Bab 1
"Eh, aku ada berita terbaru ni, si Ana mau kawin minggu depan, kalian pada diundang gak?" cetus Lulu.

"Enggak tuh. Kamu tau dari mana, Lu?" tanya Irma penasaran.

"Suamiku yang ngasih tau. Calon suaminya kan kerja di tempat suamiku."

"Berapa maharnya?"

"Haha, yang pasti gak segede akulah."

"Berapa? Ah, kamu mah bikin kita penasaran."

"Iya nih, Lu."

"10 gram emas. Itupun suamiku yang tambahin biar genap 10, kasihan mau nikah tapi gak cukup mahar. Lagian sih si Ana minta mahar gede pisan sama anak orang, gak liat dirinya kayak apa, cuma tamat SMA, gak kerja, gak tau diri amat," cerocos Lulu. 

"Hahaha ... Kita mah ala kadar aja," sambung Irma terkekeh.

"Ala kadar tapi dihadiahin mobil sama suami, huu," Meri melirik sinis lalu terkekeh.

"Hahaha ... Cari suami itu kudu kaya, kalo gak mana mungkin bisa menuhi keinginan kita. Tapi kudu liat juga diri kita sendiri, jangan udah jelek, kere terus ngimpi punya laki kaya. Kudu pelet baru dapat." 

Aku sama sekali tidak merespon apa yang mereka bicarakan. Sesekali membalas dengan senyuman jika mereka melihatku dan juga anggukan kepala bila bertanya tentang pendapat.

Huft ... Sungguh membosankan setiap tahun reunian hanya membicarakan persoalan suami, mahar dan kekayaan.

"Salwa, kamu kapan nikah?" tanya Meri menatapku.

"Salwa tinggi style, dia gak mau yang biasa-biasa aja," jawab Irma sebelum aku menjawab.

"Pilih boleh tapi ngaca juga. Kalo tampang pas-pasan mah jangan harap dapat yang tajir, ya gak?" tambah Lulu. Aura kesombongannya terlalu memancar. Pernikahannya dengan seorang manager membuatnya semakin tinggi dan tak jarang memandang orang lain kecil.

Aku tersenyum miring, bersikap santai sambil menyeruput jus.

"Doakan saja yang terbaik," jawabku santai.

"Gimana kalo aku carikan calon suami untukmu?" tanya Irma menawarkan. 

"Hooh, bener tuh, daripada kamu gak nikah-nikah di sini ... Semua orang sudah pada pakai cincin nikah, tinggal kamu yang belum," tambah Meri.

Aku kembali tersenyum melihat mereka begitu antusias.

"Siang semuanya." Terdengar suara pemilik dari orang yang dibicarakan tadi. Dia, Ana.

"Nah, yang diomongin akhirnya datang juga, sini duduk!" Meri bersemangat menarik kursi untuk Ana.

"Ada apa? Kalian kayaknya heboh banget?" tanya Ana melihat kita semua.

"Kamu nikah kenapa gak undang kita?" cetus Irma pada akhirnya.

"Baru aku mau undangan ke kalian." Ana mengeluarkan undangan dari dalam tas lalu membagikan pada kami semua.

"Suamimu SE?" tanya Meri saat membaca gelar di belakang nama mempelai pria.

"Iya." Ana mesem-mesem.

"Baik juga dia, gak mandang harus setara. Biasanya yang sarjana kudu yang sarjana yang SMA ya sama-sama SMA." Ucapan Meri terlalu menohok hingga membuat Ana tersenyum kecut.

"Berarti aku gak boleh mimpi punya suami sarjana dong?" potongku dengan cepat.

"Mimpi sih boleh, tapi jangan tinggi-tinggi amat! Jatuh ke rawa-rawa sakit loh," jawab Lulu dengan cepat. Aku hanya tersenyum manis. Lulu memang kerap menjatuhkan siapapun yang bermimpi.

"Rezeki aku dapat suami seorang sarjana," ucap Ana lebih percaya diri.

"Itu memang rezekimu. Terus kamu gimana Wa?" 

Aku tergeming saat mereka menanyakanku lagi. "Yang sudah ada dulu."

