Calon Imam Idaman-Bab 7

Pagi hari rumah ini diributkan oleh suara Mama yang berteriak membangunkan Mas Agam. Aku yang mulai membiasakan diri tidur lagi setelah sholat subuh jadi terganggu. Mimpi indah yang tengah kurangkai pun rusak.

Biasanya aku bangun jam 4 pagi, mencuci masak lalu membereskan rumah. Saat mereka bangun, rumah sudah rapih, cucian bertengger di tali jemuran, dan masakan terhidang di atas meja.
Mereka raja dan aku babu.

Namun, semenjak Mas Agam tidak lagi memberiku uang belanja setelah naik pangkat, semua pekerjaan itu tidak lagi aku kerjakan, lebih baik kembali tidur dan bermimpi indah.

Kami juga tidak lagi tidur satu ranjang sejak delapan bulan lalu, karena Mas Agam tidak mau sempit tidur bertiga dalam satu ranjang jadi dia terpaksa membeli kasur busa untuk aku tidur di bawah bersama Neva.

Tenang ... aku masih bersabar dan jangan tanya kenapa aku bisa se-sabar ini atas semua perlakuannya, kalau bukan karena dendam yang belum terbayar lunas.

Suara teriakan itu lagi-lagi bergema.

"Agaaam! Bangun!" teriak Mama sembari menggedor pintu kamar.

Aku pura-pura tertidur, biar Mas Agam saja yang membuka pintu kamar.

Dorongan di pundak yang keras membuat aku menggeliat. Mas Agam mendelik dan memberi isyarat untuk aku membuka pintu.

"Aku masih ngantuk, Mas. Kamu aja-lah."

Aku berbalik dan teriakan Mama membuat Mas Agam bangkit dari ranjang sembari terus mengumpat aku yang malas.

"Agaam, adikmu! Dia pingsan!"

Aku membuka mata. Febi kenapa bisa pingsan? Semalam dia baik-baik saja, sama sekali tidak menunjukkan gejala penyakit apa pun.

Mas Agam berlari menuju kamar adiknya yang berada di belakang.

Tenaang, Zia. Jangan terpancing, kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Selang beberapa menit, Mas Agam kembali ke kamar dan meneriaki aku hingga Neva menangis dalam tidurnya.

"Zia bangun! Adik ipar lagi pingsan kamu malah enak-enakan tidur!"

Sebelum Neva menangis lebih kencang lagi, aku memilih bangun dan menunggu Mas Agam melanjutkan perkataannya.

"Kenapa Feby pingsan, Mas?"

"Kalo dia pingsan berarti sakit! Kamu cepet beli nasi uduk ke depan komplek, sekalian beli obat juga buat Feby!"

Dahi ini mengernyit bingung, mencari tahu hubungan Feby yang pingsan dan nasi uduk.

"Kalo Feby pingsan kenapa aku malah disuruh beli nasi uduk?"

"Jangan banyak tanya kamu. Cepat beli tiga bungkus! Kamu tega liat adik kamu pingsan karena kelaparan?!"

Astagaa ... apa urusan perut semalam masih belum usai? Bisa jadi ini tak-tik yang Feby atau Mama luncurkan untuk memeras uangku, karena mereka pikir aku sudah gajian.

"Ya ampuun, Mas. Dia itu adik kamu, kenapa jadi aku yang repot? Kamu bisa beli sendiri, 'kan?"

"Jangan durhaka kamu! Mentang-mentang punya majikan baik udah berani ngelunjak sama suami! Kalau kamu nggak beli nasi uduk sekarang juga, aku seret keluar rumah tanpa Neva!"

Deg!

Ancaman yang bagus, dia memanfaatkan kelemahanku, jika begini caranya, Neva harus aku amankan sebelum semua rencana aku jalankan satu persatu. Aku tidak rela mereka mengambil Neva dariku.

"Mana uangnya?" Aku mengadahkan tangan pada Mas Agam.

