POV Saras
Pernikahan macam apa seperti ini. sudah seminggu aku menjadi istrinya, tapi masih tidak dianggap? Keterlaluan. Halah bagaimana cara aku untuk bisa membuatnya meniduriku? Bodohnya aku kenapa mau saja menerima kesepakatan darinya. Aku menikahinya juga karena aku membutuhkannya. Bagaimana dengan bayi dalam perutku kalau seperti ini. Semakin hari, kandunganku pasti akan semakin membesar, tapi kalau Danang saja tidak menyentuhku, bagaimana aku bisa hamil. Bisa lebih parah aibku nanti. Kalau bukan karena bayi ini juga aku ogah jadi istrinya. Hih apalagi istri yang tak dianggap seperti ini. Aku harus mencari cara suapaya Danang mau menyentuhku. Aku harus mendekatkan diri pada Ratih. Siapa tahu dia akan membujuk Danang supaya bermalam di kamarku. Lagi pula Ratih wanita solehah dan mengerti tentang agama. Jadi, jika aku mengingatnya akan nafkah seorang istri, dia pasti akan berfikir suaminya itu salah. Dimas memang sialan! Habis manis sepah di buang. Laki-laki itu kebanyakan bulshit. Seribu satu yang mau bertanggung jawab. Aku yakin Danang yang sok suci itu juga lambat laun akan masuk ke dalam jebakanku. Aku bukannya jahat, tolong yang mengenalku, jangan berfikir aku jahat karena mau menjadi istri kedua. Aku membutuhkan Danang untuk menjadi ayah dari anakku. Ibu Danang juga menginginkan cucu. simbosis mutualisme bukan?
____________*****________________
Ratih sedang sibuk menyiram tanaman favoritnya, aku mulai mendekati dan mengajaknya berbicara.
"Ratih ... kamu sibuk?" Aku memang Sudi memanggilnya Mba, Lagipula usiaku terlihat lebih tua darinya.
"Ada apa?" jawabnya sedikit jutek.
"Aku mau bicara sama kamu," ucapku.
"Kenpa Mas Danang tidak pernah bermalam di kamarku? Bukankah aku juga memiliki hak yang sama denganmu?"
"Aku tidak tahu, Saras. Itu urusan Mas Danang. Aku tidak berhak untuk menyuruhnya bermalam di kamarmu! Aku hanya harus patuh dengannya," ucapnya tegas.
"Kalau begitu aku sebaiknya bilang pada Ibu, kalau Mas Danang setiap malam pindah ke kamarmu setelah Ibu tidur. Bagaimana?" Nadaku terdengar mengancam. Ratih tidak menjawab mungkin dia bingung. Itu dia kelemahan Ratih, mengingatkan kalau dia itu mandul.
****
"Kenapa diam? Kau yang akan menyuruh Mas Danang bermalam di kamarku, atau aku memberi tahu Ibu?" Sekali lagi aku memberi pilihan yang bernada ancaman.
"Nanti akan kucoba bicara dengan Mas Danang," jawabnya setelah agak lama terdiam. Dengan penuh kemenangan aku masuk kedalam meninggalkan Ratih yang masih sibuk dengan tanamannya. Aku tidak dapat membayangkan jika aku berada di posisinya, pasti rasanya sangat sakit. Tapi bagaimanapun lagi, Ratih. Maafkan aku, aku benar-benar membutuhkan suamimu untuk menutup aibku. Kalau tidak mana mau aku dinikahkan secara sederhana. Aku juga mau dirias cantik seperti pengantin pada umumnya. Tapi apalah daya, kehamilanku sebelum menikah, merenggut impianku. Menjadi pengantin dan ratu tercantik dalam sehari hanyalah sebuah angan. Nyatanya, ternyata takdirku menikah karena keterpaksaan dan sangat tertutup.
_________***___________
Dari balik jendela aku memperhatikan Ratih yang masih sibuk dengan tanamannya. Tatapannya kosong, seperti banyak hal yang di pikirkan olehnya. Apakah dia memikirkan ucapanku tadi?
Kasian juga melihatnya seperti itu. Aku yang ditinggalkan Dimas saja merasa sakit. Apalagi dia yang harus memberikan suaminya untuk wanita lain, apalagi suami sempurna seperti Mas Danang. Yang lebih menyakitkan, wanita itu pilihan Ibu mertuanya karena dia mandul. Sudah persis seperti di dalam dunia perfilman.
*****______*****
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sudah waktunya tidur bukan, aku sengaja merapikan tempat tidur dan menyemprotkannya parfum aroma lavender. Wangi sekali .... tidak lupa aku memoles wajahku dengan make-up tipis dan memakai dres tidur yang tipis sehingga mampu memperlihatkan lekuk tubuhku. Kemudian aku menyemprotkan parfum ke area tertentu seperti leher dan pergelangan tangan. Aku sudah siap menyambut kedatangan Mas Danang malam ini. Aku yakin dia akan datang.
Aku harus cepat melakukannya, aku berdiri di depan cermin, kulihat perutku sudah sedikit membesar. Perasaan takut dan was-was mulai menyeruak dalam hati.
_____*****______
'Lama sekali, Mas Danang' Aku sudah mulai lelah menunggunya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh WiB. Apa Ratih tidak berbicara pada Mas Danang. Sepertinya dia ingin bermain-main denganku. Awas kamu Ratih! Kamu pikir menunggu itu tidak membosankan. Aku sangat gelisah dan tidak bisa diam ... berulang kali aku melihat jam dinding tapi hanya dengusan kecewa yang dapat kukeluarkan. Hah .... sial.
Jika sampai pukul sebelas malam Danang tidak datang ke kamarku, maka aku akan mengadu pada Ibu mertua. Enak saja kalian. Aku sudah berbuat baik malah seperti itu. Meski ragaku ada di tempat tidur ini sambil bermain ponsel, tetap saja otakku memikirkan Mas Danang. Rasa kesal, rasa marah, rasa benci ingin memaki menjadi satu. Ingin rasanya aku berteriak memanggil nama Danang dan memakainya. Sayang ... aku hanya wanita kedua yang tidak punya cukup banyak ruang untuk gerak. Alhasil aku hanya bisa mengumpat di dalam hati. Sekali lagi aku menengok jam dinding yang menempel manis di tembok kamar. Rasa kesal dan emosi benar-benar ingin kuluapkan rasanya. Keterlaluan kamu, Mas. Kamu benar-benar tidak datang ke kamarku. Atau jangan-jangan memang Ratih tidak memberi tahu Mas Danang. Entahlah.
***
Dengan kesal, aku mencuci wajah bekas make-up kemudian beranjak tidur.
Login untuk melihat komentar!