Bagian 3
BAGIAN 3

Flashback Setahun Lalu

“Mas, aku ajak Nadia dan anaknya untuk tinggal di sini. Nggak apa-apa, kan?”
Takut-takut aku meminta izin kepada Mas Hendra. Lelaki yang baru saja pulang dari kantor tersebut langsung menatapku. Aku deg-degan. Ya ampun, jangan-jangan … dia akan marah.
“Iya, Ri. Silakan,” katanya lembut sambil tersenyum.
Fiuh, betapa leganya aku. Langsung kupeluk Mas Hendra yang berdiri di ambang pintu. “Makasih, Sayang,” ucapku penuh syukur.
“Sama-sama. Di mana mereka? Sudah di rumah kita atau masih di rumahnya?” tanya Mas Hendra buru-buru melepaskan pelukan.
“Sudah di kamar atas, Mas. Aku suruh istirahat dulu. Kasihan banget mereka,” kataku memasang wajah melas.
Mas Hendra mengangguk-angguk. Lelaki itu lalu merangkulku sambil berjalan menuju kamar. “Apa mereka nggak ngadain tahlilan?” tanya suamiku.
“Katanya di rumah orangtuanya Wahyu. Nadia ogah ke sana. Tadi siang habis pemakaman saja, Nadia bertengkar dengan ibu tirinya Wahyu. Gila itu nenek-nenek. Jahat banget mulutnya.”
Mas Hendra langsung mendecak. Lelaki itu kini membukakan pintu kamar kami yang berada di depan dekat ruang tamu, lalu mempersilakanku masuk duluan. “Kamu romantis banget hari ini,” kataku memuji.
Mas Hendra yang biasanya sepulang bekerja menampakkan muka capek dan kerap cemberut, hari ini memang sangat berbeda. Wajah tampannya mengulaskan senyuman sejak aku meminta izin tadi. Bahkan hingga dia duduk bersamaku di bibir kasur pun, lengkung senyum itu masih tersungging.
“Udahlah, suruh si Nadia menjauh aja dari keluarga Wahyu kalau mereka jahat. Aku setuju kalau dia tinggal di sini. Biar Carissa punya teman main dan nggak kesepian.”
“Biar kamu bebas tugas main sama dia, ya?” godaku sambil menepuk lengannya.
“Ah, nggak gitu. Biar rame,” elaknya. Lelaki itu tertawa. Senyum di bibirnya bahkan kelihatan sangat semringah. Entah mengapa, aku jadi merasa bahagia melihat perubahan sikap Mas Hendra.
“Eh, kamu masak apa buat makan malam?” tanya Mas Hendra tiba-tiba.
“Oh, tadi aku bikin sop. Dibantuin sama Nadia.”
“Ri, si Nadia jangan disuruh bantu-bantuin dululah. Kasihan. Suruh dia istirahat aja.”
Aku jadi tak enak hati dengan suamiku. Merasa bersalah juga sebab telah membiarkan Nadia ikut ke dapur. “Orangnya maksa, Mas,” kataku membela diri.
“Ya, walaupun dia maksa, tapi seharusnya kamu paham. Dia itu nggak enakan orangnya. Pastilah dia nggak tenang kalau tuan rumahnya masak. Besok-besok, beli masakan jadi aja di luar.”
Satu alisku mencelat. “Lho, bukannya kamu nggak suka kalau aku beli makanan di luar? Kan, rasanya sering nggak sesuai di lidahmu,” kataku heran.
“Aku ngalah buat sementara waktu. Nggak apa-apa,” ujarnya tersenyum. Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru laut dengan dasi satin garis-garis biru-putih tersebut lalu mengecup keningku.
Seketika aku lemas rasanya. Mas Hendra, sudah lama sekali dia tidak spontan mengecup keningku begini. Ya, ampun. Betapa senangnya aku!
“Mas, kamu baik banget.” Kupeluk pinggangnya dan kulabuhkan kepala ini ke lengan kokoh milik Mas Hendra. Pria yang memiliki tinggi 173 sentimeter dengan rambut lurus yang selalu dipotong rapi itu pun membalas pelukanku.
“Ah, perasaanmu aja, Ri.”
“Aku beruntung punya kamu, Mas. Jangan tinggalin aku, ya,” pintaku manja.
“Yah, asal kamu pinter-pinter mengambil hatiku, Ri.”
Aku mendadak tegang mendengarnya. Buru-buru kulepas pelukanku dan menatap Mas Hendra agak kesal. “Jadi, kamu punya niatan buat ninggalin aku? Begitu?” 
“Bercanda!” Mas Hendra tertawa sambil mencubit pelan kedua pipiku. Wajahnya gemas menatapku sambil didaratkannya lagi sebuah kecupan di hidung.
“Aku bakalan setia kepadamu, Ri. Sampai mati pun, aku tidak akan meninggalkanmu.”
