Bagian 4
BAGIAN 4
Flashback Setahun Lalu

“Ri, teman si Nadia itu tinggal di rumahmu sekarang?”
Eva, rekan kantorku sesama customer service yang bekerja di line call center, tiba-tiba saja bertanya saat kami hendak keluar ruangan. Aku sontak menoleh ke arah cewek berbadan subur yang belum juga menikah di usianya yang ke 31 tahun tersebut.
“Iya, Va. Kok, tahu?” tanyaku heran.
“Lihat story WhatsApp-mu. Sering banget posting lagi masak sama dia.” Muka bulat Eva terlihat penuh penasaran. Perempuan yang sedang membawa tote bag berisi bekal makanan tersebut tak berkedip menatapku.
“Oh, iya. Dia udah seminggu ini nginap di rumahku sama anaknya. Dia takut di rumahnya. Masih trauma sama kematian mendiang suami.”
“What? Seminggu?!” Eva terlonjak kaget. Cewek yang mengenakan jilbab warna merah terang yang senada dengan baju korsa perusahaan tersebut menghentikan langkahnya sambil menarik pelan tanganku.
“Kenapa emangnya, Va?” Alisku naik sebelah. Heran juga dengan tanggapan Eva yang merupakan salah satu kawan akrab di kantor.
“Ri, dia itu cantik banget. Badannya seksi semlehoy. Apalagi sekarang udah janda. Apa kamu nggak takut ngebawa dia ke rumah?”
Aku luar biasa kaget dengan tanggapan Eva. Tak kusangka bahwa reaksi wanita berkulit sawo matang itu bakal sehisteris barusan. 
“Nadia itu udah kaya saudaraku, Va. Dia sahabat akrabku sejak SMA. Nggak mungkinlah dia berkhianat!” sanggahku. Aku langsung menepis tangan Eva. Berjalan terus sambil menjepit tas dompet di ketiak. Ucapan Eva secara tak langsung telah membuatku mendadak gelisah. 
“Ri, jangan salah! Zaman sekarang, banyak pelakor yang bergentayangan! Sialnya, mereka itu kebanyakan dari orang terdekat si istri sah. Duh, si Riri. Kok, kamu jadi secerobih ini, sih?” Eva nyolot. Di sela ucapannya, terdengar bunyi napas yang terengah akibat mengejar langkahku yang setengah berlari ini.
“Va, jangan bikin aku parno, deh!” bentakku sebal. Orang-orang yang kebetulan juga hendak menuju kantin yang berada di lantai satu, mendadak menoleh ke arah kami. Si Eva, bikin malu aja!
“Ri, jangan keras kepala. Kamu harus dengar kata-kataku ini,” kata Eva sambil lagi-lagi menarik tanganku. 
“Alah, Va! Kamu nikah aja belum. Jangan nasihati orang yang udah jauh lebih berpengalaman, deh!” 
Aku pun buru-buru menuruni anak tangga menuju lantai satu. Kutinggalkan Eva yang entah dia marah atau tidak dengan ucapanku tadi. Dia pantas mendapatkan bentakan itu, sebab kunilai Eva sudah terlalu sok tahu dan ikut campur. Dia tidak mengenal Nadia dengan baik, jadi bukan ranahnya untuk memberikan pendapat apalagi bernada negatif seperti tadi.
Akhirnya, aku makan di kantin tanpa ditemani oleh Eva. Cewek 31 tahun itu adalah satu-satunya teman wanita yang bekerja sebagai customer service di bagian call center. Total staf yang menangani call center ada empat orang. Aku, Eva, Bima, dan Pak Indra. Jadi, kepada Evalah aku sering curhat dan membagi cerita selama berada di kantor. Eva jugalah yang selalu menemaniku bila makan di kantin saat jam istirahat. Dia memang orangnya rame dan humble, tapi yang bikin aku kurang sreg adalahh sifat suka ikut campurnya. 
Saat aku tengah makan nasi rames di bangku paling belakang dekat etalase dan meja kasir, tiba-tiba saja si Eva datang dan menghampiriku. Kukira, dia bakal tersinggung. Ternyata tidak. Dia cuek saja duduk dan membuka kotak bekalnya di depanku.
“Maaf,” kataku pelan kepadanya.
