Ingatan Arbani
Sudah pukul sepuluh siang, namun Arbani tidak juga menampakkan batang hidungnya. Entah kemana pria ini, tak ada kabar bahkan ponselnya pun mati. Miranda yang sudah geram pun hanya bisa menyelesaikan urusan kantor dengan baik bahkan mempersiapkan meeting untuk pengenalan baru CEO yang telah bekerja sama dengan perusahaan yang menaunginya itu. Dan bos menyebalkan nya itu kini malah tak memberikan kabar sedang apa dia sekarang.
Pekerjaan Miranda selesai dan menunjukkan waktunya makan siang, dia pergi kekantin yang ada di kantornya, Miranda tahu jika saat ini dia akan dibutuhkan oleh staf kantor untuk acara meeting nanti sehingga dia memilih kantin kantor sebagai tempat untuk mengisi perutnya. Dan benar saja telepon tidak berhenti berdering walaupun dia sedang menikmati makan siangnya hingga akhirnya dia mempercepat makan siangnya itu dan kembali ke ruangannya.
"Dari mana aja loe?!" Tanya bos yang tanpa rasa bersalah sudah duduk di kursi Miranda.
"Makanlah....loe kira gue mesin apa nggak dikasih asupan gizi." Jawab Miranda ketus.
"Ikut keruangan." Perintahnya setelah meninggalkan kursi kerja Miranda.
"Ya jelaslah gembel... Banyak yang mau gue jelasin ke loe kali." Makinya pada Arbani.
Sementara Arbani yang mendengar hal itu hanya geleng-geleng kepala.
Kini mereka sudah berada di ruangan Arbani, pria itu duduk dengan sombongnya di kursi yang ditempatinya.
"Ada apa ?!" Tanyanya langsung pada Miranda.
Miranda menghembuskan nafasnya, boleh tidak dia melemparkan berkas yang sedang dia bawa sekarang ke wajah sang bos itu. Tapi Miranda masih punya keinginan yang harus dikabulkan, dia berusaha tersenyum manis pada bosnya itu.
"Nggak usah senyum gitu, gue ngeri di ujung." Jawab Arbani to the points.
"Sesuai dengan apa yang bakal kusampaikan bos, dan gue yakin loe bakal kena serangan jantung mendadak."
Arbani menaikkan sebelah alisnya.
"Bos mau membahas masalah yang mana dulu, pribadi atau kantor?" 
"Kantor dulu lah, lagian gue nggak ada masalah dengan pribadi gue." Ucap Arbani yang menautkan kedua jemarinya sambil menggerak-gerakkan kursi kebesarannya.
"Yakin bos? Gue kok nggak ya."
Miranda tersenyum mengejek, sementara Arbani berpikir, mengingat apa yang dia lakukan.
"Ok, kita bahas masalah kantor aja dulu." Miranda membuka beberapa berkas yang dia bawa dan menjelaskan pada Arbani.
"Jadi sekarang kepempimpinan dari Subroto grup sudah di ambil alih oleh Alfarizi Subroto, yang tak lain adalah anak lelaki dari keturunan Subroto. Tapi sepertinya dia masih mengikuti pendidikan kuliah di luar negeri sehingga untuk sementara waktu posisinya akan diambil alih oleh sang kakak. Dan sebenarnya bos....gue merasa bahwa ini akan bersangkutan dengan masalah pribadi loe."
"Maksudnya?" 
"Anak perempuan Subroto adalah wanita yang sama yang waktu itu loe..." Ucapan Miranda terputus karena dia sudah pasti tahu jika Arbani akan memahami maksud tersebut.
"Jangan bilang kalau dia wanita yang hamil itu?" Arbani mencondongkan tubuhnya kearah Miranda.
Anggukan Miranda membuat Arbani luruh, dia tidak menyangka jika wanita itu adalah wanita yang sama.
"Dan ini bukti yang gue punya." Miranda memberikan photo saat Nadira bersama keluarga serta temannya.
"Pria itu adalah paman Nadira, adik dari almarhum Jaya Subroto namanya Hans Subroto yang selama ini menggantikan sementara kedudukan ahli warisnya. Pria ini.... Yang sedang memeluk Nadira adalah anak angkat tuan Hans. Dia sangat menyayangi Nadira sedari kecil, dan pria yang satu lagi adalah Faisal Malik, dia artis muda yang sedang naik daun. Dan dari yang terlihat sepertinya mereka semua menjaga Nadira dengan baik."
Arbani menatap photo yang terkumpul di meja kerjanya, dia tak menyangka jika wanita one night stand nya buka wanita biasa.
Bayangan beberapa waktu lalu terlintas di pikirannya, itu sebabnya ada nama "om Hans" saat tertera dalam layar ponselnya. Dan ternyata nama itu adalah nama orang terdekatnya bukan nama orang yang ada dalam pikiran kotornya.
Arbani meraup wajahnya, dia merasa benar-benar telah mendapatkan karma.
"Dan sekarang apa Nadira yang akan datang mengikuti rapat pemegang saham?"
Lagi-lagi Miranda mengangguk.
"Apa dia tahu kalau gue yang jadi pimpinannya?"
Miranda mengedikan bahunya.
"Loe jawab yang bener kenapa? Loe tahu ini masalah nya bisa runyam kalau gue salah langkah Mir?!!" Bentak Arbani karena menerima jawaban yang tak memuaskan dari sekretarisnya itu.
"Gue udah bilang kan sama elu dari awal, loe coba ngomong baik-baik, loe selesaikan masalah loe. Kalau disuruh tanggung jawab ya tanggung jawab, jangan malah lari kayak anak kecil gini."
"Disini gue bosnya Mir kalau loe tahu." Ucap Arbani dengan mata nyalangnya.
"Dan bos gue nggak bisa mikir pake otak yang jernih, dia bisanya pake selangkangan kalau perlu loe tahu." Jawabnya tak kalah nyolot.
"Aghhh..."
"Jadi gue mesti gimana? Apa gue mohon-mohon sama dia sementara gue nggak bisa janjikan apa-apa dalam hidup dia? Loe tahu gue Mir. Gue belum siap untuk membuat komitmen."
"Setidaknya loe punya hati untuk tanggung jawab sama bayi loe."
Miranda jengah dengan sikap Arbani yang tak bisa serius alam hidupnya.
"Iya kalo itu anak gue?"
"Ok...kita buat bayi itu bukan anak loe, terus gitu dia lahir mukanya duplikat loe gimana?"
Arbani terdiam, dia tak bisa menjawab pertanyaan Miranda. Dia juga mulai menerima jika kemungkinan jebolnya alat pengaman bisa jadi pemicu kehamilan tapi.... Dia mulai mengingat setiap kejadian ya g dia lakukan pada malam itu secara detail.
Dan ingatan nya membuat dirinya terhenyak kaget saat mengingat jika yang terakhir dia kehabisan alat pengaman nya itu.
"Mir....kalau itu anak gue? Gue mesti apa?" Tanyanya lesu.