Perbedaan
#Sinar 6
----------------
Entah apa yang disampaikan Agung, tentu saja aku tidak tahu. Suratnya kuberikan langsung kepada Bapak tanpa berani membuka karena amanah harus dijaga.

Bapak dan Mamak memanggilku. Sebelum berangkat esok hari, ada yang mau disampaikan katanya.

"Mamak dan Bapak dah baca suratnya. Agung serius katanya sama kau Sinar."

"Iya dari awal dia ngajak nikah."

"Mungkin perlu ketemu langsung biar Bapak sama Mamak bisa nilai orangnya bagaimana."

"Iya katanya mau mampir ke sini tak tau kapan. Aku dak nanya."

"Iyalah tak apa, dak buru-buru juga. Besok berangkat jam berapa? Biar Bapak antar kau ke pelabuhan."

"Insya Allah jam tujuh, Pak. Tak payahlah biak Bapak di rumah saja, masih banyak tamu yang datang, nanti aku berangkat sendiri saja."

"Kalau gitu biak si Bujang yang antar."

Sebelum berangkat Mamak pesan hati-hati membawa diri di kampung orang, jangan telat makan dan kunci pintu sejak magrib. Pamitan adalah saat yang memilukan, rasanya tak mau pergi.

Bujang mengantar sampai pelabuhan, tak lupa diberikan rantang titipan Mamak buat makan di jalan katanya, juga kue-kue lebaran di dalam kardus. Sudah ditolak tetap saja dibawakan, begitulah mungkin semua orangtua menganggap anaknya masih gadis kecilnya yang dulu. Sebelum berpisah, kuselipkan sedikit uang pada Bujang buat Mamak dan Bapak, kalau diberikan di rumah pasti ditolak.

Selama perjalanan aku lebih banyak diam menikmati suasana laut. Jauh di perantauan membuat seseorang lebih mandiri terutama tentang hal-hal sepele seperti mengurus rumah, memasak dan mencuci, latihan sebelum berumah tangga.

Tungkal masih ramai walaupun lebaran hari ketiga, jangan salah di sini lebaran selama sebulan. Masih banyak yang datang bertamu menyambung tali silaturrahim, mempererat hubungan antar sesama.

Anak perempuan bergincu berkeliling naik becak dan anak lelaki main pistol air yang diisi air warna warni, didominasi warna merah. Pewarna makanan yang mudah didapat di warung sebelah. Membuat anak perempuan berteriak histeris dan mengejar pelaku penembak air berwarna itu. Yang dikejar hanya tertawa sambil menghindar. Tak jarang ada yang menangis karena tak bisa membalas atau ketakutan noda di baju lebarannya tak bisa hilang.

Sering diadakan selamatan setelah hari ketiga lebaran, aqiqoh, khitan dan yang paling banyak menikah. Syawal bulan disunnahkan untuk menikah, jadi ingat diri sendiri, kapan nikah ya. Adik-adik masih jadi prioritas, bagaimana dengan Agung.

Halal bihalal di kantor berlangsung cukup khidmat, pergantian pimpinan kantor karena di angkat menjadi kepala departemen di provinsi. Berpisah untuk sementara semoga masih terjalin tali silaturrahim ke depannya. Bersalaman dan memohon diikhlaskan atas salah dan khilaf membuat suasana menjadi haru.

.

Agung bersama adiknya berkunjung ke rumah, lebaran katanya tak perlu alasan bila bertamu. Ada-ada saja, ku suguhkan kue lebaran hasil buatanku bersama Mamak di Jambi. Ada kue satu, kue kacang, lidah kucing dan kacang tujin. Tak lupa kue bolu buatanku tadi pagi sebelum berangkat kerja.

"kuenya enak, lain daripada yang lain di sini. Bolunya juga lembut," komentar adiknya.

"Dimakan saja kalau suka tak usah malu-malu."

"Bagaimana kabar Mamak dan Bapak di Jambi?"

