Rumah besar berlantai dua yang ditinggali Embun bersama Ibu dan Ayah tirinya terlihat sunyi. Embun masih terlelap tidur dikamarnya pagi itu.
“Dasar sundal tidak tahu diri!“ Embun tersentak bangun dari tidurnya, teriakan dari lantai bawah rumahnya terdengar. Itu suara Ayah tirinya yang hampir setiap hari di dengarnya.
Embun membuka pintu kamarnya perlahan, lalu pelan-pelan berjingkat menuruni anak tangga untuk melihat apa yang terjadi.
Ayah tirinya menjambak rambut ibu dan menyeretnya ke ruang tengah.
“Ampun Mas.“ Ibunya meringis kesakitan.
Embun menatap pilu, matanya berkaca-kaca. Ia tak berani menolong Ibunya, Embun terlalu takut.
“Maafkan Embun Bu, Embun takut.“ Embun teringat kembali apa yang terjadi ketika Ia mencoba menolong Ibunya.
Sama seperti hari ini ketika Ia mencoba memeluk Ibunya untuk melindungi, Ayah tirinya menarik bahunya dengan kasar hingga jatuh terduduk.
“Beraninya Kau ikut campur!“ Ayah tiri Embun mendaratkan tamparan ke wajah Embun berulang kali.
Embun mengerjapkan mata berusaha mengusir bayangan kelam kejadian waktu itu. Tapi tak bisa, melihat Arbi detik ini Ia seperti di hempaskan ke masa silam dan merasakan luka itu kembali.
“Dengar! Aku tak akan mengampunimu sampai Kau berikan perhiasannya!" Ayah tiri Embun semakin keras menjambak rambut Ibunya.
“Aku akan berikan, tapi lepaskan Aku dulu Mas.“
Ayah tiri Embun tersenyum penuh kemenangan, Ia mendorong kepala Ibu Embun hingga jatuh menabrak siku meja. Pelipis Ibunya berdarah, Embun ingin sekali menolong. Namun rasa takutnya lebih besar hingga Ia tak berani beranjak dari anak tangga yang di singgahinya.
Ibunya berjalan masuk kamar diikuti Ayahnya dari belakang, selang tak berapa lama Ayahnya keluar membawa perhiasan Ibu Embun dengan wajah menyeringai puas.
Setelah mendengar deru mobil Ayahnya meninggalkan halaman rumah Embun segera berlari menuruni anak tangga menuju kamar Ibunya.
Sesaat Embun tertegun di pintu kamar Ibunya, wajah orang yang dikasihinya itu lebam dan penuh darah. Isak tangis Ibunya terdengar memilukan dan menyayat hati Embun. Embun membalikkan langkah berlari ke dapur untuk menyiapkan kompres.
Embun mengambil baskom, setitik air matanya jatuh di dasar baskom. Larut dengan air es yang dituangnya ke dalam baskom. Embun kemudian mengambil lap handuk yang ada dilaci meja dapur, setelah itu kembali ke kamar Ibunya.
“Bu, biar Embun obati luka Ibu.“ Embun duduk di hadapan Ibunya, hendak mengelap sisa darah yang mengalir dari pelipis. Ibunya menggeleng lalu memeluk Embun dan menumpahkan tangis yang masih tersisa.
“ Embun sayang Ibu,“ Embun membalas pelukan Ibunya dengan erat.
“Ibu tahu sayang, Ibu tahu hanya Kau yang mencintai Ibu.“
“Kalau begitu ceraikan Dia Bu, Dia sudah terlalu lama menghancurkan kehidupan Kita Bu.“
“Ibu tidak bisa Mbun, Ibu tidak bisa.“ Ibu Embun menggeleng kuat dan melepaskan pelukannya.
Ibu Embun menarik nafas dalam, berusaha menghentikan tangisnya sendiri. Ia kemudian mengambil handuk di tangan Embun.
“ Biar Ibu yang lakukan sendiri Mbun.“
Embun menatap Ibunya, wanita tua itu menundukkan kepala tak berani melihat ke arahnya. Embun tak pernah tahu alasan apa yang membuat Ibunya tetap bersama Ayah tirinya.
Jauh di dalam benaknya, Ibu Embun selalu terngiang ancaman suami keduanya.
“Aku akan membunuh putrimu jika Kau berani menceraikanku.“ ancaman itu, ancaman yang membuat Ibu Embun hanya bisa pasrah menerima segala perlakuan kasar suaminya.
“Seandainya dulu Aku tak terperdaya olehnya.“ Ibu Embun membatin, Ia teringat kembali awal perkenalan dengan suami keduanya.
Suaminya baru saja meninggal, karangan bunga masih berjejer di halaman depan rumahnya. Arman yang waktu itu menjabat sebagai sekertaris suaminya datang ke rumahnya untuk menyerahkan laporan perusahaan. Masih mengenakan pakaian serba hitam yang menyiratkan perasaan berkabung Ibu Embun menemuinya di ruang tamu.
“Saya tahu Ibu masih berduka dengan meninggalnya Bapak. Namun perusahaan tak bisa ditelantarkan begitu saja. Banyak hal yang harus dikerjakan segera agar perusahaan bisa tetap berjalan.“
Saat bersamaan Embun yang baru pulang sekolah dan masih mengenakan seragam SMP-nya pulang. Ia menghampiri Ibunya dan duduk di sebelah wanita itu.
“Tapi saya sama sekali tak mengetahui seluk beluk perusahaan. Pak Arman mungkin yang lebih mengerti. Sebagai orang kepercayaan suami Saya, bisakah pak Arman menggantikan tugas suami Saya untuk sementara waktu?'
“Bisa saja. Saya dengan senang hati membantu, tapi tetap tanda tangan Ibu sebagai pemilik langsung perusahaan diperlukan untuk meng-approve semua transaksi.“
Pak arman menyungging seutas senyum yang memberi kesan baik dan mampu memperdayainya.
Ibu Embun berusaha mengusir ingatan itu, Ia menatap putrinya.
“Sudah siang, Kau harus sekolah. Bersiap-siaplah sekarang.“
Embun mengangguk tak berani membantah.
“Ibu, sejujurnya Aku ingin tetap berada di rumah disaat-saat Ibu seperti ini.” Embun mengucapkan itu dalam hati.
“Berangkatlah sekolah, jangan pikirkan Ibu. Ibu akan baik-baik saja.“ Ibunya membelai rambut Embun penuh kehangatan seolah tak pernah ada luka kekerasan yang baru saja menderanya.
“Aku mengerti Bu, Ibu tak ingin membagi derita padaku. Ibu selalu ingin membuatku menjauh dari neraka di rumah ini. Dan satu-satunya tempat yang aman untukku menurut Ibu adalah sekolah.“ Embun membatin, Ia mencium kening Ibunya.
“Embun, ke kamar dulu Bu.“ Embun beranjak meninggalkan kamar Ibunya. Langkahnya gontai, Ia sama sekali tak punya semangat untuk ke sekolah setelah keributan yang terjadi pagi itu dirumahnya.
======
Baca juga karya saya lainnya Cinta Adik Ipar
Blurb :
Radita perawan tua penyandang cacat yang hanya punya satu kaki. Dia bukanlah hal terbaik bagi pria normal yang menginginkan kesempurnaan. Kecuali bagi Haris, adik ipar Radita.