ngidam bumil?
Jadwal meeting pemegang saham yang awalnya akan di adakan setelah makan siang molor menjadi satu jam. Bukan tanpa sebab, ini dikarenakan Arbani tiba-tiba mengalami kepanikan saat mengingat jika dirinya telah melakukan kesalahan-kesalahan. Banyak makian yang keluar dari mulut Miranda saat mengetahui jika bosnya itu benar-benar pria yang tidak bisa dikatakan manusia lagi. Bahkan saat ini meja kerja Arbani sudah berserakan kertas-kertas yang dilemparkan oleh sang sekretaris.
"Loe...?!!" Tunjuk Miranda
"Loe urus sendiri masalah loe sekarang, gue udah muak selalu ada untuk menyelesaikan tugas-tugas busuk loe." Ucap Miranda yang hendak keluar dari ruangan Arbani.
Melihat kemarahan sang sekretaris Arbani tidak terima, dia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang mengetahui segala sesuatu tentang dirinya pergi.
"Kalau loe berniat pergi dari gue Mir, gue bersumpah kalau rahasia loe bakal gue bongkar. Loe nggak lupa kan sama hal itu?" Tanpa ampun Arbani langsung mengeluarkan ancamannya pada Miranda.
"Brengsek loe Ar...!!!" Miranda menerjang Arbani yang berdiri tak jauh dari dirinya.
Pukulan bertubi-tubi dia layangkan kearah sang bos sebagai rasa kecewanya.
"Loe emang nggak punya hati Ar, gue benci udah kenal loe. Gue pastikan kalau loe jauh lebih menderita dari pada gue!!"Miranda menangis dan meluapkan kekesalannya dengan masih memukuli Arbani.
"Gue cuma mau loe bantu gue Mir, cuma loe yang tahu siapa gue dan kayak gimana gue. Dan satu rahasia loe akan aman." Arbani kini sudah menangkap kedua tangan Miranda dan menatap tajam wajah sang sekretaris yang sudah berlumuran air mata.
"Loe jahat Ar kalau loe nakuti gue, gue kurang apalagi selama ini sama loe."
"Loe cuman harus ada di dekat gue Mir. Bagaimanapun hubungan kita bukan lagi atasan serta bawahan atau cuman sahabat atau apapun itu, kita punya hubungan yang lebih dari itu dan itu cuma kita dan ibu loe yang tahu."
"Loe jahat Ar.... benar-benar jahat!!! Loe puas sekarang buat kayak gue begini? Asal loe ingat Ar.... Jangan lupakan karma!!"
Miranda mendorong kuat tubuh Arbani hingga tersentak kebelakang.
"Untuk kali ini Ar...gue mohon sama loe, jadilah pria sejati. Jangan sampai satu persatu orang yang sebenarnya sayang sama loe pergi ninggalin loe karena kebrengsekan loe ini." Setelah mengucapkan kalimat itu Miranda meninggalkan ruangan Arbani.
Setelah kepergian Miranda, Arbani mencoba memikirkan tiap perkataan sahabatnya itu, memang semua orang yang berada didekatnya semua kebanyakan berwajah palsu, mengikuti semua keinginan Arbani tanpa bantahan tetapi mengajukan balasan untuk semua hal yang mereka lakukan. Munafik...ya Arbani dikelilingi oleh orang-orang seperti itu. Hanya Miranda yang selalu bertentangan dengan tiap pendapat Arbani walaupun tak jarang dia juga mengikuti perintah bos nya itu.
Arbani pusing, apalagi ini masalah yang rumit baginya, tak bisa dia menceritakan pada sembarang orang. Apakah kali ini Arbani akan mengikuti perkataan Miranda?
Bertanggung jawab untuk hidup orang lain bukanlah dirinya sama sekali, apalagi harus hidup seterusnya dengan wanita yang sama sekali tidak pernah dia kenal dalam kondisi satu atap beserta anak yang akan merecoki ketenangannya. Arbani belum siap sama sekali bahkan untuk membayangkan saja dia sudah merasa ngeri sendiri.
Tak ingin memusingkan masalah yang kini tengah dia hadapi, Arbani meninggalkan ruangannya dan menuju ruangan rapat.
Walaupun sedang mengalami masalah tapi Arbani menjaga raut wajahnya agar tidak ada satu orangpun yang tahu jika dia sekarang sedang mengalami masalah pelik. 
Hingga semua peserta rapat kini sudah berkumpul dan Arbani sebagai pimpinan memberikan kata sambutan serta beberapa hal tentang pencapaian yang selama ini dia kerjakan. Dan semuanya tak luput dari tatapan dirinya pada salah satu wanita yang sepertinya tengah menahan sesuatu dan itu entah apa karena Arbani tidak memahaminya.
