Seperti biasa aku terbangun dua puluh menit sebelum shalat subuh. Kutatap wajah seorang imam yang baik, imam yang sempurna, imam yang tidak pernah memaksaku untuk memiliki seorang anak.
Wajahnya terlihat sangat lusuh. Tapi kenapa dia memakai celana panjang hitam. Bukankah dia memakai celana pendek? Lantas dimana pakaian kotor bekas dia pakai? Biasanya dia letakan di keranjang pakaian kotor.
****
Azan subuh berkumandang, aku membangunkannya untuk shalat. Seperti biasa aku juga membangunkan Ibu. Kami terbiasa shalat berjamaah, Mas Danang yang akan menjadi imam. Kedua pekerja di rumah kami juga selalu ikut shalat berjamaah. Tidak ada jarak antara kami, tidak ada kata saya bos kamu pembantu. Kami sama, sama-sama manusia dan harus saling menghargai. Kami membutuhkan tenaganya, mereka membutuhkan uang kami. Kami makan di tempat yang sama dalam satu meja.
****
Selepas shalat subuh Mas Danang tidak seperti biasanya, dia masih asyik bersujud memohon pada Allah. Entah apa yang dipintanya, dia terlihat sangat khusyu. Aku beranjak lebih dulu karena tidak ingin mengganggunya. Benar-benar dari semalam sikapnya sangat aneh.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Mas Danang masih saja belum keluar dari kamar, biasanya dia sudah berada di meja makan untuk sarapan. Kulihat Ibu sedang duduk di ruang tivi sambil membaca majalah terbarunya.
'Hemmm ... kenapa tidak bertanya pada ibu' Aku menghampri Ibu dan duduk di sampingnya.
"Ibu ... " sapaku.
"Hem ... " jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
"Ibu, kemaren kalian darimana saja? Mas Danang juga sangat berbeda."
"Memang Danang tidak cerita?"
Aku hanya menggeleng. Karena memang Mas Danang tidak berbicara apapun.
"Ratih, maafkan Ibu, kalau memang menurutmu Ibu egois," terangnya. Ada apa ini kenapa perasaanku sedikit tidak enak.
"Ada apa, Bu?" Sungguh debaran hati ini berubah cepat dan menjadi sangat cepat.
"Dengar Ibu." Ibu mendekat padaku dan memegang pipiku dengan kedua tangannya, lalu, Ibu di hadapkannnya wajahku ke wajahnya.
"Ratih .... lihat Ibu, tatap wajah Ibu." Ada apa ini Bu sebenrnya.
"Ayok, Bu. katakan apa yang ingin Ibu katakan. Jangan buat aku semakin penasaran ...."
"Ibu, sudah tua Ratih, Ibu sudah ingin menimang cucu, Ibu sudah mulai penyakitan. Salahkah Ibu memaksa anak Ibu untuk menikahi wanita sempurna?" ucapnya.
"Lalu?"
"Ibu memaksa Danang untuk menikahi Saras."
Suasan menjadi sunyi!
Lemas!
Runtuh sudah pertahananku.
'Hati ini sakit, Ya Allah' Ketika membayangkannya saja sudah sangat mengerikan, ternyata kenyataan ini sangat menyakitkan.
"Ratih." Ibu menepuk pundaku menenangkannya.
Aku tidak dapat mengucap apapun atau bahkan untuk membela diriku sendiri. Aku memang wanita tidak sempurna, meski kadang aku yakin walaupun di vonis mandul tetap bisa mempunyai keturunan, karena tidak ada yang tidak mungkin bagi sang pencipta.
"Kenapa Ibu dan Mas Danang tidak meminta ijin padaku? Bukankah izinku juga diperlukan?" kesalku pada Ibu.
"Ratih .... " Mas Danang memelukku dari belakang.
"Maafkan aku, Ratih." Aku tidak menjawabnya. Kemudian Mas Danang menarik tubuhku kehadapanya. Dia bersimpuh di bawah kakiku meminta maaf, menyesali apa yang telah dia lakukan padaku. Dia mengingkari janjinya untuk tidak menikah lagi. Tapi aku bisa apa? Posisinya aku tidak bisa memberinya anak. Jadi aku tidak dapat memberontak.
"Aku terpaksa melakukannya. Posisiku bingung jika harus memilih diantara kalian. Ibu memberiku sebuah pilihan, Menikah lagi, atau melihat Ibu cepat mati," ucapnya sambil melirik kearah Ibu.
"Siapa aku untukmu, cintaku berhargakah bagimu? Aku mungkin bukan istimewa, bukan juga yang terindah, tapi aku punya rasa dan hati yang lemah."
Aku melangkah lunglai ke kamarku.
"Ada apa ini pagi-pagi begini sudah berkumpul?" Suara serak seorang wanita yang pernah kudengar menghentikan tapakan langkahku. Lalu aku menoleh kesumber suara itu.
"Saras ...." Dia muncul dengan pakaian kantornya.
"Iya, Ratih. Jangan kaget gitu, nanti kita akan lebih sering lagi bertemu."
"Jadi kamu tinggal di rumah ini?" kagetku. Dia tidak menjawab hanya menyeringai sinis. Angkuh sekali wanita ini.
"Iya, Ratih. Ini rumah Ibu, Ibu yang menyuruh Saras tinggal di sini. lagipula dia juga kan istri Danang sekarang." Ibu tidak perlu mengingatkan akan setatusnya aku sudah tau.
"Ooww begitu. Selamat datang maduku." Kulanjutkan langkahku ke kamar.
****
Hari ini ... aku menangis tanpa henti, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Aku takut dia tidak mencintaiku seperti dulu. Semua pikiran jelek tiba-tiba berseliweran di otakku.
Tapi aku tidak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.
Aku harus sadar diri. Mas, sebenarnya aku tidak mau diduakan olehmu. Mas, aku masih tidak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku .... Engkau Maha Adil .... Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah ... Jadikan aku seorang Ibu, Ya Allah.
****
Krek ... Mas Danang masuk ke kamarku. Eh kamar kami. Dengan cepat aku mengusap rintikkan air mata yang membasahi pipi. Apa yang kiranya ada di pikiranmu sekarang Mas. Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu? Atau sebaliknya? Ceritakan kepadaku isi hatimu yang sesungguhnya Mas. Sejujurnya aku sangat cemburu kepada Saras.
****
Mas Danang tidak menyapaku, dia hanya mengambil jas dan tas kantornya kemudian beranjak. Kenapa rasanya sesakit ini. Aku juga tidak menegurnya, aku masih belum siap memulai obrolan. Lirik aku Mas, lihat wajahku, mataku sembab, apa kau tidak iba melihatku?
Sia-sia dia berlalu begitu saja kemudian kembali menutup pintu.