Pertemuan Pertama
                  Jangan lupa di vote yah 

     Selamat membaca semoga bermanfaat ;)


Tadi pagi aku mendapat telpon dari Ummi Zakiyah, beliau menyuruhku untuk bersiap-siap karena akan menjemputku di pesantren. Kira-kira ada apa ya? Aku hanya mengiyakan saja tanpa bertanya selebihnya.


Ohya, aku belum bilang kalau sudah tiga minggu ini aku sedang berkhidmah di ndalem Bu Nyai sepuh. Di pesantren tempatku menimba ilmu dulu.
 

Sambil menunggu jemputan datang lebih baik aku menyelesaikan dulu pekerjaanku membantu Mbak Ningsih memasak di dapur ndalem. Hitung-hitung sambil belajar memasak, karena aku nggak mau saat nanti pertama kali Kak Hafidz memintaku untuk memasak hanya mie instan yang bisa aku sajikan.


"Mbak Ning, Bu Nyai enten boten geh?" 


"Kadose enten, kok Ning. Wau niku Bu Nyai nyuwun dimasak'aken sayur asem. Enten nopo Ning?" ujar Mbak Ningsih sambil mengupas timun yang akan dimasak sayur asem permintaan Bu Nyai. 


"Berati Bu Nyai boten tindak geh. Niku, kulo bade nyuwun izin wangsul sak dinten." sahutku sembari membasuh sayuran yang sudah di potong-potong.


"Lha niki dinten senin kan? Bu Nyai tasek mulang teng Musholla biasane." Oh.. Iya aku lupa kalau sekarang hari senin. Setiap hari senin Bu Nyai mulang kitab untuk Mbak-mbak tingkat 'aliyah.


"Menawi Bu Nyai sekedap maleh sampun rampung mulange, Ning. Sampean tunggu saja di sini." sahutnya lagi.


Aku yang sudah selesai membasuh sayuran sedikit memiringkan tubuhku menoleh ke Mbak Ningsih lantas mengangguk-anggukkan kepala. "Nggeh, Mbak." 


Aku jadi teringat dawuh Bu Nyai kepadaku tadi malam, beliau menghampiriku saat tengah membersihkan dapur ndalem. 


"Wong wedok iku senajan wes suwe sing rabi tetep kudu duwe roso isin mareng bojone. Isin nek badane mambu, isin nek penampilane umbrus. Kudu isin nek prilakune buruk. Ojok mung pas manten anyar tok sing kemayu nang ngarepe bojo."


"Perempuan itu meskipun sudah lama yang menikah tapi tetap harus mempunyai rasa malu kepada suaminya. Malu kalau badannya bau, malu kalau penampilannya berantakan. Dan harus malu kalau berprilaku buruk. Jangan ketika pengantin baru saja yang kemayu di depan suami."


Betul sekali yang dikatakan Bu Nyai, karena tak jarang kita temui istri yang beralasan terlalu capek mengurus anak dan rumah sampai melupakan hak suami yang harus dipenuhi istri. Bahkan, kadang karena merasa sudah laku dan akhirnya penampilannya nggak dihiraukan lagi.


Istri harus berhias dan mempercantik diri untuk suami, selalu tersenyum dan tidak bermuka masam di depan suami. Seorang istri tidak boleh meremehkan kebersihan dirinya, sebab kebersihan sebagian dari iman.


Berhias untuk suami dianjurkan selagi dalam batas-batas yang tidak dilarang oleh syari'at, seperti mencukur alis, menyambung rambut dan mentato tubuh.


Seorang istri sholehah selalu menampakkan keceriaan, lemah lembut dan menyenangkan di depan suami. Tatkala suami pulang ke rumah setelah seharian bekerja, lalu ia menemukan istrinya sudah bersolek dan tersenyum, maka sungguh ia sudah mendapatkan sesuatu yang bisa menghibur hatinya dan mendapatkan ketenangan.


Allah Ta'ala berfirman : 

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

"Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (Q.S Arrum : 21)


Rasulullah Saw bersabda :   

 ،خَيْرُ النِّسَاء مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، 
وَتَخْفَظُ غَيْبَتَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ 


"Sebaik-baik wanita (istri) adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, Taat jika engkau menyuruhnya, Serta yang menjaga diri dan hartamu di saat engkau pergi. (H.R Ath-Thabrani) 


Selang beberapa menit kemudian, akhirnya Bu Nyai selesai mulang. Lantas aku begegas menghadap kepada beliau di depan ndalem untuk meminta izin pulang. 


