POV Danang.
Gadis yatim piatu itu mungkin kini hatinya telah hancur. Bagaimana tidak, secara tidak langsung aku telah menyakitinya. Sebetulnya malam itu juga, aku ingin menceritakan secara perlahan kepadanya. Tapi, entah mulutku tak sampai hati untuk memberitahunya. Walaupun aku tau Ratih akan mengetahuinya juga. Sakit .... jangan di tanya lagi ... perih ... sangat perih yang aku rasakan. Mungkin jika luka di dalam hati dapat terlihat, Luka itu akan tampak seperti kulit yang terkena sayatan silet tajam dibeberapa bagian. Sangat perih bukan? Semua sudah terlanjur, aku tidak punya pilihan, entah egois atau tidak, yang kutahu aku juga sangat menyayangi ibuku. Aku tidak bisa melihatnya meneteskan air mata. Memang ini adalah pilihan yang sulit. Jujur dari hati terdalam aku tidak sama sekali mencintai wanita pilihan Ibuku. Maka di malam pertamaku dengan Saras, Kuhabiskan untuk tidur di kamar kami. Ya kamar aku dan Ratih. Aku bimbang jika diharuskan untuk memilih diantara Ibu dan istri. Itu adalah pilihan yang sulit. Maka kuputuskan mengambil tindakan ini. Di depan mataku sendiri Ibu menangis karena ucapan teman-teman arisannya, beberapa ibu-ibu menyindirnya secara halus. Di situ hatiku rapuh dan menyetujui keinginan Ibu. Hari itu juga Ibu dan aku langsung mendatangi rumah Saras. Pernikahan dilakukan secara mendadak tanpa ada persiapan apapun. Saras juga tidak merasa keberatan. Orang tua Saras juga menyetujui. Entah apa yang mereka inginkan, kenpa mau menikahkan putri semata wayangnya sesederhana ini, bahkan tidak ada pesta apapun hanya beberapa keluarga yang menghadiri. Lalu, hari itu juga Saras ikut kami pulang ke rumah.
________******_________
Aku melihat kerapuhannya tadi pagi, aku tau Ratih pasti sangat terluka, bukan aku tidak mau menenangkannya, hanya saja aku malu dengan diriku sendiri. Aku malu telah mengingkari janji untuk menjadikannya istri satu-satunya. Maafkan aku telah menghancurkan perasanmu, tapi aku tidak akan menghancurkan cinta suci kita Ratih. Aku berjanji tidak akan menyentuh Saras. Aku telah melakukan kesepakatan dengannya, bahwa aku menikahinya hanya karena demi Ibu. Syukur Saras mau mengerti dan menyetujuinya. Jelaw Ibu tidak boleh tahu soal ini. Aku tetap memiliki keyakinan pada Istriku bahwa dia akan menjadi seorang Ibu. Aku tidka tahu apa yang aku lakukan ini salah atau benar. Biarkan saja waktu berjalan seperti air yang mengalir, akan kuiluti terus alurnya sampai di titik pemberhentian. Aku masih bingung harus mulai darimana aku menjelaskannya pada Ratih. Aku yakin pasti dia sedang diam di kamar dan menangis sepanjang hari. Meratapi kepiluan mendambakan sang buah hati.
_________****_________________
"Permisi, Pak," ucap sekretarisku.
"Maaf saya lancang, dari tadi saya sudah mengetuk pintu, tapi Pak Danang tidak mejawabnya, jadi saya putuskan langsung masuk, Pak," ucapnya menunduk takut.
"Tidak apa-apa. Ada apa?" tanyaku.
"Bapa harus menandatangani berkas kerja sama ini, Pak."
Aku mengambil berkas itu dan menandatanganinya. Kemudian, aku melanjutkan lagi pekerjaanku dari tadi aku larut dalam lamunan seorang Ratih.
________________
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, waktunya pulang ke rumah, tapi rasanya kaki ini berat untuk melangkah. Aku masih enggan melihat wajah Ratih. Aku merasa sakit melihat kesedihannya. Tapi rasa rindu akan dirinya begitu tak tertahan, aku sangat merindukannya. Kulangkahkan juga kaki ini untuk keluar.
____****_______
Sampai di rumah, kulihat Ibu sedang asyik mengobrol dengan Saras. Tidak terlihat Ratih diantara mereka. Oh istriku mungkinkah kamu menyendiri.
"Bu, dimana Ratih?" tanyaku.
"Ada di kamarnya," ucap Ibu. Aku langsung saja menuju kamar Ratih tanpa menyapa Saras. Ibu sedikit tidak suka dengan sikapku yang cuek terhadap Saras.
Ratih sedang tertidur ketika aku masuk ke kamarnya. Mau maghrib kok tidur.
"Hey ... bangun, Sayang," ucapku lembut.
Ratih masih belum menjawab. Sekali lagi aku mencoba membangunkannya.
"Dek ... bangun. Mau maghrib."
"Hem ...." Perlahan Ratih mulai membuka matanya, matanya bengkak, mungkin dia menangis seharian. Sungguh sangat miris melihat keterpurukannya.
"Sudah makan?" tanyaku. Karena kulihat dia sangat lemas. Ratih hanya menggelengkan kepalanya. Secepat kilat aku pergi ke dapur untuk mengambilkanya makanan. Ibu masih duduk hangat bersama Saras.
___________****_______
"Makanan untuk siapa?" cetus Ibu.
"Ratih, Bu."
"Kaya ratu aja! Seharusnya tu dia yang melayani kamu!" triak Ibu. Aku hanya melewatinya dan tidak ingin berdebat dengannya. Saras sendiri tidak banyak berbicara denganku.
Sesegera mungkin aku duduk di samping Ratih dan menyuapinya.
Ketika tangan ini hendak memasukan makanan ke mulut mungilnya, secepat kilat tangan itu menghentikan tanganku.
Aku terus memaksanya untuk menyuapinya.
Dengan cucuran air mata dia mulai membuka mulutnya, perih sekali hati ini melihatnya. Aku juga belum makan sedari tadi. Entah apa mungkin dia mengetahui isi hatiku, diambilnya makanan itu dari tanganku, kemudian dia mulai menyuapiku. Rasa hening di antara kami tercipta. Kami saling menyuapi tidak terasa air mataku ikut terjatuh. Seketika piring dia letakan dan memelukku. Tangis kesakitan kami pecah dalam pelukan. Aku mencintainya ....