Kepergian Ibu
Rumah dalam keadaan mencekam. Ibu Embun kembali mendapat perlakuan kasar dari Ayah tirinya. Lelaki itu, yang menyimpan sakit hati karena dipenjarakan melampiaskan kemarahannya.

“Beraninya Kau melaporkanku!” tonjokan menghampiri wajah Ibu Embun untuk kesekian kalinya.

“Ampun Mas." Ibu Embun bersimpuh dilantai meja dapur.

“Ampun? Bisa-bisanya Kau minta ampun setelah membiarkanku membusuk dipenjara!" Ayah tiri Embun mengambil pisau dapur dan menempelkan di wajah Ibu Embun.

“Kau tahu? Aku harus membayar mahal pada polisi agar bisa keluar. Untuk itu Aku meminjam uang dari temanku. Aku yakin Kau tak punya uang untuk menggantinya!” 

Ibu Embun begidik melihat sorot mata ganjil suaminya.

  “Tapi sepeninggalmu, Aku yakin anakmu akan mewarisi harta milikmu yang bisa Kujual.“ seutas senyum tersungging di bibir pria tua itu.

“Bersiaplah, Aku akan menamatkan riwayatmu!“ pisau yang di genggam Ayah tiri Embun sudah siap dihunuskan ketika pintu depan terdengar dibuka. 

“Bu, Embun pulang.“ Embun berteriak dari ruang tamu.

Ayah tiri Embun mengurungkan niatnya dan mendengus kesal. Ia menyimpan pisau di balik bajunya.

“Kalau Kau berani cerita, anakmu juga akan Kuhabisi! Arman mengancam Ibu Embun sebelum berlalu dari hadapannya.
Embun muncul dan melihat kondisi Ibunya yang mengenaskan.

“IBU …” Embun menjerit tertahan melihat kondisi Ibunya yang babak belur, Ia mendekap Ibunya erat dan menitikkan air mata.

“Maafkan Ibu nak, Ibu mungkin tak akan bisa menemanimu lagi." deras air mata juga tak terbendung dari pelupuk mata Ibunya. Ibu Embun sepertinya tahu ini saat terakhir bersama Embun sebelum pria itu menghabisi nyawanya.


Tekad Embun sudah bulat, malam ini juga Ia harus menemui Arbi dan mengatakan perasaanya. Esok Ia sudah tak ingin keluar rumah, Ia ingin bersama Ibunya. Embun yakin Ibunya lebih membutuhkan dirinya daripada Arbi.

Embun ingin melindungi Ibunya dari Ayah tirinya, Ia yakin Ayahnya pulang ke rumah untuk membalas dendam pada mereka karena telah menjebloskan ke penjara.



“Maaf, Aku datang malam-malam.“ Embun berdiri di depan pintu kost Arbi.

“Tidak pa-pa Blue. Ada apa?”

Sesaat Embun tak kuasa mengatakan, perasaannya mengingkari. 

“Aku sudah punya jawaban…” lidah Embun terasa kelu tak mampu meneruskan kalimatnya, Ia terlalu menyukai Arbi. Tapi Ia juga takut Arbi meninggalkannya setelah tahu bagaimana kehidupannya yang sebenarnya.

“Kau katakan saja di dalam.“ Arbi mempersilakan Embun masuk.

“Tidak, disini saja,“ sekuat tenaga Embun mencoba menghimpun keberanian untuk mengatakan kebohongan yang dikarangnya.

“Sebenarnya Aku hanya ingin mempermainkanmu, sama seperti  pria-pria sebelumnya yang Kutemui di chat room.”

Arbi menatap ke dalam mata Embun, begitu dingin dan tak bersahabat.

“Kau sudah mengatakan perasaanmu dan itu artinya sudah saatnya Aku meninggalkanmu." Embun mencoba tersenyum seolah-olah Ia merasa puas dengan apa yang dilakukannya. 

“Kau…” Arbi tak meneruskan kata-katanya, kilat kemarahan tergambar dari dua bola matanya. Arbi terluka, Ia tak mengira cinta pertamanya hanya akan mempermainkannya.

