"Mas, ini gara-gara kamu. Kesel, kesel, kesel," gerutuku masih sebal.
"Eh?!" Langkah kakiku terhenti mendadak saat melihat sosok gadis yang kukenal masuk dari pintu depan restoran.
"Loh, loh, loh, dia ke sini. Waduh, harus sembunyi. Mana ni tempat sembunyi." Aku panik celingukan mencari tempat persembunyian saat melihat Uli semakin mendekat. Untung ada dinding entah mengarah ke mana, yang pasti aku harus kabut.
Jangan tanya napasku, asli ngap-ngapan. Berkali-kali aku menarik napas lalu menghembus pelan. Begitu agak enakan baru kembali aku menoleh ke belakang, mencari Uli. Kuedarkan semua pandangan hingga berhasil tertangkap sosok gadis yang kini sedang duduk di meja paling sudut.
"Ngapain dia ke sini?" Aku masih kepo dengan sosok laki-laki jakun yang sedang bersamanya.
"Weh, weh, apa-apaan itu?" Aku mulai panik saat melihat tangan laki-laki itu menggenggam lembut tangan Uli. Penuh cinta, feelingku mulai tidak enak.
"Raka, hari ini kamu berhutang banyak padaku." Aku tersenyum miring merogoh tas lalu berhasil mengambil kacamata hitam.
Segera aku memakainya lalu berjalan mendekat, tepat di sebuah meja kosong aku langsung duduk, membuka buku menu makanan lalu menutupi wajahku. Kekepoanku naik berkali-kali lipat. Semua panca indraku terbuka lebar, dari indra pendengar, indra penglihat, indra Bekti, indra bakti, loh kenapa melenceng? Ah, sudahlah. Urusan indra nanti saja, masalah sekarang lebih penting.
Tunggu, aku melupakan sesuatu. Sebagai mata-mata aku harus perfecto. Aku kembali merogoh tas, mengambil ponsel boba yang disangka KW, lalu kuarahkan pada mereka, tentu dengan siasat, menutup dengan buku menu dan hanya menonjolkan kamera. Keren bukan?
"Mas, kali ini kamu harus memberiku pujian." Aku tersenyum licik, begitu melihat laki-laki itu menggenggam tangan Uli, langsung saja kuptoret.
Eits, sepertinya video lebih menyayat hati Raka.
Tanganku iseng menekan tombol video lalu merekam adegan romantis mereka.
"Alamak, apa itu?" Aku membelalak saat melihat laki-laki itu mencium kedua tangan Uli silih berganti.
"Sialan, mereka ngomong apa sih?" Gemas sendiri rasanya sudah berjuang untuk duduk mendekat tapi mereka malah ngobrol pakai volume 20%.
Hello, Uli, gedein volume dikit napa? Aku sama sekali gak bisa denger ni.
Drrrttt ....
"Astagfirullah, kenapa malah bunyi sih?"
"Eh, dari Mas Tama?!" Segera kutekan tombol hijau begitu melihat tulisan Mas Tama is calling.
"Ya, halo Mas."
"Lagi di mana? .... Kenapa bisik-bisik?"
Ya ampun, Mas. Telingamu sangat sensitif, hal sekecil ini aja kamu langsung peka.
"Masih di restoran."
"Belum selesai juga arisannya?"
"Bukan arisan Mas, tapi reuni. Aku sudah pamit sama mereka tapi tersangkut sama rahasia baru." Aku tersenyum miring mulai memancing kekepoan dari Mas Tama.
"Kalau sudah selesai cepat kembali."
"Baiklah."
Sambungan telpon mendadak putus, lalu aku melirik kedua sejoli itu lagi. Masih sama tersenyum mesem-mesem, bibir tergerak suara tidak ada, bukan bisu tapi akunya saja yang tidak bisa mendengar.
Jadi kamu tuli Salwa zahrina?
Eits, ati-ati! Telingaku masih on, hanya saja suara mereka terlalu pelan. Ampun dah!
Akhirnya kuputusankan untuk meninggalkan mereka. Masih dengan kacamata, aku menutup mulut dengan tisu berlagak seperti orang sedang flu, ini semua agar tidak ada yang mengenalku, bisa brabe. Tolong tim medis, jangan sangka aku covid!
Pucuk dicinta ulampun tiba. Aku tersenyum smirk saat melihat sosok yang sedang kucari masuk ke dalam taksi.
Kali ini aku tidak boleh melewatinya. Aku juga segera masuk ke dalam taksi yang sudah kupesan tadi.
