"Sinar, maukah kau menikah denganku?" Rasyid tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang tak terduga.
Aku terdiam mematung beberapa saat. Apa-apaan dia, kenapa tiba-tiba?
"Aku masih sekolah, masih harus mewujudkan cita-cita." Jawaban itu yang keluar dari mulutku.
Rasyid menunggu kelanjutan jawaban namun aku cuma bisa diam. Sebenarnya aku sangat senang, bahagia sekali rasanya orang yang kucintai melamarku serasa dunia hanya milik berdua. Namun aku tak boleh egois, adikku tujuh orang mau dikemanakan? Ah dilema.
"Sinar, Ibuk menginginkan cucu sebelum waktunya habis di dunia. Aku tak bisa menunggu. Sudah banyak alasan yang kuberikan, tapi kemarin Ibuk menangis memohon segera diberikan menantu," ujar Rasyid dengan kecewa.
Aku sendiri bingung mau bilang apa. Rasyid tahukah kau, aku pun menginginkanmu namun kondisi tak memungkinkan saat ini. Akak sudah berkorban tidak meneruskan sekolah, setiap hari memasak dan mengurus rumah bersama Mamak. Aku dan adik-adik harus tetap bersekolah di tengah keterbatasan ekonomi kami.
"Ku mohon, mengertilah Rasyid kondisiku tidak memungkinkan," jawabku pasrah.
Rasyid mengusap sudut matanya, apakah dia menangis? Suasana bahagia seketika berubah menjadi sesedih ini.
Kebahagiaan bersama Rasyid atau meraih cita-cita untuk menyekolahkan adik-adik membuatku serba salah.
"Menikahlah, jangan tunggu aku." Aku berlari meninggalkannya, lelaki yang sudah mewarnai hariku selama satu tahun ini.
Rasyid adalah cinta pertama dan ku harap yang terakhir. Hubungan kami selama ini hanya sebatas berbalas surat dan bertemu sepulang aku sekolah, bila ada yang ingin dibicarakan. Terkadang kubawakan rantang berisi makanan buat makan siangnya di kantor.
Rasyid, haruskah aku kehilanganmu? Ah iya rantang kemarin belum dikembalikan. Biasanya dia mengembalikan langsung ke rumah.
Mamak dan Bapak tahu hubungan kami. Tak melarang juga tidak berkomentar. Karena mereka tahu, aku tak akan gegabah.
Sinar, nama yang diberikan orangtua dengan harapan; kehadiranku bisa memberikan sinar bagi keluarga kami.
Sembilan bersaudara, keluarga besar bukan hal aneh di zaman ini. Setiap anak memiliki tugas masing-masing. Karena aku sekolah dan sudah besar, kebagian tugas mencuci dan menyetrika.
Mencuci kulakukan setiap hari jum'at, sedangkan menyetrika kulakukan setiap ahad. Hanya baju sekolah dan baju khusus yang disetrika. Yang lain cukup dilipat saja.
Biasanya aku melipat baju setiap hari sepulang sekolah. Baju yang yang perlu disetrika dikumpulkan di satu keranjang. Malam waktu untuk mengerjakan tugas dari sekolah.
Malam ini aku lebih banyak merenung. Menyiapkan hati bila harus kecewa. Tak mungkin bagiku minta nikah saat ini, Akak saja belum menikah. Bagaimana pula nasib adik-adikku nanti. Setelah menikah, suamilah yang paling berhak atas diri seorang perempuan.
Dari kecil setiap ditanya apa cita-citaku. Selalu kujawab kerja kantoran. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi Bidan, menolong orang melahirkan sangat menarik di mataku. Pekerjaan mulia yang tidak banyak orang bisa melakukannya. Setelah tahu biaya yang dibutuhkan cukup besar, ku urungkan niat.