Setelah mendapatkan izin dari Bu Nyai, aku lekas menuju kamarku untuk mengganti pakaian dengan gamis polos berwarna coklat susu bertabur swarovski di pergelangan tangannya yang kupadukan dengan pashmina berwarna sweetmocca yang dibelikan Ummi sebelum aku berangkat ke pesantren.


Ummi Zakiyah kok lama sekali ya. Sudah hampir satu jam aku menunggu, tadi beliau mengatakan akan menjemputku pukul sembilan siang dan sekarang sudah pukul setengah sebelas siang. Padahal, dari Mojo ke Pare hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan.


"NING  ZIFAAA."


Astaghfirullaah..


Aku tersentak kaget mendengar seseorang meneriaki namaku dari depan pintu. "Ada apa mbak? Gak usah teriak gitu iih.. aku masih bisa dengar kok." protesku karena masih shok dengan teriakannya. 


"Hehe, maaf maaf ning, sampean ditunggu keluarganya di kantor pengirim." sahutnya cepat. Aku segera mengambil tas kecil yang akan kubawa, nggak lupa mengucapkan terimakasih kepada Mbak tersebut lalu berjalan menuruni tangga menuju kantor pengirim. Kamarku ini ada dilantai tiga jadi pantas saja kalau Mbak tadi sampai ngos-ngosan saat memanggilku. 


Saat melewati mushola, aku nggak sengaja berpapasan dengan Ning Salma, sejenak kedua manik mata kami saling bertemu. Aku pun melemparkan senyum kecil, namun dengan gerakan cepat dia menoleh ke arah samping memutus tatapan kami.


Ngomong-ngomong, soal Ning Salma, sore itu kami berbicara empat mata. Dengan ribuan kali pertimbangan aku memberikan selembar undangan pernikahanku kepada Ning Salma, awalnya dia bersorak bahagia saat menerima undangan dariku. Tapi seketika raut wajahnya berubah masam tatkala dia mulai membuka selembar undangan yang kuberikan.


Wajar sekali kalau dia tesentak kaget setelah melihat namaku dan Kak Hafidz tertera dengan jelas di kertas akasia berwarna putih dengan motif dedaunan berwarna hijau muda di bagian atas.


Aku ingin sekali menjelaskan kalau kami itu dijodohkan, tapi Ning Salma nggak pernah memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Setiap kali kami nggak sengaja bertemu atau aku yang sengaja mencari dia ke kamarnya, dia selalu saja menghindar dariku seolah nggak mau mengenaliku lagi.


Ya, aku mengerti, ini semua nggak mudah untuk Ning Salma. Maka dari itu aku memilih diam, walaupun sebenarnya semua ini juga nggak mudah untukku. Mungkin dia masih butuh waktu untuk menerima semuanya. 


Aku mengenal betul bagaimana sifatnya, jadi aku yakin suatu saat nanti kami bisa bersahabat seperti dulu lagi. 


Saling menggenggam, Saling membersamai.


"Maafin kulo, Ning, sudah merusak persahabatan kita." ucapku dalam hati. 


Rasanya kok sakit sekali ya diacuhkan sama sahabat sendiri. Padahal, dulu aku dan Ning Salma selalu berangan-angan seandainya salah satu dari kita akan menikah, kita akan mencari perias sama-sama, akan memilih gaun sama-sama. Tapi semua hanya masa lalu, karena kenyataannya yang terjadi saat ini berbeda dengan angan-angan kami dulu.


Semenjak aku dan Ning Salma jarang terlihat bersama, banyak teman kami yang bertanya-tanya. Aku hanya menjawab kalau nggak ada apa-apa, hanya saja Ning Salma tengah sibuk menyusun skripsinya dan aku sibuk khidmah di ndalem.


Kalau mereka tahu yang sebenarnya, bukan nggak mungkin lagi mereka akan mengatai aku sebagai PEGETE alias perebut gebetan teman. 

Aduuh mikir apa sih! 


Sampai di kantor pengirim, aku sudah melihat Ummi Zakiyah menungguku bersama Mbak Lubna dan Dek Fatimah. Kedua adik iparku itu melambai-lambaikan tangannya saat melihatku, lantas menggiringku untuk menyalami Ummi.


"Ngapunten, sudah membuat Ummi lama menunggu." ujarku nggak enak.


"Ah.. ndak kok, Ummi belum lama datang. Sepurane yo nak, tekone terlambat. Tadi masih nunggu Abi selesai walimah di kampung sebelah." jelas Ummi, mungkin beliau merasa kalau aku sudah menunggu lama, Hihihi.. 


