Keputusan yang Benar
Kamu mau sholat bareng Ibu? Atau kembali tidur dengan berpindah ke kamar saja, Salma?” tanya Ibu setengah berbisik.

Saat aku mengerjap, wanita tua itu sudah dalam posisi berjongkok untuk mensejajarkan posisi dengan putrinya. Tak ada lagi suara Mas Haris di luar pintu. Ke mana dia?
 
“Ahm, ya, Bu. Salma akan sholat bareng Ibu," jawabku parau. Tenggorokan ini masih sakit dan hidung terasa mampet karena terlalu lama menangis, bahkan mata juga terasa berat karena bengkak.
 
Ibuku tersenyum. Miris. Dia mungkin tahu, aku ingin tidur saja hingga lupa akan sakitnya. Namun, bukankah sebaik –baik manusia adalah mereka yang kembali pada Tuhan, dan mengadukan seluruh rasa sakit pada –Nya? Dengan begitu Allah yang menggenggam setiap hati mendengar keinginan sang hamba.

Ingatan mengenai pedihnya hati saat aku mnegucap ingin bercerai kembali muncul perlahan memenuhi pikiran. Disusul rentetan panjang kejadian dari awal aku selalu gelisah, mencari –cari sebab, menemukan suamiku berselingkuh sampai pada akhirnya suami menipukh untuk ke dua kali. Perih, sangat perih.
 
Seharusnya aku tetap tidur, agar tidak merasakan hal menyakitkan ini lagi. Kupegangi dada yang terasa sesak, selagi ke dua kaki berayun bergantian mengikuti langkah lemah wanita tua di depanku.
 
“Ibu ....” panggilku pelan.

Sepelan suaraku, wanita tua itu pun berhenti dan membalik tubuhnya untuk merespon panggilan itu. Aku tidak tahan ingin menceritakan sesuatu. Entah sebuah keinginan atau suatu kesalahan yang membebani hatiku.
 
“Ya?”
 
“Aku ... ehm, aku sudah minta cerai pada Mas Haris.” Aku mengucap dengan bibir bergetar sebab menahan emosi. Sebentar lagi, tangis ini pasti akan meledak, kalau saja aku tidak berusaha keras menahannya juga.
 
Ibu memaku sejenak menatap ke dua mata lawan bicaranya dalam –dalam. Kami berpandangan untuk beberapa waktu. Entah, apa yang ibu baca dari mata ini? Sepasang mata yang terus digenangi air dan berjejalan ingin keluar.
 
Melihat teduh tatapan Ibu, air mataku akhirnya lolos tanpa suara, turun dari mata yang sembab lalu meluncur ke pipi perlahan dan menimbulkan rasa hangat di sana. Melihat itu, ibunya tak kuasa menahan air mata juga. 
 
“Maafkan Salma, Bu.” Melihat tangis Ibu, aku pun memeluk wanita bertubuh ringkih itu erat –erat. “Harusnya Salma mendengarkan Ibu dulu.”

Aku pikir pilihanku pada Mas Haris adalah pilihan tepat, dengan berjuang keras meyakinkan Ibu. Ternyata feeling wanita yang melahirkanku sangat kuat, meski baru terealisasi setelah pernikahan berjalan lebih dari lima belas tahun.
 
“Jangan salahkan dirimu, Salma. Mungkin Ibu yang salah, tidak bisa menjaga hati dan terlalu kolot. Ibumu bukan ibu yang baik hingga bisa bicara hal –hal baik dan berprasangka baik yang bisa menjadi doa baik untuk masa depanmu.” Ibu malah menyalahkan dirinya sendiri.
 
Tangis yang awalnya hanya menetes tanpa suara, malah jadi tangis bersahut –sahutan antara ibu dan anak.
"Kuatlah Salma, Ibu akan mendukung semua keputusanmu."

Tentu saja, ucapan Ibu sangat berarti dan menguatkanku agar tidak goyah dan tetap memilih perceraian.

Terdengar suara dari arah kamar anak -anak. Aku pun seketika menoleh.

"Agni.” Kuperdengarkan panggilan lembut yang membuat Agni mendongak. Aku atau pun Ibu tangisnya sudah reda, dan betapa malu kami ketika melihat Agni berdiri tak jauh dari tempat kami berada.
 
Agni berlari memelukku. “Umi, jangan menangis terus. Pria seperti Abi tidak boleh ditangisi.” Anak itu mengucap dengan tatapan perih. Tampaknya Agni sudah bertekad memisah Umi dan Abinya karena perngkhianatan itu.
 
“Agni janji akan jadi anak yang baik, dan bantu Umi ngurus adik –adik. Agni juga akan mencari pekerjaan agar bisa bantu Umi cari uang. Pokoknya Umi harus tetap cerai sama Abi!” desak Agni yang masih mengoceh di pelukan Ibunya ini.
 
“Hem, masa ... buktikan dulu baru menuntut permintaan,” goda Nenek mengusap punggung Agni.
 
“Iya, Agni janji!" Agni menarik tubuhnya, menatap pada sang nenek dengan tatapan serius. Kelakuan gadis remaja itu membuatku dan neneknya seketika tertawa kecil.

Namun, hal yang membahagiakan bagiku sekarang adalah, bahwa dugaan anak-anak akan menderita karena aku dan Mas Haris bercerai, tampaknya tidak sepenuhnya benar.

Bersambung 

Komentar

Login untuk melihat komentar!