"Apa yang kakak lakukan?!!" Bentak seorang anak laki-laki yang memergoki kakaknya hendak menyayat pergelangan tangannya.
"Biarkan Fais, biarkan kakak menyusul ayah dan ibu. Kakak sudah membuat malu mereka." Isaknya sambil memeluk sang adik yang kini tengah mengambil alih pisau dan membuangnya ke sembarang arah.
"Kakak gagal membuat mereka bangga Fais." Tangis Nadira tak lagi terbendung kala teringat janjinya pada kedua orangtuanya waktu itu.
"Sabar kak, kita hadapi bersama. Kalaupun bajingan itu tak mau bertanggung jawab kita akan besarkan bayi ini berdua dan kita tidak perlu pertanggung jawaban pria******itu untuk menjadi ayahnya." Ucap Fais yang emosi.
"Bertahanlah kak sebentar lagi, bukankah kakak akan wisuda bulan depan? Setelah kakak wisuda kita akan pindah dan mulai dari awal. Dan biarkan pria itu dengan kehidupannya. Kita tidak perlu lagi pria itu untuk menjadi ayah dari bayi yang kakak kandung. Fais siap menjadi paman sekaligus ayah untuk keponakan Fais kak." Fais mencoba menenangkan kakaknya yang masih tidak bisa menerima kejadian yang menimpanya.
"Sudah cukup Fais melihat kakak seperti pengemis hanya untuk pertanggung jawabannya, dan kali ini Fais mohon sama kakak untuk melupakan dia."
Nadira terenyuh dengan perkataan sang adik, dia tidak menyangka jika adiknya yang baru saja menduduki bangku kuliah harus memikul beban berat yang seharusnya tidak dia tanggung.
"Maafkan kakak Fais." Nadira kembali terisak dalam pelukan sang adik, dan Fais hanya bisa membalas dengan mengelus punggung sang kakak sayang.
***
"Mir....gimana sama kabar yang loe cari. Ini sudah lebih dari seminggu yang loe janjikan." Tanya Arbani saat menikmati makan siang di resto setelah menyelesaikan meeting dengan kliennya.
"Makan aja dulu, gue juga butuh tenaga untuk ngomong." Jawab Miranda malas.
Untung saja dia orang kepercayaannya jika bukan sudah pasti dia akan mengamuk dan memecat dirinya dan mengganti dengan orang lain. Setidaknya sifat buruk yang satu ini tidak berlaku untuk Miranda.
Setelah mereka menyelesaikan makan siangnya kini saatnya Arbani menuntut kejelasan, pasalnya wanita yang selama ini menerornya tidak lagi menghubungi dia ataupun keluarganya, sempat dia berfikir jika ini semua sudah di bereskan oleh Miranda.
"Gue kehilangan jejak dia." Jawaban yang diberikan Miranda membuat Arbani terkejut.
"Maksudnya, dia nyerah gitu. Dasar wanita murahan, untung gue nggak langsung nyerah dan nurut sama keluarga gue." Ucap Arbani menyombongkan dirinya.
"Dia menjual rumah dan pindah dari lingkungannya." Miranda melanjutkan perkataannya.
"Gue mana peduli, yang penting dari situ udah jelas kalau gue bukan bapaknya tuh orok." Lagi-lagi Arbani bersikeras jika dia tidak menghamili perempuan itu.
"Gue nggak yakin Ar, bukan berarti saat ini loe bisa nyantai. Lagi pula gue percaya sama kemungkinan 1%jika pengaman loe bocor dan dia dalam masa subur. Loe hidup bukan karena bokap loe nanam saham di nyokap loe, tapi karena kehendak Tuhan. Dan ini mungkin peringatan sama loe untuk berubah. Dan gue juga sebenarnya udah enek tiap kali harus maju untuk nyelesain masalah loe. Gue cewek Ar, gue juga pengen nikah sama cowok yang sayang sama gue. Bukan cuman jadi pengasuh loe." Miranda yang kesal karena sikap Arbani yang tidak mau berkaca dari masalah yang dihadapi akhirnya mengutarakan uneg-unegnya.
"Gue nggak mau jadi perawan tua karena harus selalu ada buat loe, dan yang loe ingat. Gue punya tunangan yang mesti gue perioritas kan dibanding loe yang selalu kayak gini. Ingat Ar....gue nggak bisa selalu ada buat loe, tobat Ar."
Arbani terdiam dengan ucapan dari hati Miranda, jadi selama ini secara tidak langsung dia telah merenggut kesenangan bahkan mungkin keinginan sahabatnya itu.
"Kita balik."
Miranda tahu jika topik pembahasan kali ini tidak enak untuk didengar oleh Arbani, tapi dia juga harus menyadarkan sahabat sekaligus bosnya itu agar tidak makin terjerumus kedalam dosa.
Miranda mengikuti langkah Arbani yang kini sudah meninggalkan restoran dan menuju mobil untuk kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan diantara keduanya bahkan mereka yang biasanya akan membahas proyek setelah bertemu klien pun terlihat melamun. Keduanya jatuh dalam pemikiran masing-masing. Miranda yang ingin sahabatnya itu bertobat serta Arbani yang merasa tidak ada hal yang harus dirubah dari dirinya hanya mampu mendengus tidak suka. Pria dengan segala kebenaran dalam benaknya itu tak mau mengerti tentang sekitarnya.