Bagian 5
BAGIAN 5

Flashback Setahun Lalu

Buru-buru aku menuruni anak tangga dengan hati yang sangat gelisah. Tanpa kusadari, keringat mulai membasahi pelipis dan rambut lurus pendek seleherku. Sepanjang perjalanan menuju kamar utama yang berada di depan, hanya ketakutan saja yang kentara menyelimuti jiwa.
Ya Allah, tolong aku. Jangan sampai rumah tanggaku bubar. Apalagi bila Nadia yang menjadi dalangnya. Aku tak ikhlas dunia akhirat!
Sampai di depan pintu kayu bercat abu-abu gelap tersebut, aku pun langsung membuka kenop stainless. Kaget sekali, ternyata terkunci dari dalam. Siapa yang tak mencelos dadanya bila mendapati keadaan seperti ini?
“Mas! Mas Hendra!” Aku memekik sambil menggedor-gedor pintu. Sekali, dua kali, masih saja tak ada jawaban.
Aku makin dirundung galau. Rasa takut kehilangan begitu kental menghantui. Nadia, kamu tidak mungkin menjadi duri dalam daging, kan? Kamu sahabat terbaikku, Nad! Ucapan Eva pasti tidak benar.
“Mas Hendra, buka pintunya!” kataku. Tangan ini tiada hentinya memukuli daun pintu. Sampai terasa cukup nyeri. Mungkin, sudah sepuluh kali aku memanggil suamiku dari sini. Ngapain dia di dalam sana? Kenapa tak kunjung membuka pintu.
Terdengar derap langkah yang mendekat. Emosiku sudah memuncak rasanya. Mungkin, sebentar lagi bakal meledak.
“Kenapa, sih, Ri?” Suamiku muncul dari balik pintu. Wujudnya kusut masai. Kedua matanya pun sembab menatapku. 
Mungkin dia hanya berkamuflase, pikirku. Tanpa banyak bicara, aku pun menorobos masuk. Kuperhatikan sekeliling, tak ada siapa-siapa di kamar ini selain Mas Hendra.
Tak mau berpuas diri, aku memeriksa kolong tempat tidur. Siapa tahu di sanalah Nadia disembunyikan. 
“Kamu cari apa, Ri?” tanya Mas Hendra dengan suara serak. Lelaki itu mendekat ke arahku. Namun, sosoknya malah kuabaikan.
Kolong tempat tidur kosong. Aku tak menyerah. Segera aku berdiri dari jongkok, kemudian bergerak ke lemari pakaian yang memiliki empat pintu. Lemari berbahan jati dengan ukir-ukiran berbuentuk bunga tersebut kubuka satu per satu pintunya. Sama nihil. Tak ada Nadia di sana.
“Riri, kamu ini kenapa?” Mas Hendra bertanya dengan nada tinggi. Aku langsung balik badan dan menatapnya sekilas. Pria yang mengenakan kaus olahraga lengan panjang dan celana training hitam itu tampak keheranan sekaligus agak kesal.
Aku masih bungkam. Berlari ke menuju pojok kiri sebelah depan sejurus dengan pintu. Ada toilet di sana, keberadaannya membelakangi ranjang tidur kami. Tanganku sontak membuka kenop pintu berbahan plastik PVC warna biru tersebut, dan … tak ada apa pun di sana.
“Ke mana kamu sembunyikan Nadia, Mas!” pekikku ke arah Mas Hendra sambil terengah-engah.
Pria itu membeliak kedua matanya. Menatapku dengan muka yang terkejut. Dia berjalan maju dan semakin dekat kepadaku.
“Riri, apa yang kamu bicarakan?” Nada suara Mas Hendra terdengar sangat merasa tak bersalah. Apakah dia benar-benar tidak tahu atau malah belaga pilon?
“Nadia! Di mana dia?!” Aku membentak suamiku. Cukup keras nada bicara ini. Sampai-sampai Mas Hendra seperti terkejut dengan sikapku yang sangat tak biasa tersebut.
“Nadia? Mana aku tahu, Ri! Kamu kan, tahu, aku lagi sakit. Dari tadi aku di kamar saja. Makan bubur pun aku di kamar.”
Alisku mencelat. Dada ini makin berdegup kencang. Nyaris aku memuntahkan semua kekesalan dan kecurigaan, tetapi sekuat tenaga kutahan.
“Apa? Jadi, Nadia sempat ke kamar untuk menyuapkanmu bubur segala?” tanyaku jengkel.