"Kamu udah gajian, 'kan? Pake uang kamu, dong.
Jangan cuma mau numpang tidur tapi enggak mau ngeluarin duit! Udah untung cicilan rumah ini nggak aku suruh bantu bayar!"

Mas Agam melengos pergi menuju kamar mandi. Dugaanku benar, mereka sedang berusaha memeras uang dengan cara yang sungguh cerdik.

Aku berjalan menuju depan komplek demi mengikuti perintah Mas Agam. Sampai di depan tukang nasi uduk aku tertegun, rasanya sayang mengeluarkan uang membeli tiga bungkus nasi uduk dan diberikan pada  keluarga sombong itu. Kalau mereka cerdik, maka aku harus lebih cerdik.

"Bang, nasi uduknya sisa berapa?"

"Maksudnya, Mbak?"

"Saya mau borong, Bang. Semuanya, tolong bungkusin, ya."

"Se-semuanya, M-Mbak?" tanya pedagang itu terkejut.

"Iya, Bang, semuanya. Nanti Abang bagiin aja ke semua pengemis atau tukang sampah yang suka ada, aku bawa satu bungkus aja. Setelah semua dibagiin, cepet pulang sebelum jam delapan bisa, kan, Bang?"

Permintaan yang aneh mungkin, tapi kalau sampai Mas Agam melihat Bapak ini masih berjualan rencanaku bisa berantakan.

"Mbak enggak salah?"

"Ya bener, Bang. Tolong bungkusin, ya, saya bawa dulu uang ke ATM sebentar."

Bapak pedangang yang berusia senja itu mengangguk terharu, dia lalu segera membungkus nasi pesananku.

Aku tak pernah membawa uang banyak ke rumah Mas Agam, karena itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan. Aku hanya membawa satu kartu ATM yang tak pernah lepas dari saku baju-ku.

Bapak itu terharu menerima uang yang jumlahnya aku lebihkan sedikit. Ada rasa haru yang menyusup dalam dada, mendengar doa yang Bapak itu ucapkan padaku berulang kali.

Berkat Mas Agam, sepagi ini aku sudah bisa berbagi pada banyak orang.

"Kenapa cuma satu bungkus? Aku, kan nyuruh kamu beli tiga!" hardik Mas Agam begitu aku meletakkan satu bungkus nasi uduk di atas meja.

"Nasi uduknya abis, Mas. Ada orang kaya yang borong semua, jadi cuma sisa satu. Udah untung yang satu ini enggak aku makan," jawabku sambil berjalan masuk ke dalam kamar.

"Harusnya kamu inisiatif, dong. Beliin apa, kek, masa jadi cuma bawa satu bungkus! Terus aku sarapan apa?!"
Mas Agam mengikuti langkahku.

"Nasinya kamu bagi tiga aja-lah. Aku keburu-buru takut kesiangan, mau mandiin Neva!"

Mas Agam hanya melongo mendengar ucapanku. Sebelum dia berteriak lagi, aku segera membawa Neva menuju kamar mandi.

Aku terkikik geli saat keluar dari kamar mandi dan mendapati nasi uduk itu benar-benar mereka makan bertiga.

Ya Tuhan ... ada ya, orang yang pelit dan mau enaknya sendiri seperti mereka? Semua ini membuat aku semakin bersemangat untuk melakukan rencana-rencana lain.

"Zia, adikmu sakit. Kasian dia, badannya lemes ...," ujar Mama begitu aku selesai berganti pakaian.

"Ooh," jawabku tak acuh.

"Dia nggak bisa nyuci, Zi. Kamu mau bantuin bawa cucian mama juga Feby ke rumah majikan kamu, 'kan?"

Hmm ... kini aku tahu rupanya sakit itu hanya sandiwara untuk membebaskan Feby dari pekerjaan rumah dan secara tidak langsung meminta aku yang mencuci lagi baju mereka yang sudah menggunung itu.