Sekarang aku bersekolah di PGA pendidikan guru agama. Aku tak berbakat menjadi guru, kurang sabar dalam mengajari namun sekolah ini yang bisa kujalani. Biarlah nanti Allah yang menentukan persinggahan kerjaku dimana. Insya Allah diberikan yang terbaik, aku percaya.
Rasyid mengembalikan rantang makan tadi pagi setelah aku berangkat sekolah, tepat dua minggu setelah pertemuan terakhir kami. Bapak mengusap bahuku, memberi kekuatan sambil memberikan sepucuk surat dan sebuah undangan.
Rasyid menikahi sahabatku. Sahabat karib yang selalu menemani saat kami bertemu. Hancur sudah hatiku. Terluka dan terbakar amarah pengkhianatan.
Siti menggantikan posisiku. Mengundurkan diri dari sekolah dan memilih menikah, menikahi pujaan hatiku. Mungkinkah dia selama ini juga memendam rasa?
Aku menangis sejadi-jadinya. Sedih dan perih. Berhari-hari aku tak sekolah dan mengurung diri di kamar.
Bapak dan Mamak tahu kondisiku, mereka menghiburku. Jika ada yang bertanya, aku sedang sakit jawabnya.
Sebentar lagi kelulusan, aku harus bisa melalui walaupun hatiku belum pulih untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin.
Setelah mendapat gelar sarjana muda, BA aku memohon izin merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Tinggal di rumah saudara Bapak di sana. Bapak dan Mamak sempat menghalangi niatku, kenapa harus ke Jakarta? Disini saja banyak pekerjaan.
Aku bersikeras, disana akan lebih cepat mendapatkan pekerjaan alasanku. Perjalanan Jambi-Jakarta bukan jarak yang dekat bagaimanapun aku seorang perempuan, wajar saja bila orangtua khawatir.
"Izinkan aku berbakti, bekerja dan membiayai sekolah adik-adik," aku memohon. Mamak dan Bapak akhirnya menyetujui.
Berbekal alamat sampailah aku di sebuah rumah gedung sangat mewah di daerah Menteng. Rumah bertingkat dua dengan Empat kamar. Kamar utama, dua kamar anak dan satu kamar asisten rumah tangga.
Mamak mengingatkan untuk pandai-pandai menjaga diri saat menumpang disini. Aku tidak tahu apakah kehadiranku diterima dengan senang hati atau tidak. Namun, aku diminta tidur dikamar belakang bersama ART. Mungkin anak-anak tidak ada yang mau sekamar denganku.
Apakah mereka tidak tahu kalau aku ini sarjana. Di zaman ini, sarjana masih barang langka. Oh mungkin aku salah, ini kan ibu kota.
Setiap pagi setelah bangun, sholat subuh langsung lanjut bersih-bersih dan menyiram tanaman anggrek beraneka ragam yang ada di taman belakang.
Wati, Art disini senang sekali dengan kehadiranku pekerjaannya menjadi ringan. Dia tinggal memasak buat sarapan.
Setiap jam makan, aku makan bersama Wati setelah semuanya selesai makan. Rapuh? Tentu saja tidak, aku kesini memang mengadu nasib, harus kuat.
Kutemui Om sebelum beliau berangkat kerja, menanyakan alamat kantor yang ingin kutuju.
Om kaget waktu kubilang aku sarjana muda. Ya aku memang belum bercerita apa-apa, sekali bertemu saat pertama kali datang Om langsung berangkat kerja. Pulang hampir maghrib dan istirahat. Aku tak ingin mengganggu.
Akhirnya Om mengajakku ikut serta besok pagi saat beliau berangkat kerja. Kalau sekarang tidak searah katanya, ada rapat yang harus diikuti.
"Baik Om, terimakasih," jawabku riang.
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap, menunggu Om selesai sarapan. Hari ini hari kamis, aku puasa.
Tante sempat melihatku yang sudah rapi. "Mau kemana," tanyanya.
"Mau ke kantor pusat, masukkan berkas," jawabku sopan.
