Flashback
Saat Nadira merayakan hari kelulusan yang selama ini ingin dia banggakan pada almarhum kedua orang tuanya kini hanya dirayakan sederhana bersama sang adik. Fais sengaja meluangkan waktunya untuk sang kakak sekaligus memikirkan rencana kedepannya bersama kakak kesayangannya itu.
"Kak... sebaiknya om Hans harus tahu kondisi kakak saat ini, hanya dia keluarga yang kita punya." Fais mencoba membuka percakapan dengan Nadira yang saat ini tengah bercermin di kamarnya untuk pergi keacara wisudanya itu.
Nadira terdiam dan menatap Fais dari cermin.
"Apapun yang om Hans putuskan itu tak akan membuat keputusan ku berubah kak, aku yang akan selalu mendampingi kakak sampai bayi itu lahir." Fais berjalan mendekati sang kakak.
"Percaya sama Fais kak, hanya om Hans." Pintanya memelas pada sang kakak.
Nadira berbalik menghadap Fais.
"Kakak serahkan keputusan sama kamu Fais, kakak percaya kalau kamu akan jagain kakak sampai nanti." Nadira tersenyum lembut kearah adiknya.
Fais senang mendengar ucapan sang kakak yang tidak meragukan keputusannya.
"Fais akan jaga kakak, kita akan membesarkan bayi ini berdua." Fais memeluk sang kakak untuk menyalurkan rasa bahagianya.
"Kakak percaya Fais."
***
Kadang apa yang menjadi keinginan kita tidak bisa sesuai dengan kenyataan yang ada, begitu pula dengan niatan hati Fais yang akan membawa Nadira bersamanya untuk pergi keluar negeri tidak di setujui oleh om Hans.
Om Hans menolak keras keinginan Fais, apalagi ketika tahu jika keponakan tersayangnya itu kini tengah hamil atau lebih tepatnya tertimpa musibah yang mungkin akan mempengaruhi kondisi mental sang keponakan. Cukup om Hans merasa bersalah karena waktu itu tidak menghentikan Nadira agar sang keponakan tidak mewakili dirinya melakukan pertemuan dengan kolega bisnisnya. Om Hans sampai memohon pada Nadira untuk memberitahu siapa diantara mereka yang melakukan perbuatan******itu, namun Nadira bungkam.
"Om tanya sekali lagi Nad, siapa diantara mereka yang melakukan hal itu?"
"Bukan mereka om, Nad tidak tahu siapa pria itu. Yang Nad tahu saat Nad terbangun Nad sudah di kamar hotel." Rasa sesak yang di simpan Nadira tak mungkin bisa dikeluarkan dengan gampang. Apalagi pria itu tidak ingin bertanggung jawab, jadi biarlah dia dan Fais yang tahu siapa ayah dari anaknya itu. Nadira bertekad untuk membesarkan anaknya sendiri.
"Om akan cari tahu sendiri, jika kamu tidak memberitahukan pada om." Ucap om Hans yang kini meradang karena keponakan satu-satunya harus menerima aib sebesar ini sendiri. Dia bersumpah jika bertemu dengan pria******itu om Hans akan memberikan dia perhitungan.
"Baiklah jika kamu masih bungkam, tapi om mohon jangan pergi. Jika kamu minta waktu untuk berlibur om akan memberikan waktu untuk kamu menikmati kebahagiaan mu sayang, tapi tidak dengan meninggalkan semua yang sudah ada disini. Seperti janji om pada kedua orang tuamu, om akan selalu ada untuk kalian berdua."
Fais ingin menyela ucapan om Hans yang tidak mengizinkan dia membawa kakak nya tapi urung saat melihat ekspresi tak terbantahkan oleh om Hans.
"Sekarang istirahatlah di rumah sayang, kamu tidak boleh sampai telah, dan Fais ini saatnya kamu mengambil alih tanggung jawab yang memang seharusnya kamu pikul." Ucap om Hans.
Om Hans pergi meninggalkan ruangan dimana Nadira selalu melakukan pekerjaannya.
"Sudah waktunya nak." Om Hans sekali lagi berucap sambil menepuk pundak Fais.
"Bagaimana keputusan kakak?"tanya Fais pada Nadira.
"Kakak tidak bisa membantah keinginan om Hans, Fais." Nadira duduk di kursi kebesarannya sambil mengelus perutnya yang masih rata.
"Kalau begitu kakak juga harus memberitahu kak Samuel karena Fais tidak bisa selalu ada di dekat kakak." Ucap Fais.
Nadira mengangguk setuju saja Karena bagaimanapun dia butuh sosok lelaki yang selalu ada saat dia sedang rapuh. Walaupun banyak orang yang sayang padanya namun dia merasa untuk kali ini dia perlu sandaran yang kuat dari keluarganya.
"Fais...." Nadira yang tengah lapar menginginkan sesuatu pada adiknya itu.
"Ya kak." Fais berdiri menuju kearah sang kakak.
"Kakak pengen jeruk Bali."
"Sekarang?"
Nadira mengangguk.
"Ya udah Fais pergi beli jeruknya. Ada mau yang lain? Biar sekalian Fais beli." Ucapnya pada sang kakak.
Walaupun dia tidak pernah mempunyai pengalaman dengan wanita hamil, tapi dia selalu mendengar cerita dari teman-teman satu profesinya yang sudah berkeluarga jika wanita hamil itu adalah RATU jadi segala keinginannya sebisa mungkin harus dikabulkan.
"Nggak, cuma itu aja." Jawab Nadira.
"Tapi Fais,..." Nadira menjeda ucapannya dan Fais yang hendak pergi menoleh kearah sang kakak.
"Kamu belinya yang ada di Bali." Senyuman serta wajah polos bak seorang anak kecil terlihat di wajah sang kakak.
Fais menelan ludahnya, dia berat mengatakan tidak pada sang kakak namun....
"Kamu keberatan Fais?" Wajah yang tadi terlihat senang kini berganti menjadi sendu.
Fais tidak tega mengatakan tidak pada sang kakak, apalagi dia sudah berjanji akan selalu ada untuk kakaknya itu.
"Fais akan berangkat sekarang. Tapi jaga kondisi kakak baik-baik. Ingat kalau ada apa-apa kabari om Hans atau kak Samuel." Ucap Fais yang kini mencoba memberikan senyuman palsu pada sang kakak.
Nadira mengangguk setuju dan dia terlihat senang kembali. Fais pun lega karena sang kakak kembali bersemangat.
Demi dedek bayi yang belum lahir Fais akan berjuang membahagiakan sang kakak. Dia bahkan harus rela mengundurkan jadwal keberangkatannya ke luar kota untuk syuting hanya demi menuruti keinginan mengidam sang kakak. Membeli jeruk yang ada di Bali. Fais tersenyum sendiri saat mendapati ngidam pertama sang kakak.
"Nasib mu Fais.....belum juga nikah udah ngademi calon Nyai Ratu. Semangat!!!" Fais memberikan semangat pada dirinya sendiri.