Hingga suara aneh yang sangat kuat terdengar di telinganya.
"Hoeekk..." Suara Nadira yang tak bisa lagi menahan mual dari perutnya terdengar nyaring karena peserta rapat masih hening mendengar tiap kalimat Arbani.
Melihat situasi yang tidak tepat membuat Nadira permisi untuk keluar ruangan dan mendapatkan tatapan asing dari tiap anggota rapat.
"Maaf, permisi." Ucapnya yang kini sudah berdiri dari duduknya dan hendak keluar untuk ke toilet.
Melihat tatapan dari bosnya, Miranda langsung menghampiri Nadia yang sepertinya kelelahan.
"Mari Bu saya bantu." Ucap Miranda ramah.
Nadia mengangguk menyetujui karena saat ini sepertinya badannya sudah lemas apalagi sedari tadi pagi dia belum memakan sesuap nasi atau roti, dia hanya meminum susu hamil dan vitamin yang selalu disediakan oleh Fais ataupun assisten nya.
Saat akan membuka pintu keluar, Miranda yang disebelah Nadira terpekik kaget karena wanita hamil itu kini sudah hampir terjatuh dengan tubuh sempoyongan.
"Bu Nadira?!!" Pekikan dari Miranda membuat Arbani refleks langsung berlari kearah mereka dan menangkap tubuh limbung Nadira.
"Buka pintunya."perintah Arbani yang langsung membopong tubuh Nadira ke luar dari tempat rapat. Sementara Samuel yang panik langsung menyusul sepupunya itu. 
Rasa khawatir jelas terlihat diwajah Samuel saat melihat Nadira menahan mual, tapi dia urung menanyakan atau memberikan istirahat pada Nadira karena ini bukan saat yang tepat, setidaknya itu cara dia berfikir. Tapi ternyata Nadira benar-benar membutuhkan istirahat.
Samuel berlari mengejar Arbani dan Miranda yang entah jalan menuju kemana, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah menghubungi Fais. 
Berulang kali dia menghubungi pria itu tapi ponselnya tidak juga diangkat hingga akhirnya dia menelpon sang asisten dan memberitahu kabar Nadira yang pingsan.
****
"Minum dulu Bu, teh hangatnya?!" Miranda memberikan teh hangat pada Nadira yang sudah sadar dari pingsannya.
Nadira masih lemas, dia tidak ingin menyentuh apapun bahan untuk menggerakkan badannya saja dia enggan, entah kenapa posisinya yang sekarang sangat nyaman bahkan matanya perlahan terpejam kembali menikmati suasana yang tenang.
"Nad...kamu makan ya? Sedari tadi kamu belum makan loh, kamu mau makan apa?" Tanya Samuel pelan, dia tidak ingin mood bumil yang ada di depannya ini berubah menjadi singa ketika dia mendekat.
Benar saja, mata Nadira yang tadi terpejam langsung terbuka menampakkan ketidaksukaannya bahkan terlihat dari pergerakan yang akan Nadira lakukan langsung membuat Samuel paham.
"Iya....kamu sebaiknya istirahat nggak usah makan, kakak keluar sekarang." Samuel langsung pergi keluar tapi sebelum itu dia berpesan pada Miranda untuk memberitahu dirinya jika Nadira menginginkan sesuatu.
Miranda duduk di seberang kursi di hadapan Nadira.
"Apa ini ibu alami setiap hari?" Tiba-tiba saja Miranda menjadi emak-emak kompleks yang kepo dengan kehidupan orang lain.
"Maksudnya?!" 
Miranda tidak enak hati jika akan secara langsung mengungkapkan keinginan tahuannya.
"I-Itu...hmmtt...." Miranda tak sanggup meneruskan kalimatnya karena sepertinya induk singa yang ada dihadapannya itu terlihat tidak suka mendengarkan kalimatnya dan dia tahu jika bibit yang ada dalam perut wanita itu adalah salah satu bibit pria menjengkelkan yang kemungkinan sama menjengkelkan nya dengan sang ayah.
Nadira menatap tajam kearah Miranda. "Apa?!" Seolah tahu jika Miranda akan menanyakan sesuatu yang pribadi membuat Nadira memperlihatkan raut tidak sukanya. Apalagi saat ini dia sedang menikmati posisi ternyamannya. 
Rebahan di sofa dengan bantal yang empuk serta jas yang menggantung di bagian perutnya, namun sang pemilik jas tidak sedang bersamanya.