Awal mula
Miranda terkejut saat bosnya memanggil, pasalnya sang bos yang tipikal seenak jidatnya dalam bersikap kini memanggil dan bertanya seolah-olah dia ini bukan dirinya yang asli."Apa loe yakin dengan ucapanmu barusan?!". Tanya Miranda yang keheranan.
"Ck...loe tahu kan gue kayak gimana." Balasnya malas.
"Gaya loe bos kalau mikir sok serius." Sungguh kali ini Miranda ingin sekali menjahili bosnya itu.
"Gue serius kali ini Mir, otak gue udah puyeng karena cewek itu datang ke keluarga gue dan minta pertanggungjawaban." Ucap Arbani Ryanowiratmaja seorang pewaris beberapa properti real estate yang Wiratmaja kembangkan di negara ini.
"Makanya bos, kalau 'nanam saham' tuh lihat-lihat jangan main invest aja." Candanya yang malah mendapat lemparan pulepn dari sang bos.
"Untung loe cewek, kalau bukan habis loe Mir." Ucap Arbani kesal.
"Jadi back to the topic, maksudnya loe nyuruh gue buat deketin tuh cewek buat cari tahu siapa bapaknya gitu?" Miranda yang tahu betul sifat sang bos mencoba meyakinkan arah pembicaraan mereka.
"Gue yakin Mir, kalau waktu itu gue make pengaman. Yang gue heranin kenapa tuh cewek ngaku hamil bahkan nantangin buat tes kalau gue bapaknya tuh....aghhh... Gue puyeng!!!" Arbani mengacak-ngacak rambutnya frustasi.
Miranda yang melihat itu merasa senang karena sepertinya sang bos kini mendapatkan karmanya. Ya seorang Miranda merupakan sahabat sekaligus sekretaris Arbani. Mereka berdua seperti lem dan perangko, jika Arbani memiliki segudang aib yang siap Miranda tutupi begitu juga dengan Miranda yang akan selalu mendapat perlindungan dari seorang Arbani jika sang sahabat sekaligus sekretaris nya itu mendapat kesulitan. 
"Gue akan coba Ar, tapi gue nggak janji bakal mihak loe kali ini. Gue juga cewek, loe paham kan maksud gue?" 
"Sebrengseknya loe gue masih bisa terima tapi kalau sampe kejadiannya kayak gini gue cuman nyaranin buat loe tobat. Minimal loe cari istri yang bisa buat loe betah di kamar."
Arbani menatap sahabatnya itu dengan raut wajah yang sulit di tebak, tatapan kosong namun terlihat sedang memikirkan sesuatu hal dan itu membuat Miranda was-was.
"Loe aja kalau gitu jadi istri gue." 
Miranda terbengong, otaknya masih mencerna perkataan Arbani.
"Ide loe bagus tuh Mir, loe aja yang jadi binik gue. Keluarga gue sama loe juga udah pada tahu." Kini Arbani dengan semangat menghampiri Miranda yang masih duduk terbengong di sudut sofa yang ada kantor Arbani.
"Nggak sia-sia gue punya sahabat kayak loe. Thank baby you are my saviour." Ucap Arbani penuh dengan kelegaan sambil memeluk erat tubuh mungil Miranda.
"Eh...lepas Ar, loe jangan makin gila. Gue kagak mau!!!" Tolaknya setelah sadar dari pikiran blank nya.
"Loe kira gue udah sinting mau nerima loe yang bekasan banyak cewek, gini-gini onderdil gue masih orisinil. Gue nggak mau." Tolaknya mentah.
"Please Mir, gue nggak tahu buat gagalin rencana keluarga gue. Gue belum siap nikah." Pintanya memelas.
"Kasih gue waktu buat buktikan kalau cewek itu emang hamil anak loe, gue nggak mau loe jadi cowok pengecut Ar." 
Arbani menghembuskan nafasnya dengan kasar seolah lelah dengan jawaban yang di berikan Miranda yang tidak sesuai dengan ekspektasi nya.
"It's over. Gue masih banyak tugas. Seminggu lagi gue kabari loe." Miranda berdiri dan menepuk bahu bosnya itu kemudian pergi meninggalkan ruangan yang kini terdengar banyak barang yang sepertinya terhempas dari tempatnya. Arbani meluapkan kekesalannya pada barang-barang yang ada didekatnya seolah barang-barang itu adalah masalah yang harus dia hancurkan.
Miranda duduk di kursi kerjanya, dia memijit pangkal hidungnya. Kali ini dia sangat pusing memikirkan tingkah Arbani yang kelewat batas. Apa dia tidak berfikir jikapun dia memakai alat pengaman saat berhubungan seksual tingkat akurasinya bisa saja meleset dan itu bisa membuat dirinya rugi seperti sekarang. Sungguh Miranda kali ini tidak bisa membantu banyak jika saja seorang Arbani benar-benar melakukan hal yang sangat dia benci. Belum lagi nanti jika keluarga bos sekaligus sahabatnya itu bertanya tentang kebenaran yang selama ini dia tutup-tutupi, apa yang harus dia katakan. Miranda pusing memikirkan masalah yang bukan dia perbuat, jika saja bukan sahabatnya atau karena gaji yang diiming-imingi oleh Arbani sangat besar mungkin dia sudah lama meninggalkan bos brengseknya itu.
Bayangkan jika ada satu wanita yang sudah dicampakkan oleh Arbani namun wanita itu masih memohon bahkan bertingkah seperti layaknya nyonya besar, dirinya lah yang bertugas menghempas wanita itu dan sang bos tidak perlu memikirkan bagaimana sekretaris nya dicaci atau bahkan di berikan sumpah serapah karena terlalu membela Arbani. Jika boleh di balik mungkin Arbani akan segera menggali liang lahat untuk dirinya sendiri. Namun tak ditampik jika perlakuannya itu selalu mendapat apresiasi dari sang pimpinan, dia berhak mendapatkan satu request untuk tiap masalah yang bisa dia selesaikan. Tas mewah, sepatu bermerk belum lagi cicilan apartemen yang di bilang bukan untuk ukuran gajinya di sanggupi oleh Arbani jika Miranda bisa membantunya lepas dari para wanita yang hanya mengincar hartanya saja. 
Wanita mana yang tidak tergiur dengan iming-iming seperti itu dan Miranda menjadi salah satunya. Lagi pula dia menikmati tanpa harus menyakiti wanita lain, setidaknya para wanita yang pernah di kencani oleh Arbani bukanlah wanita baik-baik jadi Miranda tidak terlalu memusingkan perasaan wanita itu.
Dan kali ini Miranda benar-benar meragu jika harus berada di pihak Arbani. Sekilas melihat profil wanita yang sedang memiliki masalah dengan bosnya itu Miranda perasa prihatin. Haruskah dia bersikap kejam seperti biasa atau membela wanita itu demi bayi yang tidak bersalah? Miranda benar-benar bimbang.