Terbang Bersamamu
"Dzania, gue udah dapet tempat kost yang murah!" kata Freza dalam pesan SMS yang kubaca.

"Yaudah, kalo gitu Ayank bisa, gak, jemput saya nanti malam. Datang jam dua, ya! Awas jangan telat, loh, Yank!" balas SMS-ku.

Aku sudah bertekad, malam itu adalah malam terakhir kuinjakan kaki di rumah. Sehari sebelumnya, aku sudah marah-marah pada Freza dan mengancamnya, kalau sampai tidak berhasil membawaku kabur dari rumah, maka dia tidak akan dapat melihatku lagi!

"Yank, saya udah gak mau tinggal di rumah. Cari kost napa, Yank! Biar kita bisa tinggal bareng!"

Begitulah isi SMS yang kukirimkan seminggu yang lalu. Namun, setiap hari saat kutanya sejauh mana dia berusaha, jawabannya selalu saja menyuruhku bersabar.

"Sabar, Yank. Uangnya saja belum cukup. Gajian gue turunnya minggu depan!" balas SMS-nya.

"Hish! Kamu itu kerja selama ini kenapa ga ada duitnya!?" balas SMS-ku, yang tidak dibalasnya lagi.

Tiga hari sebelumnya, Freza pernah memberitahuku bahwa dia akan menjual laptopnya, jika tidak kunjung mendapat pinjaman uang dari bos-nya. Namun, aku menentang keras. Bagiku, menjual barang-barang bukanlah hal yang baik. Itu hanya menjadi kebiasaan buruk bagi kami di kala susah.

Malam itu pun tiba. Tepat pukul dua malam, Freza mengetuk pintu kamarku. 

"Dug dug dug." Begitulah suara pintu kamarku saat Freza mengetuknya. Maklum, hal itu dia lakukan agar tidak terdengar, oleh para penghuni kost sekitar. Saat itu aku tinggal sendiri, di kamar kost pemberian mamah. Kebetulan, mamah adalah juragan kost 18 pintu. Mereka para anak kost adalah mahasiswa di kampus dekat rumah. Kami bertempat di lantai atas, sedangkan rumah keluarga mamah di lantai bawah.

"Yank, Yank, bangun, Woy!" Freza memanggil-manggil dengan sangat pelan.

Aku yang sebenarnya belum tidur, segera bangkit dan membuka pintu kamar. Freza pun segera masuk tanpa disuruh.

"Kok, lampunya mati, Yank?"

"Iyalah, kan saya udah tidur," ucapku berbohong.

Freza langsung merebahkan diri di atas kasur di lantai—tidak ada ranjang. Dia tampak tidak bergerak dan matanya terpejam. Aku pun langsung memukul wajahnya dengan bantal.

Bugh!

"Bangun, Setan!"

"Aduh, Yank. Sabar. Ngantuk, nih!

"Ish, apaan, sih! Gimana udah dapat uang belum?"

"Itu ada di dompet," ucap Freza seraya menunjuk ke bawah bantal.

Aku pun segera mencari dompet yang dia maksud. Setelah mendapatkan dan membukanya, bukan main girangnya hatiku. Ada lembaran uang sangat tebal di situ. 

"Yank, Yank, banguuun. Ini ada berapa?"

"Dua juta lima ratus itu."

"Hayoo, ini uang dari mana? Ayo jawab! Abis jual laptop, ya?"

"Laptop ada itu di tas, Yaaank."

"Terus ini uang dari mana banyak banget?"

"Itu tadi teman kasih laptopnya buat gue jual. Gue pinjam uang tapi dia bilang lagi ga ada. Terus dia suruh gue jual laptop itu aja dulu. Nanti kalo kita udah ada uang, baru kita ganti katanya.

" Dia gak marah?"

"Gak lah, namanya juga teman sejati.

Freza masih berbaring dan tengkurap. Membuatku kesal melihatnya. Aku pun membiarkannya beristirahat dulu. Sementara itu, kusiapkan pakaianku yang akan dibawa kabur dari rumah. Setelah pakaian selesai kulipat, aku menyuruh Freza mengemasnya dalam kardus—yang sudah kami siapkan sehari sebelumnya.

"Pelan-pelan nge-lakbannya, berisik tau," kataku.

Beberapa menit kemudian, akhirnya pakaian dan barang-barang yang akan kami bawa, sudah dikemas semua di dalam kardus.

Kulihat jam di tanganku, ternyata sudah menunjukkan pukul tiga. Satu jam lagi azan subuh berkumandang, tentu adik dan sepupuku akan keluar rumah untuk pergi ke masjid. "Masih ada waktu satu jam untuk keluar menuju jalan raya," ucapku dalam hati.

"Yank, kamu bawa kardus yang besar. Saya yang kecil. Bertahap aja. Nanti kamu taruh dulu di pinggir jalan yang gelap.

Freza setuju. Namun seperti biasa, setiap Freza datang menyusup ke kamarku, dia selalu meminta jatah. Saat itu kami memang tidak ingin melewatkannya, hitung-hitung pertempuran kami yang terakhir di kamar itu.

"Ah ... enak, Yank. Terus ... saya mau keluar ...."