"Pak, ikuti taksi yang di depan. Ingat jangan sampai ketahuan," titahku pada Supir taksi.
"Baik, Bu."
Mobil perlahan jalan, mataku masih lurus memandang mobil taksi di depan, fokus tanpa berkedip aku tidak ingin kehilangan jejaknya.
Suasana jalan terlihat lenggang semakin memudahkan ku untuk fokus.
"Pak, pelankan mobilnya! Sepertinya mobil di depan mau berhenti," kataku padanya saat melihat mobil di depan sudah menyalakan lampu sein. Aku tidak ingin berhenti mendadak, lebih baik jalan pelan agar tidak menimbulkan curiga pada empunya.
Pupilku seketika membesar ketika melihat mobil taksi pergi dan malah disusul oleh sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Ia menoleh ke belakang spontan aku menunduk.
"Apa yang dia lakukan?" batinku mengernyit kening saat melihat dia sudah berhasil masuk ke dalam mobil.
"Pak, ikuti mobil itu lagi!"
Rasa penasaranku sudah semakin meronta-ronta. Perempuan yang kusangka kalem ternyata malah semakin mencurigakan apalagi dengan menukar mobil. Ini bukan hal biasa, apa tujuannya? Kenapa dia harus turun di tempat sepi kemudian naik mobil mewah?
Mataku terus tersorot ke depan mengikuti arah mobil.
Drrrttt ...
"Sialan, kenapa di saat seperti ini aja yang telpon sih?" gerutuku kesal. Fokusku langsung buyar begitu mendengar suara telpon.
Aku merogoh tas asal-asalan tanpa melihat isi tas karena saat ini aku tidak ingin kehilangan mobil di depanku.
Berhasil. Aku menekan tombol hijau begitu saja, tentunya aku tidak melihat nama yang tertera di sana.
"Halo, ada apa?" tanyaku sedikit ketus.
"Kenapa suaramu ketus begitu?"
Ya ampun. Maaaasss! Geramku memijat pelipis. Ini manusia bentar-bentar telpon, nada suara beda dikit langsung protes.
"Nanti kita ngobrol. Ada yang penting. Aku gak bisa kelewatan," pungkasku langsung memutuskan panggilan sepihak.
Terserah mau ngomel sampai di rumah. Yang penting aku harus fokus dulu. Enak saja dia menggagalkan rencanaku, eh bukan ini misi dia.
Aku kembali heran saat melihat mobil sudah masuk ke komplek perumahan elit.
"Pak, pelankan mobilnya!" titahku pada Pak sopir. Setiap lampu sein dinyalakan aku sudah wanti-wanti, entah belok ataupun berhenti intinya aku sangat jeli.
"Mas makasih atas didikanmu. Gak sia-sia," batinku tersenyum kecil.
"What? dia masuk ke dalam rumah itu?" pekikku tersentak saat melihat mobil yang kuikuti masuk ke dalam sebuah rumah besar yang dijaga oleh beberapa bodyguard. Aku tak ingin melewatkan kesempatan, langsung saja aku mengarahkan kamera boba pada rumah itu.
Satu, dua, tiga. Berhasil sudah aku mengambil beberapa foto.
Aku tidak tahu jelas nama perumahan ini, tapi aku tidak kehabisan ide, segera kutekan share loc yang ada di whatsapp, aku mengirim pada seseorang yang dari tadi menggangguku. Aku berharap dengan share loc ini bisa lebih mudah menemukan alamat setelah aku pergi dari sini.
"Pak kita kembali."
"Baik, Bu."
Drrrttt ...
Ponselku kembali berbunyi. Kulihat Mas Tama is calling ...
Sudah feeling, setiap aku mengirim pesan tidak jelas padanya langsung ditelpon.
"Iya, Mas." Suaraku sudah super lembut. Please, jangan tanya kenapa lagi suaraku begini. Ini demimu biar tidak cerewet lagi.
"Alamat siapa yang kamu share?"
Sudah kuduga.
"Nanti kujelaskan. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke sana."
"Baik. Hati-hati. Kalau ada apa-apa hubungi, aku tidak ingin kamu kenapa-napa."
Uuu ... sosweetnya kamu, Mas. Giliran kata-kata manis hatiku langsung berbunga-bunga, setidaknya bisa mengobati rasa kesalku hari ini.
"Iya. Tunggu aku."
Aku memutuskan panggilan darinya lalu kupandangi gambar yang sudah berhasil kuambil.
"Siapa sebenarnya kamu?"