Bab 3
INDRA

"Dira, kamu maling ya?" tanyaku pelan. Tapi aku yakin dia dan Meida mendengarnya.

"Hah? Maksudnya, Mas?" Dia melongo. Membuat gelas berisi jus buah naga di tangannya tak sengaja tertumpah ke baju Meida. 

"Heh! Kamu nggak waras ya!" seru Meida marah. Suaranya naik beroktaf-oktaf membuat kita bertiga menjadi perhatian banyak orang.

"Eh, maaf Mbak Meida. Aku terkejut dengan pertanyaan dari Mas Indra, aku nggak fokus, jadi nggak sengaja tumpah," Dira menjelaskan. 

Tangannya meraih tisu berniat membersihkan, tetapi Meida langsung menepis tangannya kuat.

Bukan Meida namanya jika diam, dan percaya begitu saja dengan ucapan Dira. Istriku itu bangkit dan langsung menampar wajah Dira. 

"Ehmm. Kenapa Mbak Meida menamparku?" Mata Dira membulat. Tampak kilat kemarahan di sana. 

"Itu nggak seberapa. Dibanding apa yang kamu lakukan padaku, Dira. Kamu tau harga baju ini berapa? Hah!" Meida menunjuk bajunya yang kini berubah keunguan. Sementara aku segera menggenggam tangannya agar dia sedikit tenang.

"Memangnya harga baju itu berapa, Mbak?" Tanya Dira polos. 

Aku yang mendengar jawabannya terkikik geli. Tidak percaya rasanya, wanita b**oh ini adalah mantan istriku. Yah, meski hanya berusia dua bulan pernikahan. Tetap saja, memiliki mantan istri seperti dia itu memalukan.

"Kamu nggak tau?" Meida mencibir. 

"Nggak tau, Mbak. Memangnya harganya berapa?"

"Tiga juta. Kamu nggak tau, kan? Jelas lah kamu nggak tau, orang pakaian kamu paling belinya bekas di pasar. Hahaha!" Meida tertawa, membuat aku yang melihatnya juga ikut tertawa.

"Tiga juta? Serius, Mbak? Mahal banget bajunya."

"Ya iyalah mahal. Kan suamiku ini orang kaya," tutur Meida dengan bangga. Karena senang dengan pujiannya, aku merangkul tubuhnya merapat ke tubuhku. 

"Mas, jangan pelukan di sini. Nanti ada yang jealous loh ...."

"Siapa yang jealous, Sayang?"

"Siapa lagi kalau bukan mantan istri kamu yang miskin itu. Dia pasti nyesel pisah sama kamu, Mas. Eh, tapi kenapa harus nyesel, dia kan nggak punya pilihan lain selain menerima. Karena kamu kan yang menceraikan dia Mas." Meida tersenyum sinis ke arah Dira yang tampak mengalihkan pandangan. 

"Biarin aja, anggap aja dia nggak ada. Lagipula, nggak penting juga kan dia mau cemburu atau enggak. Kan yang penting kita bahagia, Sayang," jawabku sembari mengecup keningnya.

"Iya juga ya, Mas. Oh, iya Mas. Aku ke toilet dulu ya, mau bersihin nih baju. Lembab, aku nggak nyaman." Tak tega rasanya melihat Meida yang menatap jijik tubuhnya sendiri. 

"Iya Sayang, Mas tunggu di sini yah." 

"Iya, Mas." Meida tersenyum. "Eh, Dira. Kamu ngapain masih di sini? Oh, jangan-jangan kamu mau merayu suami aku ya? Pergi sana," ucap Meida sebelum pergi. Wanita cantik ini masih enggan beranjak ke kamar mandi karena Dira yang masih berdiri di dekat kami. 

"Tenang saja Mbak Meida, aku nggak akan godain Mas Indra. Mohon maaf, tapi aku sama sekali sudah nggak minat sama suami Mbak ini. Nggak napsu." Dira berkata sinis. Aku yang mendengarnya tiba-tiba merasa nyeri di ulu hati. Bisa-bisanya dia menghinaku seperti ini di depan istri baruku. 

"Terus, kenapa masih berdiri di sini kalau emang udah nggak nafsu? Munafik kamu ya," ucap Meida tak kalah sinis. 

"Nggak. Aku cuma mau nanya sama Mas Indra. Tadi maksudnya apa ngatain aku maling." Dira menatapku. Meida pun juga menatapku penuh tanya. 

"Emm itu, kamu itu kan miskin. Masak iya orang miskin kek kamu punya cincin berlian seperti yang ada di jari kamu itu. Udah pasti maling, kan. Kalau enggak, dapat dari mana lagi." Aku melirik ke cincin berlian yang melingkar di jarinya. 

"Alah, Mas Mas. Paling juga imitasi. Cincin imitasi kek gitu mah banyak, Mas. Lima ribuan di pasar," seloroh Meida yang tak kunjung pergi ke toilet juga. 

Wajah Dira berubah merah mendengar perkataan Meida. Aku jadi percaya dengan ucapan Meida, pasti cincinnya imitasi.

"Iya juga ya, Sayang. Hahaha!" 

"Ya udah ah, Mas. Aku ke toilet dulu ya." 

"Iya sayang."

"Heh, minggir kamu." Meida menabrak tubuh Dira membuat wanita itu sedikit terhuyung ke belakang. 

"Dira, cincin kamu itu beneran imitasi? Sebegitunya kamu ingin kelihatan kaya, sampai beli cincin imitasi segala," ucapku setelah Meida pergi. 

"Maaf, Mas. Cincin ini asli, dan bukan imitasi," jawabnya membuat mulutku menganga.

"Ya udah, Mas. Aku permisi dulu, mau ambil ganti untuk jus yang tumpah. Oh iya, itu mulutnya ditutup Mas. Nanti kalau sampai ada lalat masuk, terus Masnya tersedak, terus mati, kan kasian Mbak Meida. Dia pasti belum siap jadi janda," ucap Dira sembari berlalu dari hadapan. 

Reflek aku pun menutup mulut dan menatapnya geram. Kurang asem sekali mulut si Dira itu. Nggak pernah disekolahin.

Next?


Komentar

Login untuk melihat komentar!