“Aku tahu, Aku anak SMU yang berhasil memperdayai mahasiswa sepertimu. Hebat kan? “ bibir Embun bergetar, rasanya Ia sudah ingin menangis.

“Aku pulang." Embun membalikkan langkah, bergegas pergi meninggalkan kost-an Arbi. Ia gigit bibir kuat-kuat agar tak menangis dan menyesali keputusannya. 

Ini yang terbaik untuk kita Bi.” Embun membatin.

Arbi menatap punggung Embun yang berlalu. Pemuda itu tak berusaha mengejar, detik itu Arbi mengubur cintanya dengan kebencian yang dalam. 

Padahal sepanjang perjalanan pulang Embun luruh dalam kesedihan yang dalam, gadis itu baru saja kehilangan pria yang dicintai untuk selamanya.


Dengan seragam SMA-nya Embun pura-pura berangkat ke sekolah, padahal pagi itu Ia tetap berada di rumah dan bersembunyi di gudang depan. Ayah tiri juga Ibu kandungnya tak menyadari keberadaan Embun, mereka mengira Embun sudah pergi.

Embun melihat mata Ibu yang berat melepasnya ketika akan berangkat, pelukan Ibu, ciuman Ibu,semuanya terasa janggal. Itu bukan kebiasaan Ibu, mendekap Embun seolah Ibu akan pergi jauh. 

Ada apa dengan Ibu? Apa Ayah akan membawa Ibu pergi?” rentetan tanya bermain di benak Embun. Ia mencoba menyingkirkan kegelisahannya dengan memainkan kotak music pemberian Arbi yang disimpannya di dalam tas sekolah. Satu-satunya benda yang mampu memberinya kekuatan di rumah neraka ini.

“JANGAN……” jeritan Ibunya terdengar dari dalam rumah, Embun bisa mendengarnya.

Embun berjingkat keluar menghampiri jendela rumahnya lalu mengintip.

“MAS JANGAN! AKU MASIH MAU HIDUP" Ibunya bergerak mundur berusaha menghindar dari tebasan pisau yang diarahkan Ayahnya.

SRETTT! tikaman demi tikaman menghujani tubuh Ibu, Embun menatap tak percaya. Ia menggeleng kuat-kuat, dunia seolah runtuh baginya. Tangisnya tumpah, Ia menutup mulutnya agar isaknya tak terdengar.

“AKU AKAN KAYA. AKU KAYA …” tawa Ayahnya membahana, pria tua itu melangkah pergi meninggalkan rumah dengan mobilnya. Ia tak menyadari anak tirinya menyaksikan kejadian tersebut.

Setelah Ayahnya menghilang Embun segera berlari keluar meminta pertolongan. Ia meraung dalam tangis ketakutan dan kesedihan kehilangan orang terkasih untuk selamanya.


Tak ada lagi yang dimilikinya, Ayah, Arbi dan Ibunya semua sudah pergi dari kehidupannya.Tinggal Ia yang kini sendirian berada di ruang isolasi kepolisian.

AKBP Herdin yang menemukannya di TKP masuk ke ruangan isolasi untuk bicara dengannya namun Embun hanya diam terpekur, tatapannya kosong. Ia seperti patung tak bernyawa yang kehilangan gairah hidup.

“Sudah seharian Kau tak makan Nak.“ Pria paruh baya itu menyodorkan nasi bungkus ke hadapan Embun namun Embun tetap tak bergeming.

“Kau bisa sakit." Pria paruh baya itu membujuknya.

Sakit? Ibu, apakah Kau sakit?”  Embun menitikkan air mata. Bayangan peristiwa kemarin teringat kembali dibenaknya. Ayah tiri yang menghunuskan pisau berulang kali hingga menewaskan Ibunya.

Air mata deras mengalir dari kedua kelopak mata Embun. AKBP Herdin yang tak tega melihatnya memilih keluar ruangan.

 

Komentar

Login untuk melihat komentar!