Melangkah Bersamamu
"Halo? Ya, Ma. Ini saya Freza. Kenapa, Ma, kok telpon pagi-pagi?" kata Freza, menjawab telepon mamah.

Aku pun segera berbisik pelan padanya, hampir tidak bersuara, "Freza, bilang gak tau."

Entah apa yang dikatakan mamahku di telepon. Namun, melihat wajah Freza yang mirip orang kesakitan, sepertinya mamah berbicara sambil berteriak.

"Loh, saya gak tau Dzania di mana, Mah. Saya aja tadi lagi tidur."

Kemudian, Freza tampak menunggu mamah selesai berbicara.

"Iya, saya juga dari semalam telpon Dzania, tapi nomornya gak aktif, Ma!"

Freza pun memeatikan telepon benerapa saat setelah pamit baik-baik pada mama.

"Gimana, Yank. Mama bilang apa?"

"Biasa, dia marah-marah. Tapi kayaknya, sih, mama pasti ngiranya kamu gue bawa kabur."

"Iyalah, pasti itu. Mau kabur smaa siapa lagi kalo bukan smaa kamu. Udahlah, mereka juga gak bakal nyariin saya juga. Mmaa emang nangis, tapi gak sampai nyariin saya cepat-cepat."

Akhirnya, aku menyuruh Freza untuk membeli kue buat kami sarapan. Beberapa menit kemudian, Freza datang membawa se-kresek kue beraneka macam. Kami pun sarapan. Setelah kenyang, kami bingung mau mencari tempat kost di mana.

"Yank, kita ke toko, yuk. Udah setengah 8 nih, gue kan harus buka toko jam 8."

"Tapi nanti orang-orang disitu tanya-tanya lagi, kalo lihat barang-barang kita," jawabku.

"Kalo gitu kamu di sini aja dulu. Gue buka toko, terus izin sama bos buat ambil libur hari ini. Nanti gue tanya sama karyawan di situ, siapa tau ada yang punya info tempat kost."

Aku pun menyetujui ide Freza. Aku pun ditinggalkannya sendirian di kafe WIFI tersebut. Setelah setengah jam menunggu, kekasihku yang tampan itu muncul mendatangiku.

"Gimana, Yank?"

"Gue udah izin libur sama bos. Terus gue udah dapat info kost dong. Hehe. Tadi gue tanya Siti, dia bilang disamping kost-nya ada yang kosong."

"Oh, si Siti. Jadi gimana?"

"Ya, kamu disuruh lihat kostnya dulu sana sama Siti."

Akhirnya, aku pun pergi meninggalkan Freza di sana. Aku langsung ke toko untuk menemui Siti.

Sesampainya di toko, aku langsung disambut meriha oleh orang-orang di sana. Maklum, mereka sudah mengenalku sebagai kekasih Freza yang menyenangkan. Menurut penuturan mereka, aku orangnya sangat lucu dan mampu meniru ekspresi siapa pun, ketika bercanda.

"Haloooo, Kak Siti. Hehe. Halooo, Semuanya!"

"Eh, Dzania ... mana si Freza?"

"Gak tau, tuh, katanya mau beli rokok. Hehe. Kak Siti, ada info kost yang kosong?"

"Iya, Nia. Kamar di samoing kost saya ada yang kosong. Yes! Akhirnya kita bida tetanggan, Nia!"

"Tapi di sana ditanyain, gak, kalo saya sama Freza belum nikah?"

"Halah, mereka gak akan ikut campur masalah orang. Tadi juga saya udah bilang kalo kalian suami istri."

Bagus, kalau begitu sudah tidak ada masalah. Aku pun langsung melesat bersama Siti untuk melihta kamar kostnya. Sesampainya di sana, aku langsung memberikan uang sebesar 500.000 rupiah kepada bapak pemilik kost. Kamarnya cukup luas untuk ditinggali kami berdua. Lantainya dari papan kayu, dan itu seperti rumah panggung karena kami ada di lantai atas. Namun, hawanya cukup sejuk karena lokasinya dekat dengan gunung dan sungai besar di kanan kiri.

"Yaudah, ya, Nia. Saya mau jaga toko lagi. Kamu kaapn mau pindahnya?" tanya Siti.

"Sekarang, lah. Yaudah, yuk, kita balik. Nanti saya langsung ajak Freza ke sini.

Kami pun bergegas kembali ke toko dengan menaiki mobil angkot. Cukup dua menit mobil sudah sampai ke tujuan. Kami turun dan langsung berpisah. Aku langsung menemui Freza di kafe tadi.