Aku begitu tersentuh mendengarnya. Mas Hendra, kamu adalah suami impian banyak wanita. Kamu baik, pengertian, dan sukses. Kamu juga setia pastinya. Semoga saja Nadia kelak bisa mendapatkan jodoh lagi. Kalau bisa yang sebaik dan sesukses Mas Hendra. Agar dia bisa hidup jauh lebih bahagia ketimbang saat ini.
***
“Nad, aku turut berduka cita. Maaf, tadi aku sibuk sekali di kantor dan tidak bisa izin buat keluar.” Mas Hendra menjabat tangan Nadia saat kami berkumpul di ruang makan.
Nadia yang matanya masih sembab tersebut mengangguk dan mengulas senyum kecil. “Makasih, Mas Hen,” jawabnya pelan.
“Alexa, betah-betah di sini, ya? Main sama Carissa,” timpal Mas Hendra lagi kepada Alexa yang duduk di seberang kami, bersebelahan dengan sang mama.
“Iya, Om.” Alexa yang sangat ceriwis dan ceria itu mengangguk. Gadis kecil yang memiliki rambut ikal sebahu itu pun langsung ngobrol asyik lagi dengan Carissa yang duduk di sebelahnya.
“Ayo, makan. Silakan Nad, makan sebanyak-banyaknya. Biar dukamu lekas sembuh.” Mas Hendra yang semula berdiri untuk berjabatan tangan dengan sahabatku, kini duduk tepat di sampingku.
Lekas kukaut nasi ke piring untuk Mas Hendra. Kutambahkan pula kuah dan sayuran dari sop yang kami masak sore tadi. Mas Hendra paling suka makan buncis dan wortel. Sop ayam dengan ragam sayuran ini adalah menu favoritnya sejak awal kami menikah.
“Wah, baunya harum sekali. Tumben, Ri, sopmu seharum ini,” kata Mas Hendra saat menghadap ke piring makannya.
“Ini pasti karena Nadia yang bantuin,” timpal suamiku lagi.
Deg! Dadaku seperti menanggung sedikit sesak. Terlebih saat kutoleh ke arah sebelah. Suamiku kini tengah tersenyum menatap ke arah Nadia yang ikut semringah.
“Ih, bisa-bisanya! Aku yang masak tahu!” kataku tak terima sambil menepuk pundak Mas Hendra.
“Auw! Ada yang marah. Iya, deh. Aku percaya.” Mas Hendra tertawa lebar. Dia menggelengkan kepalanya sambil menyuap banyak nasi dan lauk pauknya.
Mas Hendra, aku tahu itu hanya bercanda. Aku juga senang melihat responmu yang sangat positif akan kedatangan Nadia di sini. Namun, mengapa terselip sedikit cemburu? Ah, dasar aku. Sepertinya aku terlalu sensitif karena sebentar lagi akan datang bulan. Hal-hal sepele pun malah bikin aku terpancing. Memalukan!
“Mas, dicicip tempe bacemnya. Ini buatanku.” Nadia tiba-tiba menyorongkan piring berisi tempe bacem ke hadapan Mas Hendra.
“Makasih, Nad. Kamu jangan repot-repot masak ya, besok. Kamu di sini untuk menenangkan diri, bukan buat jadi pembantu. Ingat itu.”
Kulihat, Nadia yang duduk di hadapan suamiku langsung tersenyum manis. Perempuan berambut lurus sebahu itu langsung menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Wajah Nadia tampak merona merah, seperti tengah kemalu-maluan. 
Nadia sedang bahagia ternyata. Syukurlah, pikirku. Dukanya kini tak terlalu kentara. Aku jadi semakin tenang sebab tak lagi melihat air mata bersimbah di wajah ayunya. Semoga kehadirannya di sini bisa menyembuhkan trauma kehilangan itu.
(Bersambung)
Bab
Sinopsis
1
Kata Pengantar
2
Ucapan Persembahan
3
Bagian 1
4
Bagian 2
5
Bagian 3
6
Bagian 4
7
Bagian 5
8
Bagian 6
no_image no_image
9
Bagian 7
no_image no_image
10
Bagian 8
no_image no_image
11
Riri: Hapus Air Mata
no_image
12
Riri: Racun Untuk Gundi...
no_image
13
Riri: Kamu Harus Mender...
no_image
14
Riri: Kurekam Barang Bu...
no_image
15
Riri: CCTV
no_image
16
Riri: PIN ATM
no_image
17
Riri: Kuras Habis
no_image
18
Riri: Kugertak Dia Tanp...
no_image
19
Riri: Serang Si Karpet!
no_image
20
Riri: Hancurkan Mentaln...
no_image
21
Riri: Najis Banget!
no_image
22
Riri: Sobat, Maafkan Ak...
no_image
23
Nadia: Apakah Dia Tahu?
no_image
24
Riri: Pesan Menohok di...
