Kekejaman Ayah Tiri
Deretan kamar kost berjejer rapi, sebagian besar pintunya tertutup dan lampunya padam. Kecuali kamar kost Arbi yang pintunya terbuka lebar dan lampunya masih menyala. Embun yang baru tiba di tempat kost Arbi bisa menebak, pemuda itu sengaja membuka lebar pintu kamar kostnya karena menunggunya.

“ Permisi.” Embun melongok ke dalam. Arbi tengah bermain gitar sendirian saat Ia datang.

“Blue, Ku pikir Kau becanda” Arbi meletakkan gitarnya ke lantai dan segera bangkit menghampiri Embun yang masih berdiri di pintu.

“Masuklah” Arbi mempersilakan.

Embun memaksa tersenyum, Ia ragu untuk masuk ke dalam tempat kost Arbi. Bagaimanapun mereka baru saling kenal, dan Embun tak tahu bagaimana Arbi sebenarnya. Apa pemuda itu benar-benar tulus berteman dengannya atau sama seperti Arman ayah tirinya yang bersikap baik pada Ibunya karena punya maksud dan tujuan tertentu.

“ Tidak perlu sungkan,” Arbi tiba-tiba menarik lengannya. Membuyarkan lamunan Embun yang sedari beberapa menit yang lalu sibuk menimbang.

“Duduklah,” Arbi menekan pundak Embun untuk duduk di lantai ruang tamu kamar kostnya. 

Embun duduk melipat kaki dengan canggung, ini pertama kalinya Ia mendatangi tempat tinggal seorang pria.

“Sudah larut malam? Kenapa Ia masih berkeliaran diluar rumah? Apa orang tuanya tak mencarinya ?" Arbi membatin saat memandangi Embun.

“Disini banyak kamar kost, tapi kenapa hanya kamarmu yang terlihat berpenghuni?Apa hanya Kau mahasiswa satu-satunya yang menyewa tempat ini?” Embun yang menyadari tengah di perhatikan mencoba mengalihkan perhatian Arbi. 

Arbi yang mendengar mengutas senyum.

“Sebenarnya sebagian kamar kost sudah ada yang menyewa. Tapi kebanyakan kalau malam minggu begini anak-anak kost pulang ke rumah orang tuanya atau ke tempat pacarnya. Makanya banyak kamar kost yang sepertinya kosong“ Arbi menjelaskan pada Embun. 

“Oh.. “ Embun berujar pendek. 

Ia tak terlalu memperhatikan jawaban Arbi, Embun mulai merasakan nyeri akibat pukulan gagang sapu Ayah tirinya tadi.

Arbi seperti menyadari, Ia menatap raut wajah dihadapannya yang tampak begitu pucat dan lemah. 

“Dia pasti belum makan, seperti saat pertama kali Kami bertemu,” Arbi berpikir. Ia tak berpikir jauh bahwa sebenarnya Embun tengah di dera masalah keluarga.

“ Kau tunggu disini ya, Aku belikan makanan dulu diluar.“ Arbi beranjak bangun dari duduknya.  

Embun mengangguki, Ia membiarkan Arbi pergi.

Sesaat gadis itu terdiam, memandangi karpet yang di dudukinya. Pelan Ia mengusap bulu karpet sambil menguap beberapa kali. 

Letih dan kantuk menyergapnya, ditambah rasa sakit yang mendera tubuhnya membuat Ia tak lagi berpikir tengah berada dimana. Embun merebahkan tubuhnya ke lantai ruang tamu yang beralaskan karpet dan mulai memejamkan mata. Sejenak Ia terlupa pada masalahnya dan kembali melanjutkan tidurnya.

Lima belas menit berlalu Arbi kembali ke kostnya dengan dua bungkus nasi goreng yang baru dibelinya, langkahnya terhenti di ambang pintu. Tertegun memandangi Embun yang sudah terlelap tidur di ruang tamu kost-annya.

Padahal Aku masih ingin menanyakan namanya.“ Arbi membatin, Ia meletakkan bungkus nasi gorengnya ke lantai dan ganti menghampiri tubuh Embun lalu memapahnya ke tempat tidur.

Dia cantik, tapi kenapa sikapnya begitu misterius?“ Arbi memandanginya sembari menyelimuti tubuh Embun dengan kain sarung.

Blue, rasanya Aku mulai menyukaimu“ Arbi menggumam. Ia beranjak dari kamar dan tidur di ruang depan.



Semburat cahaya dari ruang tamu menerobos masuk ke dalam kamar, menggantikan cahaya lampu yang semalaman menerangi kamar kost Arbi. 
Embun membuka mata dan mendapati dirinya berada di kamar tidur yang asing.

Embun beringsut duduk dan melipat kain sarung yang menyelimutinya. Setelah selesai Ia merapikan sprei yang sedikit berantakan baru keluar menuju ruang tamu.

Sudah ada Arbi disana yang duduk membaca komik.

“ Kau sudah bangun rupanya,“ Arbi menoleh begitu melihat Embun muncul dari dalam. Arbi meletakkan komiknya dan memandangi Embun. 

“Maaf semalam Aku ketiduran” Embun berujar.

“ Tidak apa. Ayo Kita sarapan bersama, Aku sudah menyiapkan nasi uduk untukmu“ Arbi menarik tangan Embun agar duduk di hadapannya.

Embun duduk, Arbi menyodorkan piring yang di atasnya diletakkan nasi bungkus dan sendok untuk sarapan.

“ Maaf Aku merepotkanmu“ Embun tertunduk membuka nasi bungkus dari Arbi.

“ Tidak. Kau sama sekali tidak merepotkanku, Aku malah senang Kau mengunjungiku.”

Arbi membuka nasi bungkusnya, mengisyaratkan pada Embun agar makan bersamanya.

Embun yang sejak semalam belum makan melahap nasi yang dibelikan Arbi dengan cepat, Ia tak memperhatikan Arbi yang sesekali menatap ke arahnya.

“ Handuk dan sikat gigimu sudah Kusiapkan di kamar mandi. Kalau mau baju salin, nanti kupinjamkan bajuku “ di sela-sela makannya Arbi menawarkan.

Embun bisa melihat dari ekspresi wajah Arbi, pemuda itu tulus. Tak ada maksud lain untuk memanfaatkan dirinya. 

“Terima kasih,“ hanya itu yang bisa diucapkan Embun. Ia belum menyadari kalau perasaannya kini menyukai Arbi.

Setelah menghabiskan sarapan di kost-an Arbi, Embun tak berniat berlama-lama lagi. Ia langsung pulang untuk melihat keadaan Ibunya.

Tiba disana rumah dalam keadaan lenggang, mobil Ayah tirinya tak nampak di halaman. Embun memberanikan diri melangkah masuk, senyap yang menyelimuti. Firasat buruk menjalarinya, Embun segera berlari ke lantai atas.

“IBU” Embun berteriak histeris.

Ibunya tergeletak tak sadarkan diri, Embun berlari ke meja telephone hendak menghubungi seseorang. 

Telephone mati, Ia baru ingat Ayahnya belum membayar tagihan telephone sejak dua bulan lalu. Embun keluar menuju jalan raya di muka rumahnya, berteriak sekuat tenaga meminta pertolongan.


Komentar

Login untuk melihat komentar!