Agung
Sinar 2
------------

"Aaaa toloooong!" aku terkejut setengah mati, melihat balita dililit kain dan digantung di tengah rumah.

Orang-orang segera berdatangan berkerumun ingin tahu ada apa.

Dengan pucat pasi ku tunjukkan apa yang membuatku terkejut. Mereka semua kompak tertawa dan geleng-geleng kepala.

Jadi tambah bingung, segera ku minta penjelasan pada Bu Ucup. Kenapa Bayinya 'digantung?'

Oalah Sinar itu kan cuma diayun. Bapukung namanya, kebiasaan orang banjar. Seperti ayunan biasa tapi anak diposisikan duduk dan kepalanya ditahan dengan kain lagi.

Oh iya lupa disini banyak orang banjar, melayu dan bugis. Pengalaman baru yang mendebarkan sekaligus memalukan.

Maksud hati mau ikut ke kamar mandi malah bikin sport jantung, untung saja gak kencing di celana. Segera pamit ke kamar mandi sekalian cuci muka biar fresh.

Tujuan ke rumah pemilik kontrakan untuk minta izin pindah tempat. Alhamdulillah masih ada yang kosong di tengah, lumayanlah daripada pemandangan kuburan setiap hari di depan mata.

Aku bukan penakut hanya saja nanti kalau lihat mahluk gaib gimana, bisa jantungan. Kebiasaan bangun sebelum subuh masih menjadi rutinitas.

Udara segar bisa ku dapat dari pintu depan dan belakang, toh kontrakan ini tidak terlalu besar cuma satu kamar, ruang tamu dan dapur saja.

Alhamdulillah aku bisa beradaptasi dengan baik tidak ada masalah berarti. Air minum yang masih menjadi kendala, disini air hujan ditampung dalam sebuah drum. Setiap rumah memiliki beberapa drum, persediaan yang sangat berarti untuk musim kemarau.

Kebutuhan air untuk kegiatan sehari-hari ada air pompa gratis di persimpangan sekolah dekat masjid Agung. Ada juga yang mandi di kali, kalau disini disebut parit.

Banyak sekali parit disini, sampai nama tempat dikasih nama parit satu, parit dua, parit tiga dan seterusnya. Untuk mempermudah menyebutkan tempat karena belum ada namanya.

Masih banyak hutan, sebagian berganti menjadi kebun kelapa, dan pinang, perahu digunakan untuk transportasi antar parit.

Penghasil kelapa terbanyak di Provinsi Jambi membuat penduduk Kuala Tungkal menjadikan berkebun menjadi mata pencaharian selain nelayan. Kelapa diolah menjadi kopra untuk selanjutnya diproses menjadi minyak kelapa. Minyak kelapa membuat masakan lebih harum dan gurih.

Tak jarang ibu-ibu dari kampung berkeliling menjajakan minyak kelapa yang sudah dikemas ke dalam botol. Harganya terjangkau karena langsung dari tangan pertama.

Minyak kelapa juga dijadikan minyak rambut buat anak-anak disini. Wajar saja rambutnya pada lebat dan hitam.

Hari ini ada acara milad kantor, berbagai lomba diadakan antara lain lomba memasak, volli dan catur. Sebagai orang baru tentu saja aku diminta aktif.

Namaku terdaftar pada acara lomba masak dan bola voli. Untuk lomba masak, temanya 'cemilan praktis dan mengenyangkan.'

Segera ku siapkan bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan. Kemarin pulang kerja sudah mampir ke pasar membeli bahan-bahan yang diperlukan.

Ku iris ubi kayu memanjang, dikasih bumbu, diguncang sebentar biar bumbunya merata, didiamkan hingga meresap sambil menunggu minyak panas, digoreng hingga empuk dan ditiriskan.

Segera ku tata di piring yang sudah disiapkan garnis di sekelilingnya. Ubi kayu balado, sederhana, spicy dan mengenyangkan, menu favorit keluarga.

Alhamdulillah Bos dan istrinya sangat menyukai masakanku, juri memberikan posisi pertama padaku. Juara satu, alhamdulilah.

Hadiah yang kudapat sejumlah uang dan peralatan memasak. Sesuatu yang sangat kubutuhkan saat ini. Alhamdulillah ya Allah Engkau maha pemurah.

Saat pulang aku sedikit kerepotan membawa hadiah, dihampiri teman kerja laki-laki mereka silih berganti menawarkan bantuan. Kutolak secara halus dengan alasan dekat, jujur saja aku masih trauma dengan lelaki.

Jalan kaki menjadi pilihanku, sambil mengenal lingkungan sekitar dan berdzikir sepanjang jalan.

Saat berjalan, ada yang menghampiri dan menawarkan membawa bawaanku yang lumayan berat. Sudah ditolak namun dia bersikeras, kami searah alasannya. Baiklah.

Sambil berjalan, lelaki itu memperkenalkan diri. Agung, seorang lelaki yang tinggi, tegap, murah senyum dan lumayan tampan. Eh kok jadi detail gini ya memperhatikan.

Sesampai di depan kontrakan, Agung meletakkan barang bawaanku di depan pintu kemudian berpamitan. Belum sempat mengucapkan terimakasih.

Mungkin lain kali kami bisa bertemu kembali, tetangga ini. Segera kuketakkan barang bawaan di belakang, saatnya istirahat dan mempersiapkan stamina untuk ikut lomba voli.

Olahraga adalah hobiku walaupun tinggi cuma 155cm aku cukup lincah bermain basket dan voli sejak sekolah. Alhamdulillah selalu menang, semoga besok juga.

Pagi ini aku mengenakan celana panjang dan kaos olahraga. Tidak pantas rasanya kalau mengenakan celana pendek walaupun saat berolahraga karena kantorku menaungi urusan umat dan otomatis menjadi panutan masyarakat.