"Nggeh, boten nopo-nopo Mi." 


Ternyata di dalam mobil juga ada Abi. Bergegas aku menyalami beliau sebelum membuka pintu mobil bagian tengah.


Roda mobil mulai berputar, meninggalkan kawasan pesantren.


Walaupun aku belum tahu acara apa yang akan kami hadiri, tapi aku menikmati perjalanan ini. Sudah lama aku nggak pergi keluar, hitung-hitung liburan dan menghirup udara segar. 


Sesekali Abi atau Ummi bertanya hal-hal kecil kepadaku, seperti bagaimana keadaanku di pesantren. Kapan aku pulang ke rumah karena acara resepsi yang sudah semakin dekat. Sepuluh hari lagi dari sekarang.


Setelah satu jam empat puluh menit kami menempuh perjalanan dari pare melewati Jl. Tol Mojokerto - Kertosono - Jl. Tol Surabaya.


Tunggu.. Tunggu, sebenarnya ini kita mau kemana sih? Kok masuk bandara juanda?


Perasaanku mulai diliputi rasa cemas dan gugup, aku menduga-duga sendiri tujuan kami ke bandara untuk apa? Jangan-jangan.. 


Pikiranku yang melanglang buana pun kembali saat mendengar suara Abi menyuruh kami untuk menunaikan sholat dzuhur terlebih dahulu. Kami berjalan mengekori beliau dari belakang mencari mushola di bandara ini. 


Setelah mengambil wudhu, lantas kami memasuki mushola khusus perempuan, Ummi Zakiyah memimpin sholat. usai salam dan mengamini doa yang dilantunkan Ummi, kami pun keluar bersama menuju terminal 2 kedatangan. 


Aku menatap penuh curiga ke arah Mbak Lubna serta Dek Fatimah bergantian, meminta penjelasan dari mereka karena sampai saat ini masih belum ada yang memberi tahuku maksud dari tujuan kami datang ke sini. 


Seolah mengerti dengan tatapan penuh curiga dariku, Dek Fatimah menyengir lebar serta Mbak Lubna yang mati-matian menahan tawanya.


"Iya iyaaaaa maaf mbaak, dugaan Mbak bener kok." jelas Dek Fatimah. Sontak saja aku melototkan mataku nggak percaya dengan pengakuan Dek Fatimah yang baru kudengar.


"Kalian jahat banget yaaa.. Kenapa nggak bilang dari tadi?" rengekku seperti anak kecil yang kehilangan mainannya kontan dibalas ledakan tawa oleh mereka. 


Karena semakin kesal ditertawakan begitu, entah kenapa tiba-tiba aku meneteskan air mata.


"Ya ampun, mbak, jangan nangis dong! Nanti dikiranya diapa-apain sama kita." sahut Mbak Lubna yang belum mengerti juga kenapa aku menangis. Ya kan, memang betul mereka yang membuatku menangis begini.


"Maafin kita ya, Mbak?" ujar mereka berdua memelas. "Kan biar jadi kejutan, tapi sudah ketahuan deh." Iya kalian berhasil membuatku terkejut hebat. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.


Tanpa terasa kami sudah sampai di terminal 2, dan sepertinya hari ini adalah hari penuh kejutan untukku ya? 


Dari kejauhan aku melihat ada dua orang paruh baya tengah tersenyum ke arahku, aku menyipitkan mata khawatir salah melihat. Tapi semakin dekat senyum itu nampak semakin jelas. Benar, mereka Abah, Ummi beserta Mas Ahmad dan istrinya.  Aku segera menghampiri mereka, memeluk Ummi dan Abah bergantian.


"Waras, nduk?" tanya Abah seraya mengelus kepalaku.


"Nggeh, Abah kaleh Ummi sae?" 


"Alhamdulillah, duduk sini." Abah menepuk-nepuk kursi kosong di samping beliau, aku pun lekas mendudukinya. Kusenderkan kepala di bahu Abah, sebelum Mas Ahmad tiba-tiba membuka suaranya.

"Dih,  gak malu ya sudah punya suami masih manja sama Abah." ledeknya nggak kuhiraukan.


"Biarin kenapa, week." aku menjulurkan lidah ke arah Mas Ahmad yang membalasku dengan melototkan matanya lantas Abah meminta kami untuk menunda peperangan sampai tiba di rumah nanti.


Hahaha! 


Menjelang sore suasana di bandara juanda sangat ramai. Iyalah Zifaaa... memangnya kapan bandara pernah sepi! 


