Ratu Dan Raja Sandiwara
Aku menoleh, memasang ekspresi wajah biasa karena sudah menduga hal ini akan terjadi. Mas Agam pasti mengikutiku dan penasaran di mana rumah mewah tempat aku bekerja.

"Pergi sama siapa kamu?"

"Ooh, ini sopir majikan aku, Mas."

Pak Beni menghampiri dengan gayanya yang santai. Dia mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.

"Ini suami kamu, Zia?" tanya Pak Beni.

"Iya, Pak. Oh iya, Mas, ini namanya Pak Beni, kebetulan pas naik angkot tadi aku liat mobil nyonya ada di sini, jadi aku turun biar bisa nebeng sekalian," kataku beralih pada Mas Agam yang tatapan matanya masih penuh kecurigaan.

"Terus majikan kamu yang mana?" Mas Agam balik bertanya.

"Nyonya sudah berangkat ke kantor, Pak. Tadi saya disuruh beli makanan di restoran itu dan ketemu Mbak Zia."

"Rumah majikan kamu di mana?" tanya Mas Agam lagi.

"Mau ngapain, Mas? Aku itu di sana kerja, cari duit buat makan aku sama Neva. Jadi kamu jangan bikin yang aneh-aneh, kayak sanggup aja ngidupin aku sama Neva."

Raut wajah Mas Agam lagi-lagi memerah. Dia pasti terbakar emosi mendengar ucapanku.

"Jangan marah-marah di sini, Mas? Kamu mau orang tahu kalo kamu itu suami yang dzalim? Bukannya selama ini kamu paling suka jaga image, ya?"

Aku mencibir dan mulut yang hampir terbuka itu mendadak bungkam. Mas Agam hanya bergeming, tapi matanya menyiratkan amarah yang besar.
Pria itu paling takut image baik-nya tercoreng. 

Sebenarnya dia-lah orang yang paling pintar bersandiwara. Di depan keluarga dan tetangga, dia pria penyayang serta bersikap lembut padaku. Karena itulah dia punya dua akun di medsos. Yang pertama akun pria pecinta keluarga yang bertemankan saudara dan para tetangga. Akun satu lagi dia menjadi pria tampan yang kerap tersakiti dan merindukan kasih sayang.

Aku tahu semua perbuatannya di belakang, Zia tak sebodoh itu untuk dia bohongi dengan kalimat-kalimat bijak yang penuh dusta.

Mungkin inilah salah satu alasan kenapa aku bisa bertahan di rumah yang bagai neraka dan kuat bersandiwara menjalankan dua peran. Hati ini belum terlalu baik untuk bisa memaafkan bagaimana dulu dia merayu ayah agar menerima pinangannya tetapi ternyata pernikahan ini hanya untuk dia manfaatkan.

Mas Agam pikir aku gadis kampung bodoh dan pasrah yang hanya akan menangis dan meratapi kehidupan yang dia berikan.

Aku masuk ke dalam mobil, demi menjaga sandiwara yang sudah setengah jalan aku lakukan, kali ini aku duduk di depan bersama Pak Beni.

Mobil itu melaju tanpa perlu aku melambaikan tangan pada Mas Agam. Bahkan Neva pun terlihat tak acuh. Mereka memang tak dekat, hanya di depan saudara dan tetangga saja Mas Agam mau menggendong gadis kecilku.

Kehadiran Neva tetaplah anugerah, meski aku tak pernah menikmati saat dia menyalurkan hasrat biologisnya. Itu dulu, karena setelah tingkat PNS-nya naik disertai gaji dan tunjangan yang katanya 
meningkat, dia tak mau lagi menyentuhku.

"Maaf ya, Bu. Kalau tadi saya kurang ajar manggil nama Ibu," ujar Pak Beni dengan raut bersalah.

Aku terkikik menanggapi ucapannya. "Akting Pak Beni bagus, kok. Saya udah nebak suatu hari pasti Mas Agam cari tahu, makanya saya juga mengajarkan asisten di rumah untuk tak segan memanggil nama jika dia datang."

"Sandiwara tanpa batas ya, Bu," gurau Pak Beni lagi.

"Iya, Pak. Orang yang bermuka dua memang pantas dilawan dengan sandiwara seperti ini."

