Bagaian 7
Pagi ini pikiranku sedang berkecamuk. Bagaimana tidak, aku sudah menyuruh Mas Danang untuk pergi ke kamar Saras. Tetap saja Mas Danang menolak. Entah bagaimana tanggapan Sarah nanti.

****

Aku menatap kearahnya yang masih terlelap. Mungkin dia lelah setiap hari harus bangun pagi untuk bekerja. Walaupun dia pemilik perusahaan, tetap saja otaknya terus bekerja. Aku membiarkan dan tidak berniat untuk membangunkannya.

****___****___

Rasa sedih akan pernikahan Mas Danang dan Saras masih menyisakan luka tersendiri, walau dengan alasan apapun tetap saja seorang istri tidak ingin ada perempuan lain dihidup suaminya. Apalagi Saras sudah berkata seperti itu, tidak menutup kemungkinan jika mereka akan melakukannya dengan dalil nafkah batin. Lalu apa yang harus aku lakukan? Kesalahan memang ada pada diriku, aku belum mampu memberikan seorang anak.
Ikhlas ... Ikhlas ...Ikhlas ... Ya Allah.
Bismillah.

 Untuk menghilangkan kepenatan, aku pergi ke taman rumah. Di sanalah tempat yang nyaman untuk merenung. 

****
Kutatap semua tanaman yang tumbuh subur, karena aku merawatnya dengan penuh cinta.

Andai aku sesubur mawar-mawar ini, pasti hidupku sangat sempurna. Sekilas aku menatap langit teringat akan wajah Ayah dan Ibu. 
****

Suasana di luar sangat dingin, langit sangat gelap, sepertinya hujan akan segera turun. Saat kaki hendak masuk ke dalam rumah, Ibu memanggilku. Dia datang membawa tas bersama Mang Asep dan Mba Jum pekerja di rumah ini.

"Ratih ... ayok kamu ikut kami berlibur ke puncak," pintanya.

"Mas Danang dan Saras bagaimana?" tanyaku pada Ibu.

"Kamu gak mengerti maksud Ibu, Ratih.? Kita tinggali saja mereka. Supaya mereka bisa menghabiskan waktu berdua. Ibu ingin segera memiliki cucu. Kalau begini bagaimana mungkin Ibu bisa dapat cucu. Lagi pula kamu melarang Danang untuk tidur di kamar Saras! Kelewatan kamu!" cerca Ibu.

"Aku tidak melarang Mas Danang, Bu." 

"Ya sudah. Apapun alasannya, pokoknya kamu ikut Ibu. Pakaian kamu beli saja nanti di toko baju."

"Tapi biarkan Ratih, pamit sama Mas Danang, Bu," ujarku.

"Tidak perlu! Ibu sudah meminta ijin pada Danang. Dan Danang mengijinkan." 
Ibu menarik tanganku ke mobil, akupun mengikuti langkahnya. Hatiku menangis tapi aku hanya bisa pasrah.
***

Pukul lima sore kami sampai di puncak. Udara di sini sangat dingin, rintik hujan mulai berjatuhan. Mereka hanya berdua dengan kondisi suasana yang sangat mendukung. 

Entahlah, pikiranku penuh nama Mas Danang dan Saras. Apa yang mereka lakukan. Akankah mereka melakukannya. Kutatap layar ponsel berharap Mas Danang akan menghubungiku. Langit semakin gelap dan hujan sudah mulai deras. Kali pertama aku bermalam tanpa Mas Danang. Rasanya ada yang berbeda, hatiku gelisah, aku terbiasa tidur memeluknya.

"Ratih ... jangan hubungi Danang. Jangan kamu ganggu dia," ucap Ibu yang mengagetkanku dari lamunan.
Aku tidak menjawab apapun, hanya anggukan kepala. Layar tivi menyala tapi pikiranku berada di rumah. Aku berharap Mas Danang menghubungiku. 

Dert .... dert .... dert .... ponselku bergetar, sekilas Ibu yang duduk di sampingku, ikut melirik ke layar ponsel, setelah ibu melihat nama yang tercantum, aku tidak boleh mengangkatnya.
Panggilan itu dari suamiku Mas Danang. Aku tidak dapat membayangkan. Pikiranku menerka-nerka. Nanti kalau Mas Danang di buatkan kopi dan di goda oleh Saras, tidak mungkin dia dapat menolak.  Sepintas ucapan Saras mulai mempengaruhi otakku. 

