat ini pengantin baru cuma tatap-tatapan aja." ledeknya seraya terkekeh.
"Apa sih Mas." ketusku melihat Mas Ahmad main duduk saja disampingku, ikut berbicara dengan Kak Hafidz.
Mas Ahmad tertawa tidak jelas. "Pinjem ponselnya bentar Dek, aku mau bicara sama Hafidz." aku mendelikkan mata sebal seraya menyodorkan ponsel ditanganku padanya. "Yaelaah... bentaran doang, gak akan aku ambil suamimu ini." serunya lagi.
Kutinggalkan Mas Ahmad yang tengah berbicara dengan suamiku untuk mengambil air di dapur. Suasana sudah terasa sepi, sepertinya semua keluarga sudah kembali beristirahat, jelas saja ini sudah larut malam.
kulihat keduanya tengah tertawa. Sampai membuat bahu Mas Ahmad terguncang. Entah apa yang mereka bicarakan, lalu terdengar suara Kak Hafidz yang menanyakan keberadaanku, disusul kemudian Mas Ahmad bangkit dari duduknya lalu berjalan kearahku sembari menyodorkan ponsel yang masih tersambung video call dengan Kak Hafidz.
"Nih ponselnya, tak tinggal ke atas dulu ya. Selamat menikmati malam pertama kalian. Wkwk." ujar Mas Ahmad dan sukses membuat suamiku tertawa di seberang sana. Aku mengelak menahan malu karena wajahku pasti sudah seperti tomat.
"Ehm.. Dek, ini sudah malam. Tidur gih." ucap Kak Hafidz.
Yah... kok disuruh tidur sih?
"Eh... Iya, Kakak juga mau tidur?" tanyaku pelan. Sebenarnya sih alasanku saja untuk mengulur waktu, karena ingin berbicara dengannya lebih lama. Hehehe.
Kak Hafidz menggeleng "Nggak, Kakak masih ada urusan habis ini."
Aku hanya ber-oh ria, kemudian berpamitan untuk mengakhiri panggilan. " Yaudah, aku tutup telponnya ya Kak."
"Tunggu sebentar Dek, Kakak bacain doa dulu ya, Anggap saja Kakak ada dihadapanmu sekarang." cegahnya seraya terkekeh.
Aku tersenyum haru saat melihat tangan Kak Hafidz mengawang di atas seakan-akan ia tengah memegang kepalaku " Allahumma inni as-aluka min khairiha wa khairi maa jabaltaha 'alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri maa jabaltaha' alaih."
Kuamini dalam hati doa yang dibacakan olehnya, jujur saja saat ini aku sangat gugup.
"Sudah ya, Kakak tutup dulu telponnya." aku mengangguk mengiyakan, padahal nyatanya aku tidak rela.
Apa memang begini efek pengantin baru? Suka bikin kepala dan hati nggak sinkron!
"Assalamu'alaikum." pamit Kak Hafidz lalu mengakhiri panggilan. Belum kujawab salamnya tapi sudah diputus begitu saja. Huuff... gerutuku sebal.
Kemudian kulangkahkan kaki dengan lesu menuju pintu penghubung antara rumah Abah dengan ndalem sepuh peninggalan Mbah Kakung.
Karena Bude dan Pakde setiap berkunjung kemari selalu menempati ndalem sepuh, niatnya aku ingin mengembalikan ponsel milik Bude, tapi sepertinya beliau sudah masuk kamar. Jadi kuputuskan untuk mengembalikannya besok saja.
Setiba dikamar, langsung kubersihkan wajahku menggunakan toner. Kemudian mengganti abayah dengan dress panjang berbahan rayon kesukaanku, lalu segera kurebahkan tubuh yang terasa lelah di atas pembaringan. Berkali-kali kucoba memejamkan mata namun bayangan Kak Hafidz tengah tersenyum kembali hadir.
Satu menit, dua menit, tiga menit sampai sepertiga malam pun mata ini enggan untuk terpejam. Aku bergerak gelisah di atas kasur, kenapa senyum manis Kak Hafdz tidak mau pergi. Menyelinap dikepala kemudian meledak.
Karena tak kunjung memejamkan mata, akhirnya kuputuskan untuk mengerjakan shalat sunnah qiyamul lail.
"Aku kan sudah bersuami sekarang, jadi kewajibanku juga bertambah. Yaitu mendoakan suamiku. Iya kan?" gumamku seraya terkekeh malu, menyadari diriku yang tak henti-hentinya memikirkan dia.