Pak Beni mengangguk setuju. Sopir ini memang baru setahun bekerja denganku, tapi kami akrab meski hanya sekedar berbicara hal biasa. Mungkin karena aku adalah orang kampung dan tidak terbiasa dengan gaya sombong, jadi tak pernah merasa jadi nyonya besar dan memerintah seenaknya.

Mobil berbelok menuju rumah besar yang Bang Rizal beli dua tahun lalu. Usaha batu bara-nya sangat sukses, rumah dia di Kalimantan jauh lebih besar dari rumah ini. Abang sengaja membeli rumah di kota agar memudahkan ayah berobat jalan.

Neva sudah bermain dengan baby sitter, asistenku yang lain mengambil plastik cucian tadi dan segera membawanya ke belakang. Aku menikmati sarapan pagi bersama ayah dengan hidangan spesial.

"Abangmu jadi pulang, Zi. Makanya ayah minta disiapin makanan yang enak," kata Ayah usai kami makan.

"Bagus, Yah. Di sana dia, kan enggak ada yang ngurus."

"Ayah bingung sama kalian. Rizal sampai sekarang belum nikah, padahal dia udah mapan, wajahnya juga cakep kayak ayah dulu waktu muda. Terus kamu, statusnya punya suami tapi pernikahan banyak sandiwara. Kapan ayah bisa lihat kalian bahagia?"

Ayah menghela napasnya, tatapannya sendu, mungkin itu adalah ungkapan hatinya yang sedih dengan 
kehidupan yang anak-anaknya jalani.

"Mending kita hidup di desa, Zi. Hati ayah tenang bisa ngurus sawah setiap hari, kamu bantu ngajar anak-anak kampung, Rizal kerja apa aja yang deket, terus bisa nikah sama anak tetangga," lanjut Ayah lagi.

Aku memegang tangan yang tetap kurus, meski sudah banyak makan. Penyakit yang Ayah derita memang sulit membuatnya memiliki berat badan ideal.

"Hidup di desa memang tenang, Yah. Tapi kita tak akan mengalami perubahan kalau sawah dan ladang tidak Ayah jual. Terkadang hidup harus berubah, agar kita tak dipandang hina. Bang Rizal itu hanya susah mencari perempuan yang tulus bukan modus karena ingin hartanya."

"Jangan salah pilih kayak suamimu itu. Ayah ketipu!"
Aku tegelak melihat roman wajah Ayah yang berubah kesal.

"Maafkan ayah ya, Zi. Gara-gara ayah takut meninggal jadi maksa kamu buat buru-buru nikah. Ayah kira dia beneran alim, setiap ke rumah pake peci mulu, belum lagi sopan santunnya bikin adem. Taunya, sholat juga nggak pernah ...."

"Udah, Ayah, jangan gitu terus. Mungkin kami memang berjodoh, jadi sudah ada garisnya aku harus nikah sama dia. Dan sudah ada garisnya juga, kalo aku harus sandiwara buat bikin dia dan keluarganya kapok. Hihihi ...."

"Kamu, tuh. Paling seneng ngerjain orang." Ayah mengacak rambutku yang masih diikat dengan karet gelang.

"Setelah urusan Abang selesai, Ayah siapin mental buat datang ke rumah Mas Agam lagi. Nanti susunan rencananya aku kasih tau kalo Abang udah datang."

"Kalo bukan karena kesal dulu Ayah ditipu, mana mau ikut-ikutan sandiwara kayak gini."

"Hidup itu adil, Yah, dan inilah keadilan untuk kita. Aku mau ke kantor dulu, ya. Ayah baik-baik di rumah."

"Upik abu siap beraksi jadi cinderella ...."

Aku tertawa mendengar gurauan Ayah saat akan masuk ke dalam kamar.

Dalam waktu satu jam, wanita kusam dan kumuh ini sudah berganti pakaian. Untungnya aku di anugerahi wajah bersih tanpa jerawat, jadi meski tanpa make up, aku tetap glowing hanya pakaian lusuh saja yang membuat wajah jadi terlihat kucal.

Melihat berlian di dalam rak membuatku jadi teringat Febi. Mengambil ponsel yang aku letakkan di meja rias lalu memotret satu persatu berlian harga mahal yang aku punya.