"Maafin aku, Ma. Tapi hari ini aku diminta anter majikan cuci darah ke rumah sakit. Jadi pulangnya bisa sore dan nggak sempet buat nyuci. Mending Mama aja yang ngerjain, atau kalau Mama juga sibuk, bisa titipin ke loundry di depan sana."

"Tapi kamu yang bayar, ya?" kata Mama lagi.

"Lah, yang mau dicuci, kan baju Mama sama Feby, masa aku yang bayar. Aneh, deh."

"Kamu jadi menantu enggak ada gunanya banget. Udah nggak masak, beresin rumah, nyuci, sekarang mama minta tolong kayak gitu aja malah balik nyinyir! Ngaca, dong. Kalo bukan anak saya yang nikahin kamu, mana bisa kamu hidup enak di kota!"

"Mama mertuaku, Sayang. Anak Mama itu udah enggak pernah ngasih uang ke aku, jadi ngapain aku capek kerja kalo enggak ada bayarannya. Mending kerja di rumah orang, capek tapi dapet gaji yang jelas."

"Awas kamu, nanti anak saya ceraiin baru tahu rasa!" Mama mendengkus kesal lalu membanting pintu kamar.

"Maaf, Ma. Tidak perlu repot-repot, cukup aku yang akan membuangnya lebih dulu."

Mama tertegun bingung, dan aku meninggalkannya sendiri, mungkin dengan begitu dia bisa merenung arti dari ucapanku tadi.

Nanti Mama akan melihat siapa yang bertekuk lutut dan menyerah. Aku perempuan yang kalian hina atau anak Mama yang tampan dan jadi pujaan?

Mas Agam sudah rapih dengan kemeja batik seragam yang biasa dia kenakan pada hari Jum'at. Wangi parfumnya menguar ke seluruh penjuru. Pria itu bersiul seperti orang yang tengah gembira.

"Mas, mau berangkat sekarang?" tanyaku yang kebetulan sudah rapih, tinggal menggendong Neva.

"Iya. Enggak usah salim, entar tangan Mas jadi kotor lagi."

"Aku cuma mau nebeng, Mas. Ikut sampe lampu merah yang di depan, ya?" Aku merajuk, berusaha sabar dengan hinaannya tadi.

"Enak aja! Kamu itu cuma mau nge-babu, enggak usah sok naik mobil bagus segala! Naik angkot aja sana, orang kampung itu pantesnya naik angkot!"

Ya ampun, Mas. Apa aku harus nunjukkin mobil yang aku punya biar kamu gigit jari?

Sabar, Zia ... tahaaan ... jangan sekarang, terlalu mudah bagi Agam untuk menelan semua hinaannya. Harus ada cara yang pahit dan tidak akan mereka lupakan seumur hidup.

Aku beralih mengambil undangan yang ada di atas meja.

"Hari minggu besok aku ikut ke nikahan temen kamu, ya?"

"Hah?" Mas Agam tertawa.

"Kenapa?" Aku pura-pura tak mengerti.

"Kamu mau ikut? Terus mau aku kenalin gitu ke semua temen? Mereka enggak bakalan percaya kalo aku bilang, perempuan kumal dan kampungan kayak kamu itu istri aku! Lagian selama ini mereka tau-nya aku masih bujangan, jadi udahlah jangan bikin malu diri sendiri, mending minggu besok kamu beresin rumah yang udah kayak kapal pecah ini."

Rupanya aku istri yang tersembunyi, sengaja dinikahi hanya untuk menjadi babu, teman tidur dulu dan setelah bosan dihempaskan bagai sampah.

"Ooh gitu. Ya udaaah, nanti kalo aku datang, kamu jangan bilang ke temen aku istri kamu, ya. Kita pura-pura enggak kenal aja."

"Maksud kamu apa, Zia?!"