Abi, Ummi Zakiyah dan yang lainnya nggak henti-hentinya mengucap syukur dan berseru senang saat melihat jadwal kedatangan pesawat yang di tumpangi Kak Hafidz di layar monitor sudah berstatus landed


Setelah menunggu kurang lebih setengah jam akhirnya pandangan kami semua teralihkan dengan seorang lelaki bertubuh tinggi yang terlihat lebih berisi dari 6 tahun yang lalu saat terakhir kali kami bertemu. Dia berpakaian koko berwarna putih dengan sarung coklat kotak-kotak dan kopyah putih yang membuatnya terlihat sangat berwibawa.


Di sana, 5 meter dari tempatku berdiri. Lelaki dengan sedikit jambang tipis di wajahnya itu berjalan pelan menyeret dua koper berukuran besar dan sedang. Senyumnya terus merekah dari sudut bibirnya. 


Napasku sudah nggak beraturan, aku meremas-remas tanganku. Semakin dekat rasanya semakin gugup saja. 


Kak Hafidz langsung menyalami kedua orang tuanya lantas memeluk mereka bergantian, Ummi Zakiyah mencium kening Kak Hafidz lama, beliau menyeka air mata bahagia yang terus mengalir karena akhirnya bertemu kembali dengan putra sulung kebanggaannya.


Kini, Kak Hafidz beralih menyalami Abah dan Ummi,  Abah memeluknya erat. Menantu lelaki satu-satunya telah datang. Lelaki yang dipercayainya untuk menggantikan beliau memegang tanggung jawab atas putrinya ini. Lelaki yang akan menolong putrinya saat ia terjatuh. Lelaki yang akan menemani sepanjang perjalanan hidup putrinya. 


Lalu, dia berjalan ke arahku yang masih mematung di samping Ummi, Kak Hafidz tersenyum tipis saat pandangan kami bertemu. 


Bumi seolah berputar mengitari pertemuan pertama kami setelah terikatnya simpul halal.


Deg.. Deg.. Deg.. 

Jantungku berdebar hebat seperti ditabuhnya genderang perang.
Dia mulai mendekat dan semakin dekat.


"Assalamu'alaikum." ujar Kak Hafidz pelan, seraya menjulurkan tangannya yang nggak kunjung mendapat sambutan dariku karena aku yang masih terbengong dengan perasaan campur aduk. Aku baru tersadar sesaat kemudian ada seseorang menoel-noel lenganku dari belakang.


"Wa'alaikumsalam." sahutku nggak kalah pelan, lantas mengambil tangan Kak Hafidz yang sejak tadi terjulur. Aku mengambil tangan kanan dan tangan kiri Kak Hafidz lantas menciumnya bergantian membolak baliknya penuh takdzim. Dan...  Dia mengecup keningku singkat!


Deg... Yang barusan itu apa?! wajahku sudah memanas menahan malu setengah mati.


Tiba-tiba Kak Hafidz menautkan jemari tangan kami erat seolah takut aku akan terlepas darinya. Tubuhku meremang seketika, seperti ada aliran listrik ribuan volt yang mengalir saat tangan kami saling bersentuhan. Dia membawaku berjalan menemui adik-adiknya dan Mas Ahmad yang berada nggak jauh di depan kami. 


Sorak sorai menggoda pun tak terelakan lagi dari mereka.


"Suiit... suiitt, ciyeeee... ciyeeee." 


"Uhug... uhug." 

Aku tesenyum malu menutupi wajahku dibelakang punggung lebar Kak Hafidz. 


Apa mereka nggak bisa berhenti dulu menggodaku, nggak tahu apa? Kalau jantungku ini rasanya seperti mau copot karena perlakuan manis Kak Hafidz serta godaan dari mereka yang membuatku semakin nggak karuan rasanya.


Ada perasaan nggak rela saat Kak Hafidz melepaskan tautan jemari kami untuk menyalami Mas Ahmad kemudian berlalu ke arah adik-adiknya yang sejak tadi menunggu giliran disapa sang Kakak. 


Kak Hafidz beralih lagi menatap manik mataku dalam saat tatapan kami bertemu, lantas dia kembali meraih tanganku untuk digenggamnya lagi lebih erat, dia mengulum senyum geli saat melihat wajahku yang tersipu malu. 


Aku mengutuk diriku sendiri yang nggak bisa menutupi perasaan luar biasa senang saat Kak Hafidz kembali menyatukan tautan jemari kami.


Ya Allah ...


Perasaan apa sih ini? aku belum pernah merasakan perasaan seindah ini. 
































Komentar

Login untuk melihat komentar!