Upik Abu Naik Sedan Mewah
Hari ini aku sengaja meminta Pak Beni untuk mengantar sampai rumah. Mobil sedan mewah berwarna putih yang aku beli dari hasil penjualan sawah Ayah, cukup menarik perhatian warga.

Tentu saja dalam sekali lihat orang bisa menebak harga mobil ini. Cukup setara dengan rumah mewah yang aku tempati.

Bu Nina menganga saat melihat mobil berhenti tepat di depan rumah Mas Agam. Sengaja aku tidak turun, menunggu Pak Beni yang membukakan pintu, layaknya seorang ratu.

Aku lihat Bu Nina masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil Mama. Tak lama kemudian Mama berlari dari arah pintu belakang bersama Bu Nina. Mereka berdiri terpana melihat mobil yang berkilau habis dicuci.

Pak Beni turun lebih dulu, lalu membungkuk seraya membuka pintu. Dengan langkah gemulai meski kembali menggunakan dress lusuh aku melangkah turun.

Mama menganga, matanya membeliak tapi belum berkata-kata. Aku sudah menebak sedikitnya apa yang akan nanti dia katakan, kalimat hinaan yang sudah biasa aku dengar.

Pak Beni menurunkan tas besar berisi pakaian yang sudah rapih dicuci dan disetrika, lalu membawanya sampai teras depan. Serta satu plastik berisi berisi makanan dari restoran ternama untuk aku nikmati malam ini dengan Neva. Berdua saja.

"Semua barangnya udah turun, Bu. Saya permisi dulu," ujar Pak Beni yang aku perintahkan tetap memperlakukan aku seperti biasa.

"Oke, terima kasih ya, Pak."

Pak Beni mengangguk lalu kembali masuk ke dalam mobil.

"Heh, Zia. Mobil siapa itu yang kamu pake?"

"Mobil saya, eh, maksudnya mobil majikan, Ma."

"Bohong! Itu pasti selingkuhannya si Zia, masa sopan banget sampe bantu nurunin barang segala," Bu Nina menimpali.

Aku tersenyum kecut, duet gibah di komplek ini kalau sudah beraksi semua hal akan mereka sebut demi mengorek kebenaran.

"Ya ampun, Bu. Kalau selingkuh sama orang kaya, ngapain juga saya balik ke rumah ini. Udah aja kawin lari ama dia. Lagipula cuma perempuan bego yang nyuruh selingkuhannya nganterin pulang ke rumah suaminya." 

Aku tergelak dan lebih tak tahan saat wajah mereka seperti orang bingung.

"Terus kenapa dia baik banget nganterin kamu pulang segala?"

"Majikan yang minta supaya saya dianterin sampai rumah."

"Mana ada majikan yang sebaik itu? Ngarang kamu, Zia! Kecuali kamu ada main sama majikannya!" hardik Mama lagi.

"Main apa, Ma? Majikan saya itu udah tua, sakit-sakitan pula, setiap hari cuma duduk di rumah, gimana mau saya ajak main."

"Terus kenapa dia baik banget sama kamu? Ngasih makanan, nganterin pulang, bisa numpang nyuci juga."

"Woiya jelas, dong, Ma. Karena orang baik seperti saya pasti akan dipertemukan dengan orang yang baik pula. 
Kalau orang sombong dan julid mungkin ketemunya sama yang julid juga," kataku setengah menyindir.

Mama diam, mungkin dia belum menemukan kalimat lagi untuk menyerangku.

"Permisi ya, Ma, Bu. Saya capek mau istirahat dulu. Ooh iya, Bu Nina, ini saya ada sedikit rezeki katanya cucunya baru disunat, ya. Maaf cuma segini, semoga cukup buat beli mainan atau kue."

Aku menyodorkan amplop yang sudah aku persiapkan sejak tadi. Tak tahan menahan tawa melihat ekspresi terkejut yang tampak di raut wajah duo nenek-nenek itu.

"Buka isinya." Mama menyenggol Bu Nina untuk segera membuka amplop yang baru aku berikan.

Bu Nina dan Mama terbelalak menatap dua lembar uang berwarna merah yang aku berikan.