Sebenarnya aku tidak suka memakai barang ini, kalau bukan untuk kepentingan bisnis dan menjualnya lagi.

Foto-foto itu aku kirim melalui pesan messengger pada Febi, disertai tulisan 

[Berlian original asli Singapore. Mbak akan terlihat lebih cantik jika mengenakannya.]

Tak lama menunggu Febi membalas pesanku. 

[Mau, Mbak. Kalung yang itu, ya. Aku ambil dua. Harganya jadi berapa? Terus pengirimannya gimana?]

[Satu kalung masing-masing 75 juta, Mbak. Jadi kalau 2, cukup 150 juta aja. Boleh ke rumah saya untuk ambil barangnya, biar Mbak tahu saya bukan penipu.]

[Saya tahu, Mbak. Kan, saya udah kepoin akun Mbak. Rumah yang di upload itu rumah Mbak bukan? Bagus banget, ya. Aku jadi mau, deh, berteman sama pengusaha hebat kayak Mbak.]

[Iya itu rumah saya, Mbak. Boleh main ke sini nanti saya kasih alamat, ya.]

[Waaah, kalau saya ajak Mama dan Kakak saya boleh? Sekalian mau saya kenalin, soalnya kakak saya itu masih cari jodoh, dia PNS tingkat tinggi, jadi cocok sama Mbak.]

[Boleh banget, Mbak. Pasti kakaknya tampan dan mapan, ya? Tapi saya punya anak satu, memangnya kakak Mbak mau?]

[Oh, kakak saya pasti mau, Mbak. Soalnya dia sholeh, rajin ibadah, sayang sama orang tua terus enggak neko-neko. Dia enggak pernah liat status orang, jadi biar pun Mbak janda itu enggak akan masalah buat dia. Mau saya kirimin fotonya, Mbak?]

Mulutku menganga lebar, membaca kalimat pujian yang Febi tulis. Perutku sakit tak tahan ingin tertawa.

[Boleh, Kak. Mungkin saya bisa langsung jatuh hati.]

Foto dikirim, Mas Agam yang mengenakan seragam kebanggan berdiri di atas mobil yang baru dia cicil. Gayanya memang bisa bikin para perempuan jatuh hati. 

[Gimana ganteng, 'kan?] tanya Febi lagi.

[Ganteng banget, Mbak. Mata saya sampai takjub lihat ketampanannya yang masya Allah. Apa mungkin orang setampan dia mau sama saya, Mbak?]
[
Coba kirim foto Mbak, mau saya lihatin ke kakak.] 

Hmm ... jika fotoku dikirim, mereka akan mengenali tidak, ya? Tunggu, aku harus menambah sedikit riasan dan menggunakan wig rambut juga softlens.

Setelah berias, aku memotret dari samping, dengan tangan berisi dua cincin berlian yang aku acungkan ke atas. Riasan sempurna, warna bola mata serta bentuk juga warna rambut berbeda membuatku seperti orang lain.

Sempurna! Foto itu aku kirim, tak sabar menunggu balasan Febi.

[Maaf lama ya, Mbak. Tadi ada urusan dulu sebentar.] Aku memberinya alasan.

[Mbak, cantik banget. Aku aja yang perempuan sampai terpesona, apalagi kakak aku. Kirim alamatnya ya, Mbak. Nanti aku ke sana sekalian bayar berliannya.]

[Boleh, Mbak. Nanti kalau sudah pulang dari London saya beri kabar, ya.]

[Mbak lagi di London?]

Suara ketukan di pintu membuatku mendongak.

"Cinderella, ini udah siang. Kamu belum beres dandan? Mau ke kantor jam berapa?" panggil Ayah.

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Gara-gara keasikan sandiwara jadi sampai lupa waktu. 

"Iya, Ayah. Aku berangkat sekarang."

[Iya, biasa urusan bisnis. Mbak, maaf aku tinggal kerja dulu. Nanti kita sambung lagi, ya. ]

Aku menutup akun messengger dan segera membuka wig yang membuat kepalaku gatal. Bergegas mengambil tas jinjing dan memakai sepatu high heals bukan lagi sandal jepit.

Ada yang mau berkenalan denganku di facebook? Cari saja namaku, Zeylia sebuah plesetan dari nama sebenarnya. Azila.