"Ooh, ya sudah."
Aku mengekor Om dan Tante menuju teras. Anak-anak menyusul di belakang.
Bismillah semoga urusan hari ini lancar.
Alhamdulillah aku diterima bekerja di sebuah departemen yang menagani masalah umat di Indonesia. Sempat diberikan pilihan di kota Jambi atau di Kabupaten Tanjung Jabung. Luka hatiku belum pulih, aku memilih Tanjung Jabung sebuah tujuan yang belum pernah kudatangi sebelumnya.
Hari ini aku berkemas dan berpamitan pada seisi rumah. Terimakasih atas kebaikan dan semoga bisa membalas dengan lebih baik. Wati memelukku, entah dia benar kehilangan atau kehilangan asisten. Yang penting sekarang aku harus pulang untuk meminta restu dan berpamitan pada orang tua, akak dan adik-adik.
Sampai di rumah, Mamak bilang kalau Rasyid sebenarnya sempat mencariku saat 'sakit' waktu itu namun Bapak melarangnya menemuiku. Bapak tidak ingin aku lebih tersakiti, kata Mamak. Akhirnya Rasyid menitipkan sepucuk surat dan memohon maaf pada Bapak.
Surat disimpan hingga sekarang baru diberikan padaku. "Tunggu sampai kamu siap, baru dibuka, begitu pesan Bapakmu."
Entah apalagi yang ingin disampaikan Rasyid, perlahan rasa nyeri itu kembali hadir. Pengkhianatan adalah sebuah luka yang sangat menyakitkan, perih.
Kubuka perlahan surat pemberian Rasyid beberapa tahun yang lalu. Isinya seperti kuduga, permohonan maaf dan bakti yang harus ia lakukan. Ibunya sakit keras, ingin segera melihat anak semata wayangnya menikah. Sakit tua atau psikis entahlah.
Siti hanya sebuah pelarian, dia tak punya pilihan selain denganku, Rasyid belum pernah jatuh hati. Begitu pengakuannya. Sudahlah nasi sudah menjadi bubur tinggal dinikmati.
Rasyid dan Siti semoga kalian berbahagia. Jodoh telah digariskan. Aku bisa apa.
.
Memerlukan waktu sehari semalam menggunakan kapal Ferry untuk memutari sungai Batanghari, sungai terpanjang di pulau ini. Aroma khas kapal berbaur dengan air asin. Sedikit heran, kenapa perjalanan ini begitu lama? Ternyata belum ada akses jalan darat kecuali jalan setapak yang dilalui penduduk.
Kuala Tungkal sebuah kota kecil di tepian sungai pengabuan. Kantor tempatku bekerja hanya berjarak beberapa meter dari pelabuhan.
Mencari kontrakan adalah agenda pertama di kota ini. Alhamdulillah tidak jauh dari kantor, ada bedeng. Sebuah kontrakan terdiri dari ruang tamu, kamar tidur dan dapur yang letaknya berjejer.
Sudah sore saat aku sampai disini. Kupilih sebuah kontrakan paling ujung agar dapat udara dan sinar matahari dari jendela pikirku. Bersih-bersih diri lanjut istirahat. Lelah sekali rasanya.
Subuh ketika kubuka jendela kamarku, aku kaget luar biasa. Ternyata pemandangan yang terhampar adalah sebuah sungai dan kuburan. Ya Allah kemarin gak kelihatan, kusangka kebun.
Setelah sholat subuh dan beberes, saatnya mencari sarapan sekalian mencari pemilik kontrakan, pindah kamar.
Makanan disini beragam, ada nasi gemuk, laksa, lupis, lontong sayur, begitu menggugah selera. Pagi ini beli dulu gak apalah, besok masak sendiri. Aku sedikit cerewet masalah makan, sekalian berhemat.
Semoga aku betah, mungkin jodohku ada disini. Siapa yang tahu?
#CeritaHayati