"Dua ratus ribu! Gila uang dari mana dia!" 

"Apa dia jual diri? Laki-laki tadi yang udah booking-nya." Bu Nina mulai mengeluarkan jurus praduga.

"Kalo jual diri, ngapain anaknya dibawa-bawa! Mana ada laki-laki yang mau bayar pelacur tugas sambil ngasuh anak!"

"Iya juga, 'sih? Atau mungkin anaknya dia titipin ke orang, terus dia beraksi di jalan."

"Enggak mungkin! Neva itu pasti dari pagi cuma dikasih asi kalo ikut Zia kerja, soalnya susu dot dia tinggal di rumah."

Mama cerdas, berarti dia memerhatikan setiap barang yang aku bawa saat berangkat kerja.

"Bener juga, kalau dititipin itu harus bawa susu, baju salin dan lain-lain. Tapi si Zia tiap kali berangkat kerja enggak bawa apa-apa, cuma tas kecil dong, yang paling isinya sepuluh rebuan."

"Terus dia dapet duit ini dari mana?" kata Bu Nina lagi.

"Tau, abis gajian kali!"

"Gajinya berapa?"

"Mana aku tahu! Udah, ah. Mau minta juga buat bayar cicilan baju di Bu Rt," sahut Mama seraya berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku tergelak menguping pembicaraan mereka di balik pintu, lalu gegas berlari ke dalam kamar dan menumpahkan tawa di sana.

"Zia ... Zia menantu Mama yang cantik. Sini sayang, mama mau bicara." Mama memanggilku dari ruang tamu.

Aku mengganti pakaian dengan cepat lalu membuatkan susu untuk Neva agar dia tenang.

"Kenapa, Ma?" tanyaku begitu keluar dari kamar.

"Kamu abis gajian, ya? Mama minta uangnya boleh? Agam belum ngasih uang lagi, padahal uang mama abis. Mama bingung buat makan besok, Zi," kata Mama sembari tersedu.

"Sejak kapan Mama mikirin makan? Bukannya biaya makan di rumah ini dari jatah uang yang Mas Agam kasih ke aku?"

"Ya emang, cuma kamu itu udah dua hari nggak masak. Kasian kamu pasti udah cape kerja di rumah orang, nyampe rumah harus masak pula. Makanya mulai besok biar mama aja yang ngurusin makan."

"Naah itu, tau."

"Mama ngerti, Zi. Sini mana uangnya biar mama yang atur."

"Aku enggak ada uang, Ma. Kan, kata kalian juga aku orang miskin. Masa Mama enggak malu minta sama orang miskin?" Nada suara aku buat memelas.

"Kamu tadi bisa ngasih ke Bu Nina dua ratus ribu, masa ke mama enggak ngasih?!" 

"Oooh itu ... aku kasian aja ama cucunya yang udah nggak punya ibu, makanya aku kasih uang."

"Ya berarti kamu punya uang! Sini mama minta!"

Aku merogoh kantong celana lalu memberikannya ke atas tangan Mama yang sejak tadi mengadah padaku.

"Udah ya, Ma. Aku mau nemenin Neva dulu di kamar."

Aku berjalan meninggalkan Mama yang tertegun menatap uang yang aku berikan.

"Kamu pikir mama bocah dikasih uang dua ribu!" teriak Mama lagi.

Pintu kamar kututup dan sekali lagi tertawa kencang hingga perutku sakit.

Sampai jam 7 malam Mas Agam belum juga pulang. Kesempatan itu aku gunakan untuk menikmati makanan mahal yang aku beli di jalan pulang tadi.
Menyuapi Neva yang berceloteh riang sembari memainkan boneka barbie yang aku belikan dulu. 

Usianya baru akan menginjak satu tahun, dia belum pandai bicara, baru kata Mama, Mama dan Mama. Tidak ada Papa. Mungkin anak sekecil ini pun tahu, Papa-nya tidak benar-benar sayang.

Harum makanan ini mengundang Mama dan Febi yang aku tahu sedang mengintip di balik pintu kamar. Aku memang sengaja makan di dalam kamar untuk menghindari tatapan memelas yang bisa merusak selera makan.

