Aku menghampiri suamiku yang sedang duduk santai di depan tivi.
"Mas … kenapa tidak menikah lagi?" Dadaku terasa sesak mengatakannya. Tapi bagaimana lagi, hingga saat ini aku belum mampu memberikan keturunan untuk suamiku. Dua belas tahun sudah pernikahan ini berjalan, tapi aku masih belum bisa memberi anak untuk Mas Danang.
"Kamu ini ngomong apa, Dek?" tanyanya dengan menyentuh lembut wajahku.
"Aku ingin, Mas menikah lagi supaya bisa memiliki seorang anak," ucapku lirih.
"Mas, tidak mau melakukannya, Dek. Kita bisa mengadopsi anak dari panti asuhan."
Aku terdiam sejenak, bulir air mata mulai terjatuh membasahi pipi. Mas Danang sangat baik, dia tidak pernah melukai atau menyakiti perasaanku. Sudah banyak cara kami lakukan supaya aku bisa hamil. Tapi semua sia- sia belaka. Hingga pada akhirnya aku cek ke dokter dan memang aku di vonis tidak bisa hamil, berarti selama ini Mas Danang normal dan aku yang bermasalah. Jangan tanyakan bagaimana perasaanku, sakit … sekali … rasanya. Belum lagi omongan tetangga yang selalu menjudge aku mandul. Sempat beberapa kali ada tetangga yang menyuruh ibu mertua untuk menikahkan Mas Danang dengan gadis pilihan mereka. Bahkan tidak segan mereka mengucapkannya di depan wajahku. Aku minder, aku malu, tekadku mencari madu untuk Mas Danang semakin kuat.
"Dek, kenapa melamun?" ucapnya sambil menepuk punggungku.
"Gak apa-apa, Mas. Masa kita adopsi anak dari panti, sedangkan ibu juga ingin memiliki cucu kandung sendiri," kilahku.
"Apa kamu lupa dengan ucapanku dulu? Aku tidak akan meninggalkan atau menduakanmu sekalipun kamu mandul, Dek," ucapnya.
"Menikahlah, Mas. Atau tinggalkan saja aku. Aku tidak pantas untukmu," lirihku.
"Jangan berucap sedemikian, aku sangat mencintaimu, Dek." Mas Danang meneteskan air mata, merengkuh dan menarik tubuhku kepelukannya.
"Sabar, vonis dokter bisa saja salah," ucapnya mencium lembut keningku.
Aku bisa apa selain memohon pada yang maha kuasa, mengadukan nasibku, nasib ingin menjadi seorang ibu. Kekayaan, keharmonisan rumah tangga, mertua yang baik sudah aku dapatkan. Hanya anak yang belum bisa kudapat.
Tidak seperti biasanya, ibu datang dengan wajah muram, terutama ketika menatap wajahku. Aku berfikir pasti ibu mendapat omongan yang tidak baik dari temannya. Iya ibu habis pergi ke rumah temannya berkumpul dalam acara arisan bulanan.
"Mas masuk ke kamar dulu ya, Dek," ucap Mas Danang.
"Iya, Mas. Aku mau menghampri ibu, nanti aku menyusul."
Mas Danang sudah beranjak ke kamar. Aku menghampiri ibu.
"Bu …," ucapku sambil mengetuk pintu.
"Masuk, Ratih. Tidak di kunci!" sahut Ibu dari dalam.
Kaki ini melangkah dengan berat hati, ku lihat Ibu sedang menangis. Takut- takut aku menghampiri dan bertanya.
"Kenapa, Ibu menangis?"
"Ibu malu, Ratih. Tadi teman-teman ibu, mereka membahas cucu-cucunya. Lalu mereka memandang Ibu dan bertanya kenapa sampai sekarang masih belum punya cucu? Mandul ya menantumu! Ibu sedih, tapi harus bagaimana?" Setelah Ibu bercerita kami hanya terdiam, suasana menjadi hening sejenak.
"Bagaimana, kalau Ibu carikan Danang istri kedua?" cetus Ibu.
"Apa kamu keberatan? Kata dokter kamu tidak bisa mengandung, berarti benar kata teman-teman Ibu, kalau kamu mandul. Tidak berdosa seorang lelaki menikah lagi kalau istrinya tidak bisa memberi keturunan, jadi Danang tidak menyakiti kamu kan, Ratih?" ucap Ibu penuh permohonan. Ucapan Ibu bagai pedang yang menusuk hati terdalam. Aku terdiam, air mata yang hampir jatuh kutahan.
"Kalau kamu setuju, biar Ibu yang bilang ke Danang," lanjut Ibu.
Dengan tabah aku menjawab, "Iya, Ibu. Aku setuju," jawabku dengan bibir terukir senyum.
'Ya, Robb … sakit sekali. Tidakah ada keajaiban untukku." Tik … air mata tidak bisa lagi tertahan, dia tumpah dengan sendirinya.
"Kenapa menangis, Ratih?" tanya Ibu.
"Aku hanya sedikit terharu, Bu." Aku mencoba menyembunyikan rasa sakit ini.
"Kamu memang menantu ibu yang baik. Ibu sudah ada calonnya, dia anak dari teman Ibu. Gadis yang baik ramah dan penyayang," ungkap Ibu penuh semangat.
"Kalau begitu kenalkan saja secepatnya pada Mas Danang, Bu." ucapku tak kalah semangat. Walau sebenarnya sakit. Tapi aku bisa apa? Aku bukan wanita sempurna. Aku hanya percaya, Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Jika memang jalan takdir seperti ini, berarti aku mampu melaluinya. Aku tidak sendiri, aku tidak boleh sedih, aku harus kuat. Allah di dekatku. Allah selalu menemaniku. Bismillah, aku meridohi jika memang suamiku harus menikah lagi dengan wanita kedua pilihan Ibuku. Semoga aku bisa ikhlas menerimanya. "Bismillah, bismillah, bismillah," lirihku.
***
"Kamu beristirahatlah, Ratih. Sudah malam! Besok Ibu akan memberi tahu Danang."
"Baik, Bu. Ratih ke kamar dulu." Aku mencium tangan Ibu, dan berlalu.
***
Sampai di kamar, suamiku sudah tertidur pulas. Aku tersenyum dan menyentuh lembut wajahnya.
"Sebentar lagi cintamu kau bagi dua, Mas. Entah aku akan kuat atau tidak. Tapi aku akan mencobanya, dan aku berharap, aku kuat."
Aku berbaring di sampingnya, mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa. Perasaan takut akan kehilangan cinta darinya mulai sedikit menghantui. Aku sendiri bingung dengan perasaan ini, sebentar-bentar merasa takut, sebentar-bentar merasa ikhlas. Aku bimbang, kuputuskan untuk shalat malam mencari jawaban atas kebimbanganku.
Bagaimana keputusanku nantinya?