no_image
25
Riri: Bermuka Manis di...
no_image
26
Riri: Dia Tak Tahu Aku...
no_image
27
Riri: Gerimis Hati
no_image
28
Riri: Senjata Makan Tua...
no_image
29
Riri: Dia Memanggil Sua...
no_image
30
Riri: Rahasia Besar
no_image
31
Riri: Kupermalukan Dia
no_image
32
PoV Author: Menghilangn...
no_image
33
Riri: Pasangan Iblis Ya...
no_image
34
Nadia: Hati Retak, Duku...
no_image
35
Riri: Menginjak Harga D...
no_image
36
Riri: Kubuat Jebakan
no_image
37
Riri: Grebek!
no_image
38
Riri: Keputusan Terbera...
no_image
39
Riri: Ketika Dia Menciu...
no_image
40
Riri: Lepaskan Benalu
no_image
41
Riri: Kerasnya Takdir
no_image
42
Riri: Mama
no_image
43
Riri: Kisruh
no_image
44
Riri: Sebuah Kecurigaan
no_image
45
Indri: Kebencian Terhad...
no_image
46
Indri: Kupegang Kartu A...
no_image
47
Indri: Tertangkap Basah
no_image
48
Riri: Hancur Lebur
no_image
49
Riri: Terjungkalnya Pen...
no_image
50
Tama: Kupilih Jalan Ter...
no_image
51
Riri: Pengakuan Sang Ip...
no_image
52
Riri: Maaf dari Mama
no_image
53
Riri: Benci
no_image
54
Riri: Aku Sadar
no_image
55
Riri: Maaf, Bukan Urusa...
no_image
56
Riri: Lelaki Karpet
no_image
57
Riri: Atur Strategi Ula...
no_image
58
Riri: Barang Bukti
no_image
59
Riri: Kegilaan Suamiku
no_image
60
Riri: Kutuntaskan Perla...
no_image
61
Riri: Pakdir dan Lawyer...
no_image
62
Riri: Pria Berwajah Kli...
no_image
63
Riri: Pupus Harapan
no_image
64
Riri: Gono-gini
no_image
65
Si Manipulatif
no_image
66
Sherly: Salahkah Bila K...
no_image
67
Riri: Dusta
no_image
68
Riri: Pecah!
no_image
69
Riri: Pesan dari Chris
no_image
70
Riri: Pembahasan Penuh...
no_image
71
Riri: Mbak Sherly Sayan...
no_image
72
Nadia: Dinginnya Lantai...
no_image
73
Riri: Nahas
no_image
74
Riri: Rencana Bang Tama
no_image
75
Riri: Chris dan Ide-ide...
no_image
76
Riri: Kritik Pedas
no_image
77
Riri: Tangisan Misteriu...
no_image
78
Riri: Permintaan Sintin...
no_image
79
Riri: Mimpi Buruk
no_image
80
Riri: Sengit
no_image
81
Riri: Menguak Fakta
no_image
82
Riri: Azab
no_image
83
Riri: Keluarga Yang Han...
no_image
84
Riri: Eva
no_image
85
Pak Dayu: Maaf Atas Ren...
no_image
86
Riri: Pria Itu Sangat M...
no_image
87
Riri: Panti Asuhan dan...
no_image
88
Riri: Dia Merelakan Seg...
no_image
89
Riri: Pertemuan dengan...
no_image
90
Riri: Mencekam
no_image
91
Riri: Tetes Air Mata
no_image
92
Riri: Kejujuran Itu Men...
no_image
93
Riri: Mami, Pakdir, dan...
no_image
94
Riri: Maaf Darinya
no_image
95
Riri: Muncul Lagi dan L...
no_image
96
Riri: Kehadiran Yang Ta...
no_image
97
Riri: Azab Untuk Lelaki...
no_image
98
Riri: Kutukan
no_image
99
Riri: Ternyata
no_image
100
Riri: Simalakama
no_image
101
Riri: Sungguh Menyebalk...
no_image
102
Riri: Hari Pertama
no_image
103
Riri: Merebut Hati Mama
no_image
104
Riri: Surat Misterius
no_image
105
Riri: Tak Pantas Kupili...
no_image
106
Riri: Gosip Murahan
no_image
107
Riri: Murka Mama
no_image
108
Riri: Surat Sidang Pert...
no_image
109
Riri: Tantangan Untuk C...
no_image
110
Riri: Pengakuan Chris
no_image
111
Riri: Tangis Mas Hendra
no_image
112
Riri: Surat Dari Mas He...
no_image
113
Riri: Tantangan Dari Ch...
no_image
114
Riri: Semua Orang Bahag...
no_image
115
Riri: Apa Maksudnya?
no_image
116
Riri: Ancaman
no_image
117
Riri: Ungkapan Cinta
no_image
118
116
no_image
119
117
no_image
120
118
no_image
121
119
no_image