"Mama laper, Feb. Mas kamu, kok belum pulang," keluh Mama yang aku dengar.

Sebenarnya aku tak tega, merasa sangat jahat makan sendiri dan membiarkan ibu mertua kelaparan. Namun, hati ini belum bisa sepenuhnya memaafkan semua perbuatan yang mereka lakukan.

Aku masih ingat, di awal menikah sebelum sandiwara ini dilakukan, mereka memperlakukan aku bagai pembantu, makanan yang aku makan berbeda dengan mereka. Jika Mama membeli ayam, maka dagingnya mereka makan, sedangkan aku hanya diberi kepala atau kaki ayam kata Mama, orang miskin enggak pantas makan daging.

Saat mereka berjalan-jalan dan membawa banyak barang belanjaan. Aku hanya menunggu di rumah, menatap nanar barang yang mereka beli tanpa ingat membelikan aku sesuatu.

Hingga kini perlakuan mereka masih terekam dengan jelas di dalam benak.

"Aku telepone Mas Agam suruh beli makanan di restoran, ya."

"Mas kamu mana mau beli makanan dari restoran! Beli di warteg aja dia bisa ngomel panjang lebar!"

Ya, itulah anakmu, Ma ... pelit.

Untuk menambah penderitaan mereka, bungkus makanan itu aku simpan di atas meja. Kembali masuk dalam kamar dan bersiap untuk tidur.

Pukul 9 malam suara deru mobil Mas Agam masuk garasi kami yang kecil. Kedatangannya disambut oleh Mama dan juga Febi.

"Istri kamu keterlaluan, Gam. Dia makan sendiri di kamar, Mama cuma disisain bungkusnya aja!" Jurus mengadu Mama mulai dikeluarkan.

"Dapet dari majikannya lagi dia?"

"Iya, mana tadi pulangnya dianter sama sopir majikannya lagi, pake mobil bagus banget. Jangan-jangan dia ada main sama sopir itu, Gam."

"Sopirnya udah tua gitu, Ma. Enggak mungkin-lah, kalo mau selingkuh mending sama majikannya banyak duit daripada sama sopir."

Tumben Mas Agam pinter. Aku menguping di balik pintu.

"Kelakuan istri kamu, kok, makin nyebelin ya, Gam. Udah nggak mau beresin rumah, enggak mau nyuciin baju mama lagi, masak juga enggak. Dia kayak numpang idup aja kalo gitu di kita."

"Terus bagusnya gimana, Ma?"

"Kalo udah nggak berguna, buang aja! Biar dia jadi gelandangan di jalan. Mama bosen liat mukanya, miskin tapi sombong!"

"Mas, aku mau kenalin ke temen aku. Namanya Zeylia, dia janda kaya, pengusaha properti sama jual beli berlian. Coba liat rumahnya. Terus ini foto orangnya."

"Waah, kamu punya temen kayak gini kenapa nggak kenalin dari dulu, Feb?"

"Foto Mas udah aku lihatin, katanya dia naksir, entar dia pulang dari London kita disuruh ke rumahnya."

"Serius? Gimana, Ma? Aku sama janda kaya aja enggak apa-apa?"

"Sikat, Gam! Buang aja si Zia, kamu nikah ama janda itu. Martabat keluarga kita bakalan terangkat kalo kamu nikah sama dia. Hidup kita terjamin, uang gaji kamu utuh bisa buat mama semua."

"Sini mas minta no wa-nya. Biar Mas telepone dulu."

Oopss! 

Untung ponsel sudah kumatikan jadi tidak akan ada panggilan masuk. Bisa bahaya kalau Mas Agam mendengar suaraku, lebih baik kubalas dengan chat saja. Untuk malam ini semua aman.

Aku berjalan menuju lemari pakaian, mengambil sebuah pakaian yang aku selipkan di antara baju Neva.

Rencana pertama yang akan aku luncurkan di hari minggu nanti, ialah gaun ini. Gaun yang aku beli di butik ternama dan khusus aku beli untuk menghadiri undangan pernikahan teman kampus Mas Agam.

Aku akan berdandan secantik mungkin hingga membuat Mas Agam bertekuk lutut di hadapanku.