"Alhamdulillah mereka semua sehat. Bapak ingin bertemu langsung katanya."

"Oh ya, bulan depan si Ardi wisuda, insya Allah aku mampir."

Setelah ngobrol sebentar mereka pun pamit.

"Mampirlah ke rumah, ku kenalkan pada yang lain," pesannya.

"Iya, insya Allah nunggu libur."

Pagi ini kusiapkan bahan-bahan untuk membuat kue sarang semut. Segera kupanaskan gula pasir hingga mencair, perlu diaduk biar tidak gosong, dikasih air panas perlahan hingga menjadi adonan karamel yang diinginkan. Setelah dirasa cukup, kusiapkan bahan-bahan yang lain dalam baskom kemudian mengocoknya hingga mengembang. Kumasukkan satu persatu bahan-bahan lain serta gula karamel, setelah rata, dipindah ke loyang bolu yang sudah diolesi mentega dan taburan terigu, kemudian ditaruh di atas kompor yang sudah ku alasi besi khusus untuk memanggang bolu.

Saatnya lanjut memasak sarapan dan mandi untuk kemudian bersiap ke rumah Agung. Setelah sarapan ku cek kematangan kue dengan tusuk lidi, tidak lengket tandanya sudah matang, mematikan kompor dan memindahkan ke piring. Siap untuk dibawa sebagai buah tangan.

Rumah Agung berjarak tujuh rumah dari bedengku, masuk ke jalan yang berbeda. Letaknya di belakang rumah bedeng menghadap ke utara, ternyata rumahnya cukup besar dan panjang. Berbagai tanaman tumbuh di halaman, cukup asri. Aku dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah ruang tamu yang besarnya dua kali kontrakanku. Berbagai kue lebaran berjejer di toples bening berisi kue kering, kacang dan juga berbagai manisan.

Agung datang bersama Ibu dan kedua kakak perempuannya. Kakak perempuannya yang satu tinggi, bermata besar, hidungnya mancung dan berkulit kuning langsat sedangkan yang satunya tidak terlalu tinggi, hidungnya tidak mancung, dan kulitnya sawo matang. Kok beda ya? Yang satu cantik dan satunya manis.

"Assalamu'alaikum Mak, Kak." Kusalami semuanya.

"Wa'alaikumsalam duduk saja gak apa-apa, oya kenalkan ini Kakaknya Agung, ini Jamilah dan ini Bidara."

"Gak usah heran, kakak kandungku keduanya. Kak Jamilah mirip Mamak, Kak Bidara mirip Bapak."

Agung sepertinya bisa membaca keherananku, hebat juga dia.

"Oh begitu, ini saya bawakan bolu sarang semut."

Ibunya Agung segera melihat bungkusan yang kubawa.

"Tak sembarang orang bisa bikin kue ini. Kalau tak hati-hati bisa pahit rasanya dan tidak bersarang dalamnya."

"Iya Mak, tadi pagi baru dibuat, belum dicoba, semoga enak."

"Coba ambilkan pisau, kita makan kuenya sama-sama."

Kak Bidara mengambil pisau di belakang, beserta piring kecil untuk meletakkan potongan kue. Sempat deg-degan juga bagaimana hasil kue buatanku. Semoga saja tidak mengecewakan.

Semua mata tertuju pada pisau yang memotong kue perlahan, potongan kue diletakkan di piring kecil. Alhamdulillah sarangnya terbentuk sempurna, tinggal bagaimana rasanya. Semoga tidak pahit.

Semua memegang piring kecil berisi potongan bolu, siap menyantap menggunakan garpu kecil khusus untuk makan kue.

Potongan kue masuk ke dalam mulut masing-masing. Menunggu reaksi semuanya, ku kunyah perlahan mencari rasa pahit yang mungkin ada.

"Wah enak ini, tidak pahit dan bersarang. Pintar kau bikin kue," Mamak memecah keheningan.