"Wa, jangan mikir lagi! Terima aja siapapun itu. Kita cuma tamat SMA gak bisa milih jauh, yang biasa-biasa saja." Ana menyuarakan.

Aku kembali tersenyum mengangguk pelan.

Drrttt ...

"Hp siapa yang bunyi."

"Hpku." Aku tersentak dalam lamunan, segera aku mengambilnya.

"Sebentar ya!" Aku tersenyum izin pada mereka. Mencari tempat sepi baru aku geser tombol hijau di layar ponsel.

"Balik jam berapa?"

"Bentar lagi."

"Mau dijemput?"

"Nggak usah, aku pulang naik taksi."

"Ya udah hati-hati. Aku tunggu di rumah."

"Ok. See you."

Aku tersenyum menghampiri mereka lagi.

"Hmm ... Hp baru kayaknya." Itu Lulu, ia sangat jeli.

"Hah, ini?" Aku malah terkekeh kikuk.

"Iphone 13 pro max ya? Kaya banget kamu bisa beli tu hp sultan. Dapat uang dari mana?" Meri mulai memburuku dengan sederet pertanyaan.

Dari tadi aku duduk di sana malah fokus pada Hp apa mereka tidak fokus pada I watch, tas sama perhiasan yang aku pakai juga?"

"Emmm ... Pasti KW. Sama tuh kayak yang dipakainya sekarang, perhiasan xuping, tas kw, kan mana sanggup dia beli barang-barang mahal. Kerja apa dia, cuma tamat SMA." Sekarang Irma. Istri pengusaha ini mulai ikut-ikutan Lulu. Mulut pedas naudzubillah, minta di sleding.

"Hahaha kasian juga ya, demi keliatan high class biar bisa gabung sama kita-kita kamu rela pake yang kw-kw ya," cebik Lulu tertawa ejek.

"Wa, kalau kamu gak punya uang jangan menghayal terlalu tinggi, jatuh sakit. Gak perlu lah di depan kita tutupi miskin biar keliatan kaya," imbuh Meri. Istri pejabat ini juga sama. Omongannya mulai merendahkan orang lain.

"Mending noh kayak Ana, dia tau diri banget, tau gak punya uang gak bergaya terlalu tinggi," cebik Lulu lagi. 

Aku membalas dengan senyuman kalem.

"Kalian mau liat berlian asli gak? Ni kutunjuki." Irma dengan bangganya memperhatikan cincin dan gelang yang dipakainya. 

"Wah, cantik banget."

"Kamu mah wajar bisa beli toh istri sultan." Lulu selalu memberi penegasan pada kata istri sultan semberi melirikku.

"Aku juga baru dapat hadiah anniv dari suamiku." Meri menunjukkan I watch di tangannya. "Ini asli loh ya, gak kayak yang dipakai Salwa. Ops ... Maaf Salwa, gak bermaksud merendahkan."

Mereka semua menyengir kuda, lagi-lagi aku harus menarik napas dalam-dalam menahan diri untuk tampil tetap anggun.

"Cara kita jadi kaya banyak, pertama ngepet, kedua jual diri, ketiga dapat suami tajir," kekeh Lulu. Mereka semua mengangguk ikut tertawa.

"Kamu kalau mau kaya tinggal pilih mau ngepet apa jual diri ke om-om." Kali ini Lulu benar-benar keterlaluan. Ucapannya sungguh tidak bisa ditolerir lagi.

"Kalian gak boleh kayak gitu. Salwa teman kita loh." Ana membela.

"Hahaha ... Ini dunia sayang. Gak bisa dengan mudah tampil kaya kalau gak ada usaha. Jual diri termasuk usaha juga loh."

Aku menggepal tangan melihat Lulu yang semakin frontal.

"Ide yang bagus. Sebaiknya aku harus coba itu." 

Mereka berempat malah menganga atas jawabanku. Iya, sengaja aku jawab asal-asalan.

"Aku pamit pulang dulu." Akhirnya aku beranjak bangun. Telingaku sudah sangat panas.

"Mas, ini semua karnamu. Aku menanggung hina mereka demi misimu. Awas aja kalau gagal," batinku.