" Yank, bangun. Malah tidur."

"Eh, gimana, Yank. Udah dapat?"

"Ayo cepat, kita cari mobil buat angkut barang ke sana!"

Setelah itu, Freza pun langsung membawa kardus-kardus berisi pakaian itu ke pinggir jalan, dengan dua kali bolak-balik. Aku hanya duduk manis dan cantik melihatnya.

Setengah jam kemudian, kami sudah berada di dalam kamar kost. Setelah meyusun kardus-ksrdus di sisi tembok, kami langsung rebahan di lantai. Belum ada kasur sama sekali.

"Ah, akhirnya kita bisa tinggal bareng, yaaank ...," ucapku sambil berbaring dan merentangkan tangan ke kanan dan ke kiri.

"Tapi orangtua lu bakal byariin, gak?"

"Udah, kamu gak usah khawatir. Mereka tuh cuma pura-pura prihatin aja. Gak bakal nyariin juga. Mereka pasti tau, kok, kalo saya sama kamu."

Setelah itu, kami mengalas lantai dengan sepray yang kami bawa dari rumah. Kemudian, kami melakukan oenyatuan cinta kembali. Saat itu, rasanya lebih nikmat ketimbang mrlakukannya di kamar secara diam-diam. Mungkin, kami sudah melakukannya selama tiga jam. Karena seingatku, kami sampai di kamar itu sekitar pukul satu siang, sedangkan sekarang sudah pukul lima sore. 

"Hari ini Ayank perkasa banget. Hehe," pujiku padanya.

"Ayank juga. Biasanya ngambek kalo gue gak keluar-keluar."

"Iyalah, kan kemarin-kemarin, kalo main di kamar subuh-subuh. Kalo kelamaan nanti ketahuan Ortu bakal bahaya," jawabku.

Aku pun berencana mengajaknya mandi bersama. Karena setelah kulihat kamar mandi di belakang, betapa luas kamar mandinya dan betapa melimpahnya air yang mengucur langsung dari pegunungan. Airnya terasa dingin seperti es. Kami pun masuk ke kamar mandi dan mandi bersama di sana. 


Hampir satu jam kami berada di dalam. Namun, saat baru beberapa langkah kami keluar, ada seorang emak-emak yang menatap kami denagn tajam. Dia teriak-teriak seperti orang gila.

"Heh, kalian jangan kayak di rumah sendiri, ya! Gak sopan! Kalo mandi itu sendiri-sendiri! Jangan bareng-bareng begitu!"

Kami hanya diam dan terus melangkah ke kamar. "Itu ibu gila, kah. Teriak-teriak sampai orang-orang keluar semua. Lihat, tuh, semua orang jadi tau."

"Udah biarin aja. Mau mandi sendiri atau pun bareng, itu kan hak kita orang!"

Setelah memakai baju, kami memutuskan untuk duduk di taman kota, sambil melihat pemandangan pantai. Namun, saat baru saja beberpaa langkah dari kamar, tetangga di sebelah kamar kami berkata,

"Dek, gak usah dimasukin ke hati kalo ibu itu ngomong. Dia emnag stres. Suaminya selingkuh makanya dia suka teriak-teriak begitu. Orang iri kayak gitu cuekin aja."

"Oh, jadi begitu, toh. Makasih, Bu, yah. Saya juga heran, kok itu ibu-ibu bisa teriak-teriak gitu. Ga ada etikanya," jawabku. Freza hanya senyum-senyum melihat kami.

"Oh, iya, kalian masih muda, ya? Umur kamu berapa, Dek?" kata ibu itu.

"Saya sudah 21, Bu," jawabku.

Tampak kekagetan dinwajahnya. Matanya sedikit melebar dan mulutnya sedikit menganga. Yah, seperti biasa. Orang-orang tidak percaya jika aku mengatakan bahwa umurku sudah 21 tahun.

"Ya ampun, Dek. Ibu kira kamu masih seumuran anak sayax yang masih SMP. Hahaha."


"Hehe. Ibu bisa aja. Ya udah kami oergi dulu, ya, Bu."

"Ya, Nak. Silakan."

Aku dan Freza pun langsung melesat dan pergi dari tempat itu. Begitulah rasanya kalau punya fisik kecil yang mirip anak SMP, bahkan SD. Aku justru takut kalau Freza dicurigai sedang menculik anak sekilah untuk diajak tinggal bersama.

"Saya harus cepat-cepat menikah sama Freza, nih!" batinku.

"