Aku terkekeh, membiarkan Mas Agam menerka sendiri maksud perkataanku tadi. Biarlah semua akan jadi kejutan. Kamu tidak mau mengakuiku maka aku juga tidak akan mengakui kamu sebagai suamiku.

"Mas, hari ini aku mau nganter majikan cuci darah. Kalo sampe kemaleman berarti aku nggak pulang. Kamu jangan nungguin, ya."

"Males banget nungguin kamu!"

Aku hanya tersenyum kecut lalu pergi. Seperti yang sudah Mas Agam tahu, setiap kali Ayah atau kusebut majikan jadwal cuci darah, aku akan menginap di sana. Hatinya sudah mati jadi dengan mudah menelan semua kata-kataku tanpa bertanya lebih jauh.

Malam ini akan kuhabiskan dengan chatingan bersama Mas Agam. Sudah gatal rasanya ingin bersikap sombong dan membuat dia gigit jari.

Aku sedang berjalan menuju depan komplek untuk naik angkot, ketika suara klakson mobil berbunyi kencang hingga membuatku sedikit terguncang.

Mobil Mas Agam bergerung di depanku lalu berlalu meninggalkan debu asap knalpot yang seakan sengaja disemprotkan padaku.

Dia keterlaluan!

Aku mengambil undangan  yang tergeletak di atas jok mobil. Sebuah undangan sama yang ada di kamar aku dan Mas Agam. Besok lusa aku akan datang dan seperti yang tadi Mas Agam katakan, pura-pura tak kenal.
Calon istri dari teman Mas Agam ialah karyawanku di kantor. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

Ponsel kunyalakan, setelah membalas deretan pesan di aplikasi hijau, aku beralih pada akun berwarna biru, sebuah postingan dengan nama yang sangat aku kenal, muncul dan berada paling teratas.

Postingan yang diunggah tiga jam lalu, foto Mas Agam mengenakan baju koko dan peci duduk di atas sajadah, tangannya memegang tasbih, senyumnya lebar dan penuh pesona. Sepertinya foto itu diambil pagi tadi saat aku sedang membeli nasi uduk, pantas saja saat pulang aku menemukan lipatan sajadah dan sarung tidak seperti biasanya di kamar.

Aku hanya merasa lucu, bukankah dia baru bangun jam 6 pagi, lalu sholat apa yang sedang dia lakukan di foto ini? Caption yang tetulis lebih membuatku tergelitik dan tak tahan untuk tertawa.

*Perbaiki imanmu maka kelak Tuhan akan mempertemukan kamu dengan calon bidadari yang terbaik. Cintai dulu Tuhanmu setelah itu baru cintai pasanganmu.*

Komentar yang masuk berisi pujian lelaki sholeh, calon imam idaman para wanita. Tiba-tiba aku merasa mual melihatnya.

Sebuah pesan masuk di akun messengger, pesan dari lelaki pujaan yang menggetarkan dunia maya.

[Assalammualaikum, wr, wb. Hai, Zelia. Kamu pasti sudah mengenal saya, karena ternyata kita juga berteman di facebook. Saya kakak Feby dan rasanya bahagia sekali begitu mendengar cerita Feby tentang perjodohan kita. Kamu tahu Zelia, pepatah yang mengatakan lelaki yang baik akan mendapat pendamping wanita yang baik pula, dan insya Allah saya adalah lelaki terbaik untuk kamu. Cepatlah pulang, Zelia. Nanti aku akan datang ke rumah untuk meminang kamu. Wassalam.]

Mataku membeliak terkejut membaca isi pesan yang Mas Agam kirim. Dia memang pandai bersandiwara dan pintar berkata-kata, wajar jika Ayah ataupun banyak perempuan lain yang tertipu dengan kalimatnya.

Baiklah, Mas. Aku akan membuatmu lebih berdebar-debar dengan kalimat cinta lalu perlahan debaran itu berganti menjadi sakit pada jantung.

Ah, indahnya ....