Usai sholat Subuh dan melafalkan wirid, aku menyempatkan memeriksa ponsel. Barang kali ada pesan dari Mas Haris bahwa dia akhirnya menjatuhkan talak meski pun lewat pesan WA. Namun, sebanyak melihat dan membaca pesan –pesan memuakkan dari pria itu, tak ada satu pun kalimat talak untukku.
Yang ada malah Mas Haris mengirim sebuah screenshoot dari percakapannya dengan Inggit, bahwa Inggit mengharapkannya dan Mas Haris telah menolak bahkan menjatuhkan talak pada wanita itu untuk ke dua kalinya. Terlambat, kenapa tidak sedari awal dia melakukan itu, tanpa harus aku meminta lebih dulu. Sekarang sebagian hatiku bahkan telah mati. Dan sama sekali tidak punya keinginan kembali apa pun yang terjadi.
Lelaki jahat itu juga mengirim kalimat –kalimat yang membuat kesal.
[ Percaya sama Abi, ini terakhir kali Abi pergi tanpa bilang –bilang dulu sama, Umi. Bukankah sebenarnya itu satu –satunya kesalahan yang seharusnya masih bisa ditolerir. ]
[ Maaf, Mi. Abi salah sepenuhnya.] Pria itu meralat ucapannya sendiri di pesan berikutnya karena tak kunjung ada respon dari Salma.
[ Abi yakin Umi perlu waktu lebih banyak untuk tenang. Kalau memang itu mah Umi, Abi akan memberikan waktu dengan ridho. Tapi tolong jangan lagi mengungkit masalah perceraian kita. Pikirkan anak -anak. Bagaimana masa depan mereka nanti. ]
Aku tersenyum sinis membaca deretan pesan tersebut. Kenapa baru sekarang kamu memikirkan anak -anak, Mas? Ke mana pikiranmu saat kalo pertama menerima tawaran menikahi Inggit jadi istri ke dua?
“Umi! Kami mau ke Mushola!” seru Abram yang sudah berada di depan pintu kamar dengan pakaian rapi.
“Ah, ya. Nanti sama Ab ....” Ucapanku menggantung, merasa mengucap kata yang salah. Kenapa dengan Abi?
Kuhela napas lalu meralat kalimat itu. Aku pasti hanya belum terbiasa berlama –lama jauh dari Mas Haris. Mengurus anak kami bersama dan berbagi tugas dalam menjaga ketika mereka ada di luar rumah.
“Ahm, ya ... nanti sama kakek, ya. Jangan jauh –jauh dari Kakek dan pulang bareng Kakek. Nggak boleh mampir –mampir!”
“Kenapa sama Kakek, Mi? Di luar ada mobil Abi kok? Abram mau cari Abi aja!” Anak berusia 10 tahun itu langsung pergi, meninggalkan Uminya.
“Abram, tunggu!” panggilku, ingin mengejar, tapi anak itu sudah ke luar disusul adiknya.
“Ya Allah cepat sekali larinya,” keluhku.
Karena kesal, dia jadi ingin memberi pelajaran pada Mas Haris, bagaimana rasanya jauh dari anak –anaknya. Yakin, pria itu pasti akan tersiksa.
Ada notif pesan lain yang belum terbuka. Pesan -pesan itu datang dari Mas Reynand. Tak adil rasanya jika dia yang berjuang keras menguatkan aku sebagai saudari perempuannya, tidak merespon apa pun yang membuat Mas Reynand tenang.
Aku bukannya memberi harapan palsu, atau menggantung perasaan pria itu. Namun, bahkan jika pun diabaikan dia akan tetap berada di sisiku dan mengatakan "Aku tidak perlu balasan, Salma!"
[ Kamu baik -baik saja, kan? ]
Hanya itu? Namun, sebait kalimat tanya itu cukup membuat dua sudut bibir ini terangkat membentuk sebuah senyuman. Hati yang rapuh bertambah kuat. Aku beruntung memiliki Mas Reynand. Walau bukan kakak kandung dia tulis menyayangiku sebagai adiknya.
Ah, andai kita enggak sepupuan, Mas. Aku pasti akan menerima lamaran darimu dulu. Karena satu -satunya alasan aku menolak Mas Reynand, karena kita adalah sepupu. Aku takut saat menjadi istrinya dan sikapnya akan berubah. Cinta dan kasih sayang yang sebelumnya ia tunjukkan sebagai kakak, ketika nanti menikah dan ternyata jodoh kami terputus, aku bukan hanya takut kehilangan suami, tapi juga akan kehilangan kakakku. Pasti rasa sakitnya akan berkali-kali.
[ Aku baik-baik saja, Mas. Tenang saja. Mungkin aku nangis, tapi aku yakin ini adalah tangisan yang nantinya akan membawaku pada banyak kebaikan. Aku tahu Mas Reynand juga marah. Tapi tolong bersabar untuk perempuan yang sering menempatkan Mas Reynand dalam kesulitan ini. Aku janji akan menyelesaikannya, dan membuat keluarga yang mencintaiku tidak akan ikut terluka lagi. ]
Kukirim pesan balasan itu. Jika dilihat dari kacamata biasa, aku pasti dianggap perempuan tak tahu diri. Mengabaikan pesan sang suami, dan merespon pesan pria lain.
Tak lama, Mas Reynand kembali membalas pesanku. Hei, apa dia tidak ke Mushola? Atau sudah pulang duluan?
[ Bener, janji, ya. Kamu tahu aku benci melihatmu menangis, Salma. ]
Subhanallah, kenapa pesan dari pria itu membuatku trenyuh sekarang? Aku belum pernah mendengar Mas Haris mengucap atau sekadar menulis kalimat seindah ini padaku.
Bersambung.....