Dilamar
'Pulang segera, ada hal penting!' telegram yang ku terima siang ini. Komunikasiku dengan keluarga di Jambi hanya melalui surat dan telegram. Ada apakah gerangan, kenapa aku diminta pulang?
"Sinar, tunggu aku."
Agung berjalan santai menghampiriku yang mau masuk ke ruang kerja.
"Ada apa?"
"Bisa bicara sebentar?"
"Bicara saja, aku dengar."
"Jangan di sini, ada hal serius."
"Oke, jangan lama aku kerja."
Tumben Agung datang di saat jam kerja biasanya dia datang sore atau siang sepulang kerja. Kami berjalan menuju kantin, banyak yang melihat. Terlanjur tak apalah, banyak orang lebih baik daripada hanya berdua.
"Jadi apa yang ingin kau bilang?"
"Kemarin aku ke rumah, ketemu Bapak, Mamak, dan adik-adik."
"Lantas?"
"Aku sudah melamarmu."
"Apa?"
"Kenapa? Apalagi yang kau tunggu?"
"Kenapa tak bilang dulu padaku?"
"Aku sudah bilang."
"Aku belum jawab."
"Karena itu aku datang, meminta jawaban."
"Aku perlu bicara dulu sama orang tua ku."
"Kemarin orangtuamu mengatakan semua terserah padamu."
"Aku tetap mau bicara dulu."
"Baiklah kalau begitu, jangan lama-lama sebelum Mamakku berubah pikiran."
"Kalau jodoh tak kemana."
"Betul dan aku yakin kau akan jadi istriku"
"Sudah dululah, aku mau kerja."
"Pesan minum dulu ya."
"Aku puasa."
"Oh maaf, kenapa tak bilang aku malah ngajak bicara di sini."
"Tak masalah."
"Selamat bekerja."
Ku akui keberanian Agung membuatku tersanjung sebagai perempuan tapi aku perlu mempertimbangkan banyak hal. Aku akan ambil cuti untuk pulang ke Jambi.
"Mamak, Bapak, maafkan aku tidak tahu Agung datang."
"Sinar, ucapkan salam dulu kalau masuk rumah."
"Oh iya aku lupa. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Istirahatlah sebentar nanti kita bicara."
"Baik, Pak."
"Jadi Agung ke sini bersama Mamak dan adiknya?"
"Berlima atau berenam, lupa. Sekalian ngantar Adiknya wisuda, si Ardi."
"Iya, dia pernah bilang tapi tak sangka akan seperti ini. Jadi apa saja yang dia bilang?"
"Intinya dia melamarmu. Uang seserahan juga sudah dibicarakan."
"Apa??"
"Iya dia bilang, akan menyiapkan sapi, kambing, ayam dan seperangkat perlengkapan kamar dan dapur serta sejumlah uang."
"Bapak sudah menerima?"
"Tentu saja belum, Bapak bilang harus bicara dulu sama kau."
"Syukurlah."
"Bagaimana?"
"Apanya?"
"Pendapatmu?"
"Aku belum tau, Bapak gimana?"
"Bila ada seorang laki-laki sholih yang melamar, sebaiknya diterima."
"Betul, Pak."
"Kasih aku waktu beberapa hari."
"Baiklah, jangan tergesa. Mohon petunjuk Allah."
.
Hari ini aku kembali ke Tungkal bersama adikku, si Bujang. Dia mau melihat langsung bagaimana kehidupan keluarga Agung. Tak mau membiarkan aku, kakaknya salah pilih.
"Sinar, kapan datang?"
"Barusan."
"Eh Bujang, kau ikut?"
"Iya Bang, ayo mampir ke rumah."
"Sinar kenapa kau cuti tak bilang-bilang?"
"Aku sudah bilang, harus bicara sama orangtuaku."
"Oh iya, aku tak tau kau langsung pulang setelah pembicaraan hari itu."
"Aku masuk dulu, ngobrol lah sama Bujang."
"Iya."
Sambil beberes aku bisa mendengar pembicaraan mereka, bedeng ini kan kecil.
"Abang, katanya kemana-mana bawa badik?"
"Oh ini? Iya aku selalu bawa."
Aku langsung menghampiri.
"Hah, apa kau bilang Agung? Badik?"
Ku lihat badik di atas meja. Apa-apaan ini.
"Tenang-tenang Sinar, kau duduk dulu. Aku bisa jelaskan."
"Baik, aku mendengarkan."
"Ini hanya tradisi bagi kami lelaki bugis, dulu memang dibawa buat pertahanan diri. Kau bisa lihat badik ini terawat dengan baik, tak pernah ku gunakan."
"Lantas untuk apa kau bawa-bawa?"
"Ini peninggalan Bapak, aku membawanya karena kenangan saja tidak lebih."
"Tapi tak harus dibawa juga, kan? Bisa kau simpan di rumah."
"Baiklah kalau begitu mulai besok aku tak bawa lagi."
"Baguslah."
"Jadi, bagaimana kabar Mamak dan Bapak juga yang lain, Bujang?"
"Alhamdulillah semua sehat Bang."
"Mumpung kau di sini, besok ikut aku ke kebun ya. Kita minum degan."
"Oke Bang."
"Kalau gitu, aku permisi dulu."
"Eh aku belum jadi bikin minum, maaf ya."
"Tak apa, aku baru dari warung tadi."
"Hati-hati Bang."
"Ya, besok aku jemput. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawabku dan Bujang berbarengan.
"Istirahat dululah Jang, kau pasti capek belum terbiasa perjalanan jauh."
"Iya Kak, aku mandi dulu."