“Santai aja.” Eva cuek bebek. Wanita yang mengenakan lipstik warna nude itu terlihat bersemangat untuk menyantap nasi dan lauk rendang sapinya. 
“Lagian sih, kamu. Bikin aku parno aja!” 
“Ya, ngapain parno? Kan, kamu percaya banget sama sahabatmu yang satu itu. Sorry, deh, kalau aku kelewat suuzan sama orang,” katanya sambil mengunyah.
Aku yang masih dirundung galau, mau tak mau kembali menyuap makanan di piring. Nasi, orek tempe, telur dadar, dan sepotong gereh balado ini jadi tak begitu nikmat di lidah. Ya Allah, ucapan Eva benar-benar membuat mood-ku seketika hancur.
Kulepaskan sendok yang sedang kupegang. Buru-buru aku merogoh ponsel yang berada di dalam dompet warna hitam dengan corak sebuah brand tas ternama di seluruh permukaannya tersebut. Ragu-ragu aku menekan nomor Mas Hendra. Memastikan bahwa pria yang sedang demam itu baik-baik saja di rumah.
“Halo, Mas,” sapaku sambil menahan deg-degan.
“Iya, Ri.” Suara suamiku kedengaran parau. Sebelum berangkat, keningnya memang panas. Dia berkata kalau tenggorokannya sakit dan agak meriang. Jadi, lelaki itu izin tak masuk kerja hari ini dan beristirahat di rumah.
“Gimana kondisinya? Udah enakan?” tanyaku khawatir. Kulirik sekilas, Eva langsung menatapku sesaat, tapi kemudian ketika mata kami saling bersirobok, gadis itu cepat membuang muka.
“Masih meriang. Udah minum obat. Ini dibuatin bubur sama jahe merah hangat sama Nadia.”
Satu sisi aku merasa lega, tapi di sisi lain … ada ketakutan tersendiri yang menyelinap di dada. Aku benar-benar terusik dengan ucapan Eva. Mungkinkah Mas Hendra bakal kepincut janda itu? Ah, tidak mungkin!
“Kamu di mana sekarang?”
“Di kamar. Tiduran. Kamu udah makan?” 
Hatiku langsung leleh saat Mas Hendra bertanya tentang diriku. Tumben sekali, pikirku. “Udah, Sayang. Kamu mau dibelikan apa nanti?”
“Nggak usah, Ri. Ngerepotin nanti. Kamu baik-baik di kantor, ya.” Meskipun suaranya serak, lelaki itu tetap memaksakan diri untuk tetap berbicara.
“Iya, Sayang. Lekas sembuh, ya. Aku nanti pulang cepat, kok.”
“Nggak usah. Fokus aja sama kerjaanmu. Aku tidur dulu, ya. Bye.”
“Bye, Sayang.”
Sambungan telepon pun terputus. Aku mengembuskan napas lega sambil memasukan kembali ponsel ke dalam tas dompetku.
“Kenapa suamimu, Ri?” tanya si Eva penasaran sambil menutup kotak bekalnya. Di luar pertanyaannya yang super kepo itu, aku agak terperanjat dengan makanan Eva yang sudah tandas dalam waktu singkat. Buset si Eva, kelihaiannya dalam menelan ternyata semakin terasah saja.
“Sakit. Dia nggak ngantor hari ini,” jawabku.
“What?” Mata si Eva membeliak lagi. Mulai deh, dia lagi-lagi histeris menanggapi bicaraku.
“Sama siapa dia di rumah? Jangan bilang—”
“Si Nadia masih cuti berkabung sampai hari ini. Jadi, dia besok baru berangkat kerja.”
Eva mendecak sambil geleng-geleng kepala. “Ri, benar-benar kamu! Pulang sana! Pastikan suami dan sahabatmu tidak lagi main gila di kamar berduaan!”
“Eva, jaga bicaramu!” bentakku geram. Tak peduli lagi aku dengan tatapan heran dari pengunjung kantin lainnya. Biar saja. Sikap Eva sudah kelewat batas!
“Jangan bodoh, Ri! Cepat pulang. Perasaanku sudah tak enak. Aku yang akan handle kerjaanmu. Ayo, buruan!” Eva membuatku tergopoh dan panik luar biasa. Kurang ajar anak ini. Apa dia tidak memikirkan mentalku yang mulai kacau karena pikiran buruknya itu?
