Arbani mengusap wajahnya, wanita yang kini di hadapannya itu benar-benar akan membuat dirinya hilang kontrol. Arbani yang masih menginginkan tubuh wanita yang dihadapannya itu harus lebih bersabar. Bersabar??? Tapi maaf itu bukan sifat dari seorang Arbani.
"Pengen tau kenapa kita ada di kamar yang sama? Ahh ralat tapi di tempat tidur yang sama?" Arbani mendekati Nadira yang beringsut mundur dengan seringainya.
"Mundur kamu, atau..." Suara Nadira tercekat ketika Arbani sudah memerangkap tubuhnya.
"Atau apa sayang??!! Hmmm..." Arbani tersenyum melihat ekspresi ketakutan di wajah Nadira.
"A-aaku akan menuntut mu." Ucapnya gagap.
"Atas?!" Seringai******itu tak kunjung hilang apalagi saat melihat kulit Nadira yang begitu mulus terawat, hormon testosteron nya seperti gunung berapi yang siap memuntahkan laharnya.
Jantung Nadira berdetak kencang saat Arbani semakin dekat dengan wajahnya, mata Nadira sudah berkaca-kaca saat pikirannya sudah berkelana entah kemana, ketakutan dan ingin memberontak sangat kuat tapi....semua itu musnah saat Arbani sudah menguasai tubuh Nadira seutuhnya. Ya akhirnya Arbani mengulang kejadian tadi malam dengan kesadaran penuh bersama Nadira, tapi kondisi ini berbalik untuk Nadira. Saat itu Nadira tidak tahu apa yang tengah dia lakukan dan kini, pemberontakan yang dia lakukan sia-sia, tenaganya kalah kuat dibandingkan dengan Arbani. Nadira takluk, sekali lagi dia kehilangan harta berharga yang dia jaga untuk suaminya kelak. Nadira menangis, tenaganya hilang dan pria yang sedang berjuang melepaskan hormon testosteron nya menggila seakan baru kali ini dia menikmati kenikmatan surga dunia. Dan Nadira terkulai lemas, tidak dia bukan lemas tapi Nadira sudah pingsan namun pria itu masih mengejar kepuasaannya am saat dia sudah mencapai puncaknya dia mengerang serta ambruk disamping tubuh Nadira. Nafasnya tersengal-sengal seperti telah melakukan maraton berkali-kali, senyum puas jelas tercetak di bibirnya. Arbani melihat Nadira yang telah pingsan, ingin sekali dia menyimpan wanita ini hingga suara dering telepon membuyarkan lamunannya.
Arbani bergeser kearah nakas yang tak jauh dari tempat tidurnya, dia melihat ponsel Nadira yang berdering. Arbani terkekeh.
"Bukan wanita gampangan?!!"
Dan keinginannya untuk memiliki Nadira menguap setelah melihat nama pemanggil di ponsel itu.
"Dasar wanita licik." Arbani meninggalkan Nadira yang masih diranjang serta tak lupa dia menuliskan cek untuk pelayanan yang diberikan Nadira. Dan dirinya tidak tahu jika wanita yang telah dia nodai adalah wanita yang sangat berharga bagi keluarganya.
****
Miranda tergesa-gesa memasuki ruangan Arbani, saat dia mengetahui sesuatu hal yang sangat penting. Sudah tiga bulan ini Arbani santai dan tidak memikirkan masalah yang telah dia hadapi. Selain masalah hormon yang harus di tuntaskan setiap saat dia merasa tidak ada masalah yang berarti. Dan hari ini seperti biasa, ketika melewati jam makan siang maka dia akan melakukan kebiasaan untuk menyalurkan pembuangan hormon testosteron nya tentunya setelah semua pekerjaan kantornya telah selesai, dia tidak ingin menambah masalah jika mengabaikan urusan kantor. Jadi, dia akan merasa tenang selama menikmati waktu yang dia punya.
"Bos..."
Miranda melihat ruangan Arbani kosong, namun dia melihat pakaian wanita yang tercecer di lantai dekat meja kerja Arbani. Dia paham apa arti itu semua, dia kesal karena Arbani teledor melakukan hal menjijikkan itu tanpa tahu tempat bahkan tidak mengunci ruangannya. Tidak, bukan berarti Miranda selalu membela Arbani, tapi ini lebih ke masalah yang jika orang tua Arbani tiba-tiba datang dialah orang pertama yang akan kena Omelan dan Omelan itu sangatlah panjang, Miranda tidak ingin hal itu. Miranda keluar dari ruangan Arbani dan menutup serta tidak lupa mengunci pintu.
"Dasar buaya yang keluar dari sarang, nggak tahu tempat!!! Awas aja kalau loe ngemis buat minta tolong sama gue. Gue naikin tarif gue. Miskin-miskin situ." Omelnya sambil menuju ruangannya.
Miranda yang sudah menunggu sangat lama, tidak melihat sang wanita keluar dari ruangan Arbani, hingga jam pulang kantor pun tiba. Miranda yang memang memiliki janji kencan dengan sang tunangan lantas meninggalkan kantornya.
"Mampus loe besok, kejer tuh berlian yang udah loe buang. Gue mah tinggal lihat wajah gembel loe." Ucapnya sambil merapikan meja kerjanya.
Saat Miranda sudah beranjak dari kursinya, disaat itu pula Arbani keluar dengan....ya wanita . Arbani mengeringkan sebelah matanya dan berjalan cepat melewati Miranda.
Sepersekian detik Miranda kehilangan kata-kata, namun saat punggung pria itu menjauh dia baru ingat ada hal penting yang harus dia sampaikan.
"Bos... Tunggu." Ucapnya sambil menarik berkas yang ada di lacinya.
Miranda berlari mengejar Arbani yang kini sedang menunggu lift.
"Bos.... tunggu!!"
Sekali lagi Miranda berteriak memanggil. Arbani menoleh kearah Miranda.
"Bos ada hal penting yang harus kita bicarakan." Miranda mengangkat map merah yang dia pegang.
Arbani mengerenyitkan dahinya, setahu dia semua hal penting yang menyangkut perusahaan sudah selesai dan map merah?
"Aku sudah mengerjakan semuanya Mir, jadi besok saja kalau ada hal yang penting yang mau kamu bahas." Jawabnya enteng.
Pintu lift terbuka, Arbani masuk bersama wanita muda yang ya.... Seperti kriteria dirinya.
"Tapi bos...ini sangat penting." Ucap Miranda sambil menyusul Arbani masuk kedalam lift.
Arbani mengangkat tangannya, dan itu artinya dia tidak ingin diganggu.
Miranda pasrah, dia terdiam.
"Mampus aja loe besok kalau tahu apa yang akan menimpa loe bos." Makinya dalam hati.