Di sepertiga malam terakhir merupakan waktu yang paling mustajab untuk berdoa.
Dan Rasulullah pun pernah mensabdakan terkabulnya doa di waktu itu.
"Rabb kita Tabaaraka wa Ta'ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir di setiap malamnya. Kemudian berfirman: "Siapa saja yang berdoa kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa saja yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberi, siapa saja yang memohon ampunan dari-Ku akan Kuampuni." ( HR.Bukhari dan Muslim)
♡♡♡♡♡
Selepas shalat, langsung kubuka ponsel yang sejak tadi kuanggurkan, mengecek pesan masuk di grup reseller Olshop kecil-kecilan yang kutekuni. Sebenarnya selain karena hobby, aku menekuni olshop ini karena ingin meneladani sunnah Rasul. Bukannya dulu Rasulullah juga pernah berdagang?
Bahkan Rosul menganjurkan ummatnya untuk berdagang." Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki." ( HR. Imam Ahmad)
Ting!
Mataku mengerjap girang, ternyata pesan masuk dari Kak Hafidz.
" تصبحين على خير حببتي "
Pesan yang dikirim Kak Hafidz sukses membuat tubuhku berguling tidak jelas di atas kasur, rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Sejak kapan dia bisa bersikap manis, yang kutahu selama ini dia selalu cuek dan tak banyak bicara. Apa sebenarnya Kak Hafidz memang memiliki pribadi yang hangat? Kenapa ucapannya selalu memabukkan.
Kalau begini terus aku yakin lama-lama wujudku bisa berubah menjadi brownies lumer. Hahaha...
Segera kuketik balasan untuknya "Selamat malam juga untuk Kakak." tak lupa kusematkan emoji berbentuk hati.
Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Aku menganga kaget, Kak Hafidz menelponku, duh gimana. Angkat nggak ya? Sambil mengatur napas, kugeser gambar telpon berwarna hijau ke kanan.
"Kok belum tidur?" tanya Kak Hafidz.
Gimana bisa tidur sih Kak, kalau bayangan Kakak selalu gentayangan di kepalaku. Tentu saja, kukatakan dalam hati.
Aku berdehem untuk mengurai kegugupan. "Ehm.. aku gak bisa tidur Kak." lirihku, lalu terdengar suara tawa yang renyah di seberang sana.
"Kenapa? Kangen ya?" tanyanya. Membuat detak jantungku berdentum keras.
"Apaan sih Kak." akhirnya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku.
Dia tertawa lagi, mengetahui aku sedang menutupi rasa maluku. "Kakak temenin ya, mau denger cerita tentang Tarim nggak?" tawarnya dan langsung kuangguki. Padahal sudah jelas Kak Hafidz tidak bisa melihat anggukanku, lalu tak lama Kak Hafidz memulai ceritanya.
"Pernah denger cerita kebiasaan masyarakat Tarim Dek?" tanyanya.
"Pernah sih, tapi nggak banyak Kak." ujarku.
"Oke... Kakak ceritain ya. Kebiasaan masyarakat di Tarim itu saat mendengar Adzan berkumandang, mereka akan meninggalkan semua kegiatannya. Di pasar pun orang-orang berhenti berdagang, lalu lintas kota juga mendadak sepi. Mereka berbondong-bondong meramaikan masjid."
Kak Hafidz menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya.
"Meskipun cuma Kota Kecil, tapi di sini banyak sekali masjidnya Dek, dan setiap masjid satu ke masjid lainnya itu cuma terpaut beberapa langkah saja. Di satu sisi Kota Tarim itu terlindungi bukit-bukit batu terjal, di sisi lain dikelilingi perkebunan kurma." aku manggut-manggut mendengar cerita Kak Hafidz. Membayangkan betapa Indahnya Kota yang dijuluki Kota Seribu Wali itu, dikelilingi bukit-bukit batu terjal namun juga rindang dengan perkebunan kurmanya.
"Kalau ke Seiwun, jauh nggak Kak? tanyaku.
"Lumayan sih, mungkin jaraknya sekitar 35 km. Dulu sebelum di pindah ke Tarim, Kakak pernah di Mukalla juga."
"Oh ya, berapa tahun Kakak di Mukalla?" tanyaku antusias.
"Di Mukalla satu tahun, setelah itu di pindah ke Sheher dua tahun. Baru tiga tahun terakhir ini Kakak di Tarim." jawabnya membuatku iri. Seandainya saja aku juga bisa menimba ilmu ke sana.