“Cepat! Aku yang bayarkan makananmu. Tidak usah risau. Yang penting kamu pulang dulu. Cek apakah suamimu masih utuh atau tidak!” Eva langsung menarik badanku. Wanita gembul itu menyeretku sambil membawakan dompet ini hingga keluar pintu kantin.
“Pulang sekarang sebelum semuanya terlambat!” 
Aku tercengang sendiri. Kupikir, sikap Eva memang sangat berlebihan. Namun, hati kecilku mengatakan bahwa aku harus mengikuti saran Eva, kalau tak mau menyesal.
Akhirnya, buru-buru aku melesat berjalan keluar bangunan kantin yang bersebelahan dengan bangunan utama kantor. Kaki ini langsung berlari menuju halaman parkir. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun naik ke atas motor matik sport hitamku dan mengenakan helm. Dengan kecepatan tinggi, kupacu motor sambil menahan degupan di dada. Ya Allah, semoga apa yang tengah kupikirkan hanyalah sebagain dari prasangka buruk belaka.
***
Suasana rumah dua lantai dengan cat depan warna oranye-putih itu terlihat sangat lengang. Mobil hitam Mas Hendra terparkir di halaman. Menandakan bahwa dia memang tak ke mana-mana.
Entah mengapa, darahku berdesir laju. Serasa panas di ubun-ubun. Aku benar-benar berdebar saat membuka kunci pintu depan.
Mata ini langsung menelusuri ruang tamu. Sepi sekali. Tak ada siapa pun.
Sebelum masuk kamar, aku mencari keberadaan Nadia. Biasanya, jam segini wanita itu tengah menonton televisi di ruang keluarga atau berada di kamar atas. Ketika tiba di ruang keluarga, nihil. Dia tak ada di sana. Kususul ke dapur, wanita itu juga tak ada.
Jantungku mulai bekerja lebih cepat. Ah, mungkin dia ada di kamar atas pikirku. Seketika aku pun balik arah dan beranjak menuju tangga yang berada di dekat ruang makan. Berdegup keras dadaku. Satu per satu anak tangga yang kutiti terasa begitu berat. Bagaimana kalau Nadia tak ada di kamarnya? Sedangkan anaknya kini berada di daycare bersama Carissa. Aku yang menyuruh demikian, agarr Alexa tak kesepian saat Carissa harus masuk daycare.
Kakiku lemas saat berada di depan pintu kamar tempat Nadia tinggal selama seminggu ini. kuberanikan diri untuk membuka kenop pintu. Mataku membelalak besar saat pintu tak terkunci dan tiada Nadia di dalam sini. Hatiku langsung mencelos. Jika memang dia tak ada di mana-mana … itu artinya ….
(Bersambung)
Bab
Sinopsis
1
Kata Pengantar
2
Ucapan Persembahan
3
Bagian 1
4
Bagian 2
5
Bagian 3
6
Bagian 4
7
Bagian 5
8
Bagian 6
no_image no_image
9
Bagian 7
no_image no_image
10
Bagian 8
no_image no_image
11
Riri: Hapus Air Mata
no_image
12
Riri: Racun Untuk Gundi...
no_image
13
Riri: Kamu Harus Mender...
no_image
14
Riri: Kurekam Barang Bu...
no_image
15
Riri: CCTV
no_image
16
Riri: PIN ATM
no_image
17
Riri: Kuras Habis
no_image
18
Riri: Kugertak Dia Tanp...
no_image
19
Riri: Serang Si Karpet!
no_image
20
Riri: Hancurkan Mentaln...
no_image
21
Riri: Najis Banget!
no_image
22
Riri: Sobat, Maafkan Ak...
no_image
23
Nadia: Apakah Dia Tahu?
no_image
24
Riri: Pesan Menohok di...
no_image
25
Riri: Bermuka Manis di...
no_image
26
Riri: Dia Tak Tahu Aku...
no_image
27
Riri: Gerimis Hati
no_image
28
Riri: Senjata Makan Tua...
no_image
29
Riri: Dia Memanggil Sua...
no_image
30
Riri: Rahasia Besar
no_image
31
Riri: Kupermalukan Dia
no_image
32
PoV Author: Menghilangn...
no_image
33
Riri: Pasangan Iblis Ya...
no_image
34
Nadia: Hati Retak, Duku...