“Menyuapkan? Oh, Riri. Apa yang kamu pikirkan? Nadia hanya mengantar sampai depan pintu saja. Mana mungkin dia masuk ke sini, bahkan menyuapkanku segala. Ri, apa kamu sedang menuduhku berbuat yang tidak-tidak?” Mas Hendra meremas pelan kedua bahuku. Pria itu menatap dengan ekspresi kecewa. 
Aku lemas sendiri. Terhenyak sesaat. Malu seketika. 
“Ri, kamu yang membawa Nadia ke sini. Kamu juga yang ketakutan sendiri.” Mas Hendra mendecak kesal. Dia menggelengkan kepala, tanda tak percaya dengan apa yang dilihatnya hari ini.
“Kamu bukan seperti Riri yang kukenal. Pasti ada omongan yang membuatmu terhasut, bukan?”
Dadaku sontak berdesir hebat. Mas Hendra bahkan bisa mengendus sedalam ini. Dia tahu betul dengan sosokku seperti apa.
“Ah, tidak. Jangan mengada-ada. Mana ada yang menghasutku! Ini murni firasatku, Mas!”
“Kamu berbohong, Ri. Matamu terlihat jelas. Siapa orangnya? Katakan? Ini jelas fitnah!” Mas Hendra mencengkeram lenganku agak keras. Cepat kutepis dan aku berusaha untuk menghindar darinya.
Saat kaki ini melangkah, pintu kamar kami tiba-tiba diketuk dari luar. Aku sudah deg-degan. Jangan-jangan … itu Nadia?
Ketika kenop kubuka dan daun pintu mulai kutarik pelan, betapa kagetnya saat melihat sosok Nadia di depanku tengah bercucuran air mata.
“Ri … kalian bertengkar karenaku?” Tangan putih wanita itu gemetar. Bibir merah penuhnya pun demikian. Nadia tertunduk sambil menangis pilu.
“T-tidak, Nad. A-aku ….”
“Suara kalian terdengar, Ri. Tadi aku ke halaman samping memetik tanaman roselamu. Ribut-ribut itu kedengaran hingga ke tempatku memetik.”
Aku merasa begitu tak enak hati. Bagaimana tidak, Nadia pasti bisa mendengar jelas suara pertengkaran kami, sebab pekarangan samping ini lokasinya pas bersebelahan dengan kamar. Sial sekali! Kenapa aku tidak terpikir bahwa dia sedang berada di halaman atau tempat lain? Mengapa pikiranku malah bernegatif ria dan menduga bahwa Nadia sedang bermesraan dengan Mas Hendra di kamar? Ah, aku memang ceroboh!
“M-maafkan aku, Nad. B-bukan maksud—”
“Sepertinya keberadaanku di sini sangat membuatmu terganggu. Aku dan Alexa akan pulang hari ini juga.” Nadia menangis semakin kencang dan berlari ke arah belakang. Aku hanya bisa diam membeku sambil menatap punggung perempuan berdaster lengan pendek warna hijau daun tersebut.
“Berdosa sekali kamu, Ri. Kamu sudah melukai hati sahabatmu sendiri. Kamu juga membuatku sangat kecewa karena telah mencurigaiku secara berlebihan. Kamu benar-benar melukai banyak perasaan orang hari ini.”
Bab
Sinopsis
1
Kata Pengantar
2
Ucapan Persembahan
3
Bagian 1
4
Bagian 2
5
Bagian 3
6
Bagian 4
7
Bagian 5
8
Bagian 6
no_image no_image
9
Bagian 7
no_image no_image
10
Bagian 8
no_image no_image
11
Riri: Hapus Air Mata
no_image
12
Riri: Racun Untuk Gundi...
no_image
13
Riri: Kamu Harus Mender...
no_image
14
Riri: Kurekam Barang Bu...
no_image
15
Riri: CCTV
no_image
16
Riri: PIN ATM
no_image
17
Riri: Kuras Habis
no_image
18
Riri: Kugertak Dia Tanp...
no_image
19
Riri: Serang Si Karpet!
no_image
20
Riri: Hancurkan Mentaln...
no_image
21
Riri: Najis Banget!
no_image
22
Riri: Sobat, Maafkan Ak...
no_image
23
Nadia: Apakah Dia Tahu?
no_image
24
Riri: Pesan Menohok di...
no_image
25
Riri: Bermuka Manis di...
no_image
26
Riri: Dia Tak Tahu Aku...
no_image
27
Riri: Gerimis Hati
no_image
28
Riri: Senjata Makan Tua...
no_image
29
Riri: Dia Memanggil Sua...
