Hening, sama sekali tak ada sahutan. Ke mana perginya Sandra? Apa mungkin ia sedang keluar rumah? tapi kenapa ia tak pamit padaku. Perut yang keroncongan menuntun kakiku ke arah dapur. Tadi malam aku dan Siska lembur hampir semalaman. Begitu hebat pertempuran kami. Sampai-sampai tak sadar kalau ketiduran. Bangun-bangun perut terasa perih melilit. Apalagi tubuh juga masih terasa lelah, sisa pertempuran tadi malam.
Bahkan sekarang Siska masih bergulung dengan selimut. Biarlah, aku tak tega membangunkannya. Wanitaku itu pasti sedang kecapekan.
Sesampainya di dapur, aku terkejut bercampur heran. Pasalnya tak kutemukan sama sekali makanan yang terhidang. Meja makan yang biasanya penuh dengan wadah berisi makanan, kini sudah kayak tanah lapang. Benar-benar kosong. Apa mungkin disimpan di dalam kulkas, ya? atau di dalam rak?
Satu persatu kujelajahi tempat yang sekiranya dijadikan sebagai tempat penyimpanan. Lagi-lagi aku harus menelan kecewa, tak ada satu makanan pun yang tersedia. Bahkan sekedar camilan pun tak ada.
Astaga, sebenarnya apa sih yang dikerjakan Sandra? Makanan untuk suaminya saja tak ia sediakan. Lalu apa gunanya ia sebagai istri? pajangan? Benar-benar pemalas.
Aku berjalan mengitari semua ruangan, siapa tahu sosok yang kucari berada di dalamnya. Sayangnya setelah berulang kali mengecek, masih saja tak kutemukan akan keberadaannya. Oke, fix dia beneran keluar rumah.
Rumah memang sudah terlihat rapi dan bersih, tapi kan tugas istri bukan hanya itu. Menyiapkan makan untuk suami juga termasuk tugas istri. Untuk apa aku memberinya uang nafkah? kalau pada akhirnya aku juga yang harus mengeluarkan uang lagi untuk makan.
Aku melirik ke arah jam yang menempel di dinding.
Siaallll!
Aku bisa terlambat ke kantor kalau begini. Duh, mana perut lapar lagi. Semua ini gara-gara Sandra, beruntung aku menikahi Siska. Setidaknya melihat wajah cantiknya, mengobati rasa jenuh yang mulai menyerang hubunganku dengan Sandra.
Setengah berlari aku ke kamar, bersiap-siap untuk berangkat kerja. Lagi-lagi aku dibuat kesal. Keperluanku sama sekali belum disiapkan, mulai dari dasi, baju, celana, kaos kaki, bahkan sampai Daleman pun tak ada. Lalu dari tadi pagi apa yang dikerjakan Sandra. Pasti sibuk dengan ponselnya.
Arggggg!
Dengan menahan perasaan dongkol, aku menyiapkan apa yang kuperlukan. Dan itu memakan waktu yang cukup lama juga tenaga tak sedikit. Itu pun aku kurang sreg dengan penampilan sendiri. Sangat-sangat bertolak belakang dengan kebiasaan selama ini. Mau bagaimana lagi, hanya setelan