"Kakak sering ke Seiwun nggak?"
"Kalau sering sih nggak Dek. Kakak di sini kan belajar, gak bisa keluar asrama seenaknya. Tapi Kakak dan pelajar yang lain, tiap tahun pasti rombongan ke Seiwun. Mengikuti rangkaian Haul Akbar Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi. Haul beliau di Seiwun juga gak kalah rame, hampir sama seperti Haul beliau di Solo, Dek."
Aku berdecak kagum mendengar cerita Kak Hafidz, pasalnya siapa yang tidak tahu keramaian haul Solo. Hadirinnya bisa sampai ratusan ribu orang, dan yang hadir pun bukan hanya jemaah dalam negeri saja. Tapi dari luar negeri juga. Masya Allah... Begitu banyak yang mengidolakan dan ingin ngalap berkahnya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Shahibul Maulid Simtud Duror.
"Ohya, Kakak punya temen asli orang Tarim. Dia pernah cerita sama Kakak, tentang rumah tangganya. Istrinya itu selalu merasa takut menyusahkan suaminya, dan sebaliknya suaminya juga begitu. Nah, kata temen Kakak ini, kalau beras atau susu anaknya habis atau apapun itu, istrinya gak pernah berani minta sama suaminya, Saking takutnya menyusahkan suami, takut suaminya lagi gak ada uang atau suaminya sedang sibuk. Jadi istrinya itu meletakkan bungkus-bungkus kosong itu di tempat yang menonjol, yang sekiranya dilihat sama suaminya. Dan temen Kakak ini juga luar biasa sekali, Dek. Semua keperluan belanja ke pasar itu tugas dia, pokoknya istrinya itu hanya diam di rumah menunggu suami pulang, dan pada saat pulang, rumah selalu dalam keadaan bersih dan wangi." mendengar cerita Kak Hafidz tentang temannya ini benar-benar membuatku iri dan kagum dengan Akhlaq keduanya.
"Luar biasanya lagi, temen Kakak ini gak pernah marah apalagi mencaci istrinya. Kalau dia lagi kesel sama istrinya, dia lebih memilih nulis surat terus pergi tidur. Begitupun sebaliknya, kalau istrinya yang kesel dia hanya akan menangis dan mengadu dengan suara lirih."
"Keren kan Dek? Kakak selalu bermimpi bisa meneladani rumah tangga yang seperti itu. Doain Kakak ya, bisa jadi imam yang baik dan melindungi Adek." ucapnya membuatku sangat terharu.
"Kita saling mendoakan ya Kak, aku juga pengin jadi istri yang selalu membahagiakan suami." lirihku pelan, aku merasa malu mengatakannya.
"Amiin... amiin." Kak Hafidz mengamini doa kami.
"Terus Kak?"
"Ya sudah Dek, terus terus aja dari tadi." aku tertawa mendengar Kak Hafidz menggerutu.
"Adek belum ngantuk juga?" tanyanya.
Bukannya menjawab aku justru bertanya balik.
"Kenapa, Kakak sudah ngantuk ya?"
"He'em, Kakak capek banget hari ini. Tadi sebelum Akad banyak yang harus diurus."
Aku jadi tidak enak mendengar Kak Hafidz mengeluh. Dia pasti lelah sekali.
"Kakak istirahat saja, aku juga sudah ngantuk kok." jawabku berbohong. Maaf Ya Allah.
"Bener sudah ngantuk?" sepertinya dia tau kalau aku berbohong.
"Iya, beneran Kakak." ujarku meyakinkannya.
"Oke, Kakak tidur dulu ya. Besok kalau ada waktu senggang, Kakak telpon lagi Insya Allah."
"Assalamu'alaikum Habibty."
Aku terkesiap mendengar ucapan Kak Hafidz.
Debaran di jantungku kembali berdentum lebih keras.
"Tuh kan, kebiasaan gak jawab salam." ujarnya lagi, mengingatkan aku yang masih menyelami ucapannya.
"Eh... Iya, Wa'alaikumsalam Kakak."
Mendengar suaramu selalu membuatku tersenyum. Terimakasih untuk malam yang indah ini Kak.
****
تصبحين على خير / Tusbihiina 'Ala Khair : Biasa diucapkan oleh orang-orang Arab untuk mengucapkan Selamat Malam.
Login untuk melihat komentar!