Aku terus meracau dengan suara pelan, Freza menghujaniku dengan tusukan-tusukan kenimatan. Kenyamanan di area bawah pusarku bukan main rasanya, membuat seluruh syaraf mengendur di sekujur tubuh.

Freza terus aktif menggerakkan pinggulnya ke atas ke bawah, secara konsisten. Dia mampu melakukan itu dengan mulut tertutup rapat. Karena ingat bahwa waktu kami hanya sedikit, maka aku menyuruhnya untukbsegera menyelesaikan. Jika saja kami punya banyak waktu, seperti saat di hotel misalnya, Freza sanggup bertahan bahkan selama lima jam. Sungguh luar biasa.

Napasnya semakin memburu, seiring gerakan pinggul yang semakin cepat dan cepat. Hingga akhirnya ....

"Ah ... emh ...," desahnya bersamaan kehangatan yang mencair dalam rahimku. Entah, sudah berapa liter cairan kehidupan ynag dia masukkan ke sana. Jika dihitung kasar, mungkin sudah berliter-liter. Kami berpacaran sudah hampir setahun. Dalam seminggu, mungkin hanya satu hari kami tidak bertemu dan melakukannya.

"Udah, Yank?" tanyaku seraya memicingkan mata padanya.

"Udahlah, kan kamu yang nyuruh."

"Eh, cepat lihat jam!" Aku menunjuk ke arah jam tangan di lantai.

"Setengah empat, Yank. Hehe."

"Ih, cepat pakai baju. Kita harus cepat keluar sebelum azan!"

****


Entah berapa menit kemudian, kami sudah berada di pinggir jalan raya, bersama sekitar tujuh kardus berisi pakaian. Yah, semuanya adalah pakaianku dan beberapa berkas pendidikanku. 

Azan pun berkumandang. Lega rasanya bahwa kami sudah berhasil keluar kamar dan berdiri di sana. Sekitar lima belas menit kemudian, akhirnya muncul mobil angkutan umum yang tidak berpenumpang. Mobil berwarna putih itu memang memiliki arah ke kota. Rencananya, kami akan mencari kost di kota pada pagi hari nanti.

"Mau ke mana, Dek, malam-malam?" tanya sopir saat kami sudah berada di dalam. Freza duduk di depan, sedangkan aku di belakang. 

"Mau ke kota, Bang. Pindah kost. Kebetulan saya kerja di kota, berangkatnya pagi. Makannya kami harus udah pindah dari sekarang."

"Oh, begitu," jawab Sopir seraya menengok ke arah belakang tempat 'ku duduk. Matanya tampak penuh rasa curiga. Mungkin ia mengira bahwa aku anak kecil. Tubuhku memang terlihat seperti anak SD, meskipun sudah kuliah semester akhir kebidanan.

Setelah satu jam meyusuri sepinya jalan raya dan hawa dingin, mobil yang kami tumpangi akbirnya sampai di kota. Betapa leganya hatiku atas mulusnya rencana kami. Setelah membayar ongkos mobil, kami berteduh di bawah pohon trotoar.

"Masih gelap, Yank. Masih jam lima, tauk," ucap Freza.

"Terus kita tunggu pagi di mana, ya? jawabku.

Kebetulan, di depan kami ada kafe WIFI Telkomsel, aku pun mengajak Tesla untuk duduk di sana. Beruntung, gerbang kafe itu masih terbuka. Saat itu, masih ada beberapa orang yang sednag bermain HP. 

"Alhamdulillah, senangnya. Ponsel saya aja yang saya matikan, ponselmu gak usah. Biar mamaku bisa telpon kamu. Nanti kamu jawab aja gak tau, kalo mama tanya aku di mana. Biar dia gak curiga kalo saya sama kamu sekarang," ujarku, memberi ide padanya.

"Ya udah. Ayank ga mau tidur dulu? Rebahan aja di kursi panjang sini, kepalanya di paha gue," ucapnya.

"Gak, ah ... udah gak ngantuk. Coba Ayank buka internet, deh. Saya mau liat nilai ujian praktek. Lulus, gak, ya?"

"Ayank ajalah. Kan, Ayank yang tau linknya."

Aku pun membuka laptop, lalu segera meluncur link situs kampusku. Setelah beberapa menit mencari namaku, akhirnya aku menemukannya juga. Freza yang sedang rebahan segera kubangunkan.

"Yank, Yank, bangun, Yank. Saya lulus!"

Freza langsung bangkit secepat kilat, lalu menatap layar laptop.

"Wih, iya kamu lulus. Kok, bisa, sih? Bukannya Ayank ga pernah belajar?"

"Yee, enak aja. Kamu kira saya cewek bego, kah?"

"Iya-iya. Ayank, kan, pinter. Makanya gue cinta. Mwuah!" ucapnya seraya mencium pipiku dengan kasar.

Tidak berapa lama, langit semakin menampakan benang-benang putihnya. Kicauan burung terdengar, orang-orang mulai terlihat lalu lalang. Jam di layar pojok laptop menunjukan pukul setengah enam. Sebentsr lagi, ponsel Freza pasti berdering.


"Aku tak akan berhenti ... menemani dan menyayangimu ...." Terdengar suara Ringtone dari ponsel Freza. Benar saja. Baru terlintas dipikiranku, mamah sudah memanggil nomornya.




"