Alhamdulillah teman-teman mengenakan celana panjang, ada juga yang selutut. Pertandingan berlangsung seru, banyak yang nonton maklum masyarakat di sini jarang ada hiburan.

Menjadi pusat perhatian sudah biasa saat pertandingan. Kelincahan dan keakuratanku dalam menservis membuat pihak lawan menyerah.

Kegembiraan dan keceriaan hari ini perlahan membangkitkan semangatku untuk hidup lebih baik untuk menata masa depan. Kekompakan dan kebersamaan ini membuat kami cepat akrab.

Bertemu kembali dengan Agung saat pulang kerja membuatku penasaran. Di sela obrolan kutanyakan tentang kesibukannya. Seorang guru agama di sekolah dasar dan madrasah Tsanawiyah, masih melanjutkan kuliah.

Seorang pekerja keras, itu yang tertangkap olehku. Dia tidak banyak berbasa-basi hanya bicara seperlunya. Terkesan pendiam atau karena kami baru kenal? Entahlah.

Agung seorang anak lelaki pertama di keluarganya. Memiliki semangat yang sama denganku untuk menyekolahkan adik-adiknya membuat kami cepat akrab.

Dari sekian banyak lelaki yang mendekatiku di sini, hanya Agung yang tidak berlebihan namun dia selalu hadir setiap aku membutuhkan pertolongan. Apakah dia malaikat penolongku?

Asisten Bos mendatangi meja kerjaku. Ada apakah gerangan?

"Bu Bos minta resep masakan yang kemarin. Bos minta dibuatkan tapi Ibu gak tahu bumbunya."

"Oh begitu, besok saya buatkan saja ya. Ini resep kelurga."

Asisten Bos menyerah, akhirnya meninggalkanku.

Resep keluarga, resep punya Mamak, aku harus minta izin dulu sama beliau. Oh iya sepulang dari kantor aku akan mampir ke pasar, belaja kebutuhanku dan belanja buat Mamak di Jambi. Setiap habis gajian, rutin ku kirimkan sekarung beras, berpuluh-puluh kelapa dan bertandan pisang.

Hasil kebun itu yang sangat murah disini, berbanding terbalik dengan sayuran harganya lumayan mahal. Wortel, kentang, buncis, cabe dan lainnya menjadi sangat berharga.

Sebagian masyarakat memanfaatkan cabe kering buat memasak, lebih awet dan lebih murah. Masih ada alternatif sayuran hasil kebun sampingan seperti timun, kacang panjang, daun pucuk ubi, daun labu dan sebagainya.

Harus pintar mengolah dan memutar otak agar tidak bosan. Hasil laut disini sangat berlimpah, rasanya manis dan gurih karena sangat segar langsung dijual para nelayan.

Tidak ada ikan lele, adanya ikan sembilang, serupa tapi tak sama. Untuk rasa tentu saja lebih gurih. Surga seafood pokoknya.

Daging hanya dijual saat mau lebaran biasanya hanya daging sapi. Untuk kambing nunggu ada yang aqiqoh atau hajatan. Kalau ada hajatan, disini seperti pesta makan, semua diundang tanpa terkecuali dan bisa makan sepuasnya. Kebersamaan yang menyenangkan.

Beberapa lelaki masih kekeuh mendekatiku, ada Ghofur bekerja di perusahaan asuransi milik pemerintah keturunan India berhidung mancung, rambut keriting dan hitam manis, Irwan seorang guru asli jambi berkulit putih, rambut lurus dan sedikit botak. Abu, Sa'id, Tamrin, dan lainnya. Entahlah aku belum bisa membuka hati. Semua kuanggap teman biasa saja.

Tak lupa kutitipkan surat dan uang buat Mamak di Jambi sekalian meminta izin memberikan resep masakan yang ditanyakan Ibu Bos. Semoga diizinkan, hal sepele namun bermakna.

Agung menunggu di depan rumah, ada apakah gerangan?

"Ada apa mencariku?"

"Ada yang ingin kubicarakan," jawabnya singkat.

"Tak bisakah nanti sore saja, aku capek baru pulang."

"Ini penting, aku hanya ingin menyampaikan saja setelah itu silahkan istirahat."

"Baiklah, kita bicara di luar, tak enak dilihat orang."

Beberapa kali orang yang lalu lalang memperhatikan kami berdua, cukup membuatku tidak nyaman. 

"Ayo cepat katakan, ada apa?"

"Mmm begini, Mamakku ingin aku segera menikah, berkali-kali dijodohkan tapi belum ada yang cocok."

Allaah apalagi ini, kenapa terulang kembali, pernyataan serupa.

"Terus apa hubungannya sama aku?"

"Kamu berbeda dari gadis-gadis yang diperkenalkan sama Mamak. Aku suka."

Benar ternyata arahnya sama. Ya Allah aku belum siap.

"Maksudnya gimana?" tanyaku ingin memperjelas, agar tidak terjadi salah paham.

"Mmm maksudnya begini, mau tidak menjadi istri, ibu dari anak-anakku?"

Kulihat keseriusan di mata Agung, tidak ada canda disana. Oh aku harus apa.

"Sudah, aku hanya mau bilang itu, sekarang pamit dulu. Besok aku kesini lagi," Agung pamit.

Aku hanya diam, mereka-reka apa yang sedang terjadi. Akak sudah menikah setahun yang lalu dengan seorang lelaki yang mengurusi izin usaha. Haruskah sekarang giliranku? Bagaimana adik-adik? Sudahlah, lebih baik sekarang aku bersih-bersih diri dan istirahat. Dipikir nanti.

Komentar

Login untuk melihat komentar!