"Airnya dihemat-hemat ya, di sini air sulit."
"Siap, Kak."
Menjelang sore, ku ajak Bujang menikmati suasana kota kecil ini. Pelabuhan yang menjadi tempat kumpul tua muda, anak dan dewasa, memiliki pemandangan laut luas karena berbatasan langsung dengan selat berhala. Pemandangan laut yang mempesona apalagi saat matahari terbenam membuat tempat ini selalu ramai pengunjung. Tidak ada tiket masuk menjadikan siapa saja bisa dengan mudah keluar masuk.
Tampak pulau seberang, pasar tradisional, dan basecamp polisi air dari pelabuhan ini. Duduk-duduk sambil menikmati suasana sungguh menenangkan hati, membuat ingin berlama-lama di sini. Bila ada kapal, boleh naik atas seizin awak kapal. Hanya melihat-lihat atau menikmati ombak di atas kapal. Ada juga yang memancing dengan hasil tangkapan diletakkan di samping duduknya. Namun ada juga yang belum berhasil mendapatkan ikan. Semua tentang rizki, padahal mereka duduk bersebelahan saja.
Dari pelabuhan kami melanjutkan perjalanan ke pasar parit satu, tempat pj alias barang bekas, banyak sekali barang-barang di sini, barang apapun dapat ditemukan di sini. Dari pakaian, sepatu, elektronik, hingga kasur. Kalau beruntung seseorang bisa mendapatkan barang baru yang belum pernah dipakai lengkap dengan hangtag-nya.
Kami hanya melihat-lihat tanpa maksud membeli, belum percaya diri untuk membeli barang-barang tersebut. Belum terbiasa, mungkin. Setelah itu kami melanjutkan kuliner, pempek bakar dan pisang kepit, soto banjar dan es kacang merah. Kenyang, kami pun berjalan pulang.
Sebelum sampai rumah, kami mampir ke masjid Agung, tak sampai satu kilo jarak masjid dari rumah. Bujang segera menuju tempat wudhu, begitu juga aku. Saat pulang, kami bertemu Agung yang ternyata juga baru selesai sholat. Kemudian berjalan beriringan menuju jalan pulang.
"Abang, sholat di masjid terus?"
"Diusahakan karena laki-laki wajib sholat berjamaah di masjid. Kenapa?"
"Tak apa, Kakak tak pernah cerita."
"Mana mungkin dia tau, habis Maghrib dikunci pintunya, hahaha."
"Iya, kalau ada kegiatan kantor saja aku pulang malam."
"Oh begitu, baguslah."
"Jadi, besok kita pergi Bang?"
"Jadilah insya Allah. Kenapa kau takut sama nyamuk kebun ya?"
"Katanya di sini banyak yang kena malaria Bang."
"Jangan khawatir nanti aku bakar ilalang biar nyamuknya pergi."
"Besok pakai apa kita Bang?"
"Naik perahu saja ya."
"Hah perahu? Mabuk aku Bang."
"Jangan khawatir, arus sungai lebih tenang daripada laut. Percaya padaku kau akan suka."
"Oke, Bang."
"Sinar kau ikutlah sekalian."
"Mana mungkin aku bolos, besok masih hari jum'at kan, kerja. Lagian aku baru ambil cuti kemarin."
"Ya sudah, mampir ke rumah yuk, makan."
"Kami baru aja makan Bang, sudah kenyang nian."
"Ya sudah kalau begitu, sampai ketemu besok. Rumahku belok sini, besok kita ke rumah dulu ya Bujang."
"Iya, Bang."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Malam ini kami bertukar cerita, aku bercerita tentang kehidupan di Tungkal. Bujang bercerita tentang keluarga di Jambi selama aku merantau. Tak lama terdengar ketokan di pintu seperti tak sabar.
"Buka pintu!"
Bujang, ada orang ketok pintu, coba kau tengok siapa?"
"Nah, kan betul ada laki-laki di rumah ini!"
"Eh, ada apa rupanya Bang?"
"Kalian berdua ngapain berdua di dalam?"
"Hah kami?" Aku dan Bujang saling pandang.
Hampir saja kami dipukuli, karena suasana yang ramai tak memberikan kami kesempatan untuk menjelaskan.
"Hei, ada apa ini ribut-ribut?"
"Agung, ini lihat perempuan yang kau bangga-banggakan sedang berduaan dengan lelaki."
"Eh Bujang, ada apa ini?"
"Kau kenal dia, Gung?"
"Kenallah, dia adiknya Sinar."
"Kamu jangan membelanya, tau darimana?"
"Tentu saja aku tau, minggu lalu aku baru datang dari rumahnya. Kalau tak percaya coba lihat KTP-nya."
"Mana KTP kalian berdua?"
"Bentar, aku ambil dulu."
"Ah iya alamatnya sama, yang laki-laki lebih muda."
"Lain kali, tanya dulu. Jangan main tuduh aja."
"Wah, maaf-maaf kami termakan isu dari si Laila. Katanya Sinar ngajak laki-laki nginap di rumahnya."
"Astaghfirullah."
"Kau salah juga Sinar, tak lapor RT dulu."
"Iya, tadi kami sudah mampir sebelum ke pelabuhan, rumah Pak RT kunci tak ada orang."
"Sudah-sudah bubar, dah malam juga."
"Untunglah ada Abang."
"Oh iya aku kesini, mau ngantar kue barongko buatan Kak Jamilah."
"Tak usahlah repot-repot, Gung."
"Makasih, Bang."
"Sama-sama, istirahatlah."
"Iya Bang."
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, sekali lagi makasih banyak Bang."
#CeritaHayati
Login untuk melihat komentar!