no_image
35
Riri: Menginjak Harga D...
no_image
36
Riri: Kubuat Jebakan
no_image
37
Riri: Grebek!
no_image
38
Riri: Keputusan Terbera...
no_image
39
Riri: Ketika Dia Menciu...
no_image
40
Riri: Lepaskan Benalu
no_image
41
Riri: Kerasnya Takdir
no_image
42
Riri: Mama
no_image
43
Riri: Kisruh
no_image
44
Riri: Sebuah Kecurigaan
no_image
45
Indri: Kebencian Terhad...
no_image
46
Indri: Kupegang Kartu A...
no_image
47
Indri: Tertangkap Basah
no_image
48
Riri: Hancur Lebur
no_image
49
Riri: Terjungkalnya Pen...
no_image
50
Tama: Kupilih Jalan Ter...
no_image
51
Riri: Pengakuan Sang Ip...
no_image
52
Riri: Maaf dari Mama
no_image
53
Riri: Benci
no_image
54
Riri: Aku Sadar
no_image
55
Riri: Maaf, Bukan Urusa...
no_image
56
Riri: Lelaki Karpet
no_image
57
Riri: Atur Strategi Ula...
no_image
58
Riri: Barang Bukti
no_image
59
Riri: Kegilaan Suamiku
no_image
60
Riri: Kutuntaskan Perla...
no_image
61
Riri: Pakdir dan Lawyer...
no_image
62
Riri: Pria Berwajah Kli...
no_image
63
Riri: Pupus Harapan
no_image
64
Riri: Gono-gini
no_image
65
Si Manipulatif
no_image
66
Sherly: Salahkah Bila K...
no_image
67
Riri: Dusta
no_image
68
Riri: Pecah!
no_image
69
Riri: Pesan dari Chris
no_image
70
Riri: Pembahasan Penuh...
no_image
71
Riri: Mbak Sherly Sayan...
no_image
72
Nadia: Dinginnya Lantai...
no_image
73
Riri: Nahas
no_image
74
Riri: Rencana Bang Tama
no_image
75
Riri: Chris dan Ide-ide...
no_image
76
Riri: Kritik Pedas
no_image
77
Riri: Tangisan Misteriu...
no_image
78
Riri: Permintaan Sintin...
no_image
79
Riri: Mimpi Buruk
no_image
80
Riri: Sengit
no_image
81
Riri: Menguak Fakta
no_image
82
Riri: Azab
no_image
83
Riri: Keluarga Yang Han...
no_image
84
Riri: Eva
no_image
85
Pak Dayu: Maaf Atas Ren...
no_image
86
Riri: Pria Itu Sangat M...
no_image
87
Riri: Panti Asuhan dan...
no_image
88
Riri: Dia Merelakan Seg...
no_image
89
Riri: Pertemuan dengan...
no_image
90
Riri: Mencekam
no_image
91
Riri: Tetes Air Mata
no_image
92
Riri: Kejujuran Itu Men...
no_image
93
Riri: Mami, Pakdir, dan...
no_image
94
Riri: Maaf Darinya
no_image
95
Riri: Muncul Lagi dan L...
no_image
96
Riri: Kehadiran Yang Ta...
no_image
97
Riri: Azab Untuk Lelaki...
no_image
98
Riri: Kutukan
no_image
99
Riri: Ternyata
no_image
100
Riri: Simalakama
no_image
101
Riri: Sungguh Menyebalk...
no_image
102
Riri: Hari Pertama
no_image
103
Riri: Merebut Hati Mama
no_image
104
Riri: Surat Misterius
no_image
105
Riri: Tak Pantas Kupili...
no_image
106
Riri: Gosip Murahan
no_image
107
Riri: Murka Mama
no_image
108
Riri: Surat Sidang Pert...
no_image
109
Riri: Tantangan Untuk C...
no_image
110
Riri: Pengakuan Chris
no_image
111
Riri: Tangis Mas Hendra
no_image
112
Riri: Surat Dari Mas He...
no_image
113
Riri: Tantangan Dari Ch...
no_image
114
Riri: Semua Orang Bahag...
no_image
115
Riri: Apa Maksudnya?
no_image
116
Riri: Ancaman
no_image
117
Riri: Ungkapan Cinta
no_image
118
116
no_image
119
117
no_image
120
118
no_image
121
119
no_image