Mobil taksi berhasil mengantarku pada sebuah perusahaan.
Aku membuka dompet mengambil beberapa uang di sana. Aku tidak menghitung berapa yang pastinya aku lebihkan karena Pak sopir sudah membantuku hari ini.
"Ini terlalu banyak, Bu." Ia tampak bingung memegang uang banyak dariku dan akupun tersenyum.
"Ambil saja, Pak. Itu rezeki Bapak hari ini. Nanti setor ke bos sesuai dengan tarif saja. Sisanya Bapak simpan."
"Terima kasih banyak, Bu. Semoga rezki Ibu bertambah."
"Amiinn ... doakan saja semoga misi saya dimudahkan oleh Allah."
Haha, aku masih sempat-sempat request doa. Jelas dong, katanya Allah akan mengabulkan doa hati yang sedang berbahagia, sedih dan marah. Ini saat yang tepat.
Ya Allah, Amin Allahumma Amin.
"Amiin, saya doakan semoga misi Ibu lancar."
Aku tersenyum mengangguk kepala. "Makasih, Pak," ucapku terakhir kali sebelum aku keluar dari taksi.
Kupandangi bangunan yang menjulang tinggi di depanku ini. Sama sekali aku belum pernah menginjakkan kaki di sini, tapi Mas Yuda malah menyuruhku ke sini.
Aku menarik napas pelan lalu masuk ke dalam menemui resepsionis.
"Sore, Mbak. Saya mau ketemu dengan Presdir, ruangannya di mana ya?"
"Ibu sudah buat janji?" tanya Perempuan itu padaku.
"Saya tidak perlu buat janji. Saya diminta langsung menemuinya. Boleh tolong tunjukkan ruangannya di mana?" pintaku padanya. Inilah salah satu hal kenapa aku selalu menghindar untuk datang ke kantor. Proses pemeriksaan sudah layaknya seperti malaikat maut.
"Maaf, Ibu. Jika tidak membuat janji, Ibu tidak boleh sembarang menemui Presdir."
Huft ... Aku berdengus kasar memijat pelipis.
"Aku kakak iparnya presdir." Terpaksa sudah aku membocorkan status kita, Tom.
Tapi aku masih melihat tatapan curiga dari resepsionis itu.
"Pak, tolong bawa wanita ini!"
Aku moleh ke belakang dan ternyata seorang satpam sudah menarik paksa tanganku.
"Hei, jangan terlalu kasar padaku!" hardikku padanya.
"Ibu harus segera meninggalkan tempat ini!" Satpam itu malah menyeretku keluar tanpa menunggu penjelasanku dulu.
Sialan! Lagi-lagi hari ini apes. Kenapa seberat ini hidupku? Ampuunnn.
"Aku pergi, tapi tolong jangan ditarik lengan saya, Pak. Sakit," keluhku padanya. Iapun luluh dengan wajah melasku dan berhasil melepaskan tanganku. Lebih baik aku mengalah daripada menghabiskan energi di sini, sama orang yang sama sekali tidak penting bagiku. Yang ada aku harus minum obat karena tenggorokanku kering.
Aku berjalan keluar, berdiri tepat di depan pintu masuk, aku mengeluarkan ponsel dari tas kemudian menghubungi Presdir.
Awas saja kalian. Seenaknya mengusirku keluar. Aku masih memiliki dendam pada mereka. Hatiku hareudang.
"Tom, jemput Kakak iparmu ini dong."
"Di mana?"
"Di bawah ni, tadi—."
"Naik aja ke atas," potongnya dengan secara sebelum aku menjelaskan padanya. Kebiasaan dia mulai kumat lagi, darahku semakin mendidih.
"Oii Tom and Jerry, Kakak iparmu udah diusir sama satpam. Mana bisa masuk lagi," cerocosku padanya. Duh asli kesal banget hari ini.
"Sayang, kenapa?" Nah suara itu lagi. Walaupun kesal tapi rindu. Tommy pasti langsung menyerahkan ponselnya pada Mas Tama saat mendengar aku memanggil Tom and Jerry. Itu menandakan puncak kesabaranku sudah berakhir sudah.
"Aku di luar, Mas. Gak diizinin masuk. Sedih banget," rajukku manja. Nada suaraku otomatis berubah dengan sendirinya.
"Tunggu di situ! Biar Mas yang jemput."
"Oke." Aku tersenyum sumringah. Mas Yuda akan menjemputku, setidaknya aku tidak lagi dipermalukan oleh resepsionis sama satpam itu.
Duh, jika diingat saat diseret keluar tadi aku sudah seperti orang minta sumbangan, oh atau mungkin seperti pelakor datang ke kantor. Dramatis banget. Ikan terbang oh ikan terbang.
"Bu, ngapain masih di sini? Sana pergi!" Nah suara Bapak-bapak berseragam putih itu lagi. Mengagetkan saja.
"Aku nunggu suami saya, Pak," jawabku masih dengan nada rendah. Bersikap kalem agar Mas Yuda tidak malu memiliki istri sepertiku.
"Hahaha ... suami Ibu? Siapa, Kakaknya Presdir kita? Jangan mimpi, Bu."
Dadaku semakin panas mendengar hinaan dari Satpam itu. Didikan siapa sih sampai ada bawahan menghina orang seperti itu? Bahkan semenjengkelkan Tommy sekalipun, dia tidak pernah menghina orang sampai segitunya.
"Salwa Zahrina, tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan perlahan-lahan. Lakukan kembali sampai tenang. Jangan sampai kamu terpancing, dalam hitungan menit orang yang merendahkanmu akan kena mental," batinku terus menyemangati diri sendiri.
"Sayang." Nah itu dia suara yang kunantikan kehadirannya.
"Mas." Aku melambai tangan, tersenyum genit padanya.
"Pak, ini istri saya."
Nah, nah, syok batin kan? Kena mentalkan? Makanya jangan menilai buku dari covernya.
"Maaf, Pak, Bu, saya tidak tahu." Aku melihat Satpam itu menekuk wajah bersalahnya. Aku mengangguk pelan lalu merangkul tangan Mas Tama.
Tidak hanya Satpam yang dibuat kaget, ternyata Resepsionis yang mengusirku juga sama. Aku meliriknya dengan anggun, lengkap dengan senyum manis.
Haha, sebenarnya aku sedikit pamer sama mereka. Lihat saja tanganku yang mendekat erat dan tak jarang aku bersandar di lengan kokoh itu.
Duh, kenapa ketika seperti ini aku malah membayangkan ketika Mas Tama tidak pakai baju? Perut sixpack, lengan berototnya. Iklan L-men banget dah.
"Sepertinya hari ini lelah banget?" tanya Mas Tama padaku, mengusap kepalaku lembut. Tinggiku hanya sedadanya membuat Mas Tama bermain di kepalaku. Tangannya selalu saja mengusap lembut, sangat lembut, bahkan jika dia melupakan untuk mengusap kepalaku, langsung aku protes saking ketagihan dengan belaiannya.
Aku mengangguk lemas. "Capek banget. Tapi gak sia-sia. Aku punya dua informasi panas hari ini." Aku menarik turunkan alis sombongku padanya. Dia malah terkekeh mencubit hidungku.
"Bu kombes memang luar biasa."
"Siapa dulu suaminya? Pak kombes Pratama." Aku tersenyum memeluknya dari samping. Tak ingin lepas sampai lift yang kami naiki tadi terbuka.
Cup!
Ah, kecupannya di keningku, bikin meleleh.
"Ayo! Di ruangan Tommy sudah ada yang menunggumu."