Sadar diri Ratih! Saras juga istrinya! Jangn egois, ingat bukankah kau juga yang menginginkan Mas Danang menikah lagi. Terima saja nasibmu Ratih! ....
Hah ...  aku mencoba untuk kuat dan ikhlas aku sudah ikhlas kalau memang ini benar terjadi. Masih syukur aku tidak di ceraikannya. Pesimis otakku berfikir seperti itu.

"Ratih! Jangan bengong! Udah gak usah di pikirin! Lagian kamu mau Danang berdosa tidak menafkahi Sarah!" cetus Ibu.
Kalau saja kamu bisa kasih Ibu cucu, Ibu gak bakal nyuruh Danang menikahi Saras. Danang anak saya satu-satunya, kalau dia tidak punya anak, siapa yang akan melanjutkan perusahaan, Ratih. Kamu jangan egois! Sadar diri kamu itu gak sempurna! Kamu tau apa itu mandul kan? Dan perempuan mandul harus rela melihat suaminya menikah lagi. Belum tentu ada laki-laki lain yang mau sama kamu!" maki Ibu. Semenjak kedatangan Saras dalam hidup kami, Ibu jadi terlihat berbeda, sering berucap kasar dan dari raut wajahnya seperti mulai membenciku. Aku dapat merasakan dari sikapnya yang tidak selembut dulu.

"Ibu, Ratih memang bukan wanita sempurna. Tapi jangan perlakukan Ratih semena-mena. Lihatlah sedikit dariku, Bu. Lihatlah pengorbananku yang pernah aku lakukan untukmu, Bu. Saat Ibu sakit parah, bukankah aku merawat Ibu dengan cinta? Ibu tidak dapat bergerak, Ibu hanya berada di kursi roda. Ingat waktu Ibu nekat keluar rumah sendiri, Ibu hampir tertabrak mobil, aku yang menyelamatkan Ibu. Hingga perutku mengalami benturan hebat karena kursi roda ibu dan ibu jatuh tepat menindihku Bu? Ibu lupa? Mungkin saja itu bisa jadi penyebab aku tidak punya anak? Walau tidak bernilai di matamu, tapi setidaknya aku pernah berkorban untukmu. Walaupun aku tidak sesempurna wanita lain, tapi aku mohon, jangan pernah rendahkan aku setiap kali membahas wanita lain. Aku sangat sedih Bu. Taukah Ibu apa yang kurasakan selama ini? Suatu saat mungkin aku akan pergi jauh, jauh dari kehidupannya Mas Danang dan Ibu. Maaf, Bu, bukan Ratih mengungkit bakti Ratih pada ibu." Aku yang sudah tidak tahan dengan berani menjawab ucapan ibu yang terdengar sangat menyakitkan. Ibu hanya diam seribu bahasa, Aku meninggalkannya ke kamar.
***

Flash to back

Ya, dulu waktu awal awal pernikahan dengan Mas Danang, Ibu Mas Danang mengalami setruk, bahkan buang kotoran semua dalam pampers. Aku yang mengurusnya karena tidak ada baby sitter atau Art yang betah mengurus Ibu. Ibu terlalu bawel. Sempat ketika aku sedang menyiapkan makanan untuknya, Ibu pergi keluar rumah tanpa aku. Aku panik dan mencarinya, saat kulihat keluar, Ibu hendak menyebrang ke taman komplek, dan saat itu pula kulihat mobil sedang kehilangan keseimbangan, aku yang panik segera menjatuhkan makanan dan berlari mengejar Ibu. Aku dapat menarik kursi roda Ibu, tapi na'as kakiku mengijak pecahan botol beling cukup tajam karena aku memakai sandal tipis rumahan, beling itu menancap dalam di telapak kakiku, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh, Hingga kursi roda Ibu ikut terbalik bersama ibu dan menindihku. Sedangkan mobil yang kehilangan keseimbangan menabrak tiang listrik tepat di samping Ibu. Ternyata pengendara itu sedang berlatih membawa mobil, tapi bukan menginjak rem justru menginjak pedal gas. Aku tahu ketika pengemudinya turun dan meminta maaf. 
Kalau saja aku tidak datang tepat waktu, mungkin Ibu sudah tiada. 
****
Maaf, Bu. Bukan aku berniat mengungkit.
 


Komentar

Login untuk melihat komentar!