"Kurang manis dikit," kata Kak Jamilah.

Aku lupa kalau keluarga Agung suka makanan manis, segelas teh saja dikasih dua sendok makan gula. Sedangkan bagiku cukup sesendok saja.

"Ah iya, Kak. Semoga suka."

"Suka suka, enak ini," Agung menimpali.

Saat berbincang ada tetangga yang membawa anaknya sambil digendong.

"Mak, tolong obati anak saya, badannya panas."

"Oh iya sini-sini bawa ke dalam, kasian sedang sakit."

"Jamilah bawalah dulu Sinar berkeliling nengok rumah di belakang."

"Ayo sinar, ikut aku."

"Eh Mamak bisa ngobati orang sakit ya?"

"Iya kalau ringan masih mau diobati tapi kalau sudah parah Mamak dilarang Agung ngobati katanya suruh ke puskesmas saja. Padahal dulu Mamak sering ngobati ke rumah-rumah."

"Gimana caranya tau kalau sakitnya masih ringan?"

"Kalau bisa datang ke sini sendiri biasanya sakit panas atau keseleo saja, Mamak kan pintar ngurut dan cukup tau tanaman obat."

"Oh gitu," ujarku sambil memperhatikan sekeliling.

Rumah ini lumayan besar terdiri dari empat kamar yang besar-besar, seperti setengahnya kontrakanku kira-kira. Ruang tengah yang sangat luas bisa buat bermain bola, ruang makan sebanding dengan satu kontrakanku, kemudian ruang cuci mencuci, kamar mandi dan dapurnya seperti dua kali kontrakanku. Luas sekali.

Halaman belakang ternyata masih cukup luas untuk bikin rumah, terdapat kolam ikan, berbagai tanaman herbal, kandang ayam dan bebek di samping kanan kiri paling belakang. Nembus parit yang bisa dilalui sampan, eh ada sampan juga yang terikat di kayu di ujung sana, sebelahnya ada tangkulan buat menjaring ikan, udang atau kepiting yang lewat. Wah sangat menyenangkan bila berada di sini bisa lupa waktu.

Ada dua dapur di rumah ini. Dapur kotor, berisi anglo dan tungku besi yang masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Dapur bersih berisi kompor minyak tanah, ada tiga atau empat kompor di sana.

Tiap hari keluarga Agung memasak untuk makan menggunakan anglo dan tungku. Kompor digunakan untuk membuat kue, hampir tiap hari Kakak-kakaknya membuat kudapan. Lempeng, barongko, bingka, pais dan sebagainya. Semua makanan manis menjadi favorit keluarga ini.

Saat berjalan menuju ruang tamu, ku lihat Mamak memborehkan bawang merah dan minyak kelapa di badan anak kecil yang sedang panas itu. Tidak lupa mulutnya komat-kamit berdo'a memohon kesembuhan kepada Allah yang maha menyembuhkan segala penyakit.

"Mak, saya pamit dulu ya."

"Iya, hati-hati di jalan. Makasih kuenya."

"Sama-sama, Mak."

"Agung kau antarlah Sinar ke depan."

"Iya, Mak."

Setelah berpamitan dengan kedua kakaknya, aku melangkah ke luar rumah. Agung mengantar sampai halaman.

"Tak usah repot-repot bawa kue, lain kali kalau kesini lagi."

"Tak apa, gampang aja kok buatnya."

"Makasih ya, mau ku antar?"

"Dekat saja, nanti dilihat banyak orang tak enak aku."

"Ya sudah, hati-hati."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Perbedaan mencolok antara keluargaku dan keluarganya. Kami hidup dalam kesederhanaan dengan mengutamakan pendidikan. Agung dan keluarganya hidup dalam kemewahan tidak terlalu mementingkan pendidikan. Bisakah kami bersatu?

#CeritaHayati

Komentar

Login untuk melihat komentar!