no_image
30
Riri: Rahasia Besar
no_image
31
Riri: Kupermalukan Dia
no_image
32
PoV Author: Menghilangn...
no_image
33
Riri: Pasangan Iblis Ya...
no_image
34
Nadia: Hati Retak, Duku...
no_image
35
Riri: Menginjak Harga D...
no_image
36
Riri: Kubuat Jebakan
no_image
37
Riri: Grebek!
no_image
38
Riri: Keputusan Terbera...
no_image
39
Riri: Ketika Dia Menciu...
no_image
40
Riri: Lepaskan Benalu
no_image
41
Riri: Kerasnya Takdir
no_image
42
Riri: Mama
no_image
43
Riri: Kisruh
no_image
44
Riri: Sebuah Kecurigaan
no_image
45
Indri: Kebencian Terhad...
no_image
46
Indri: Kupegang Kartu A...
no_image
47
Indri: Tertangkap Basah
no_image
48
Riri: Hancur Lebur
no_image
49
Riri: Terjungkalnya Pen...
no_image
50
Tama: Kupilih Jalan Ter...
no_image
51
Riri: Pengakuan Sang Ip...
no_image
52
Riri: Maaf dari Mama
no_image
53
Riri: Benci
no_image
54
Riri: Aku Sadar
no_image
55
Riri: Maaf, Bukan Urusa...
no_image
56
Riri: Lelaki Karpet
no_image
57
Riri: Atur Strategi Ula...
no_image
58
Riri: Barang Bukti
no_image
59
Riri: Kegilaan Suamiku
no_image
60
Riri: Kutuntaskan Perla...
no_image
61
Riri: Pakdir dan Lawyer...
no_image
62
Riri: Pria Berwajah Kli...
no_image
63
Riri: Pupus Harapan
no_image
64
Riri: Gono-gini
no_image
65
Si Manipulatif
no_image
66
Sherly: Salahkah Bila K...
no_image
67
Riri: Dusta
no_image
68
Riri: Pecah!
no_image
69
Riri: Pesan dari Chris
no_image
70
Riri: Pembahasan Penuh...
no_image
71
Riri: Mbak Sherly Sayan...
no_image
72
Nadia: Dinginnya Lantai...
no_image
73
Riri: Nahas
no_image
74
Riri: Rencana Bang Tama
no_image
75
Riri: Chris dan Ide-ide...
no_image
76
Riri: Kritik Pedas
no_image
77
Riri: Tangisan Misteriu...
no_image
78
Riri: Permintaan Sintin...
no_image
79
Riri: Mimpi Buruk
no_image
80
Riri: Sengit
no_image
81
Riri: Menguak Fakta
no_image
82
Riri: Azab
no_image
83
Riri: Keluarga Yang Han...
no_image
84
Riri: Eva
no_image
85
Pak Dayu: Maaf Atas Ren...
no_image
86
Riri: Pria Itu Sangat M...
no_image
87
Riri: Panti Asuhan dan...
no_image
88
Riri: Dia Merelakan Seg...
no_image
89
Riri: Pertemuan dengan...
no_image
90
Riri: Mencekam
no_image
91
Riri: Tetes Air Mata
no_image
92
Riri: Kejujuran Itu Men...
no_image
93
Riri: Mami, Pakdir, dan...
no_image
94
Riri: Maaf Darinya
no_image
95
Riri: Muncul Lagi dan L...
no_image
96
Riri: Kehadiran Yang Ta...
no_image
97
Riri: Azab Untuk Lelaki...
no_image
98
Riri: Kutukan
no_image
99
Riri: Ternyata
no_image
100
Riri: Simalakama
no_image
101
Riri: Sungguh Menyebalk...
no_image
102
Riri: Hari Pertama
no_image
103
Riri: Merebut Hati Mama
no_image
104
Riri: Surat Misterius
no_image
105
Riri: Tak Pantas Kupili...
no_image
106
Riri: Gosip Murahan
no_image
107
Riri: Murka Mama
no_image
108
Riri: Surat Sidang Pert...
no_image
109
Riri: Tantangan Untuk C...
no_image
110
Riri: Pengakuan Chris
no_image
111
Riri: Tangis Mas Hendra
no_image
112
Riri: Surat Dari Mas He...
no_image
113
Riri: Tantangan Dari Ch...
no_image
114
Riri: Semua Orang Bahag...
no_image
115
Riri: Apa Maksudnya?
no_image
116
Riri: Ancaman
no_image
117
Riri: Ungkapan Cinta
no_image
118
116
no_image
119
117
no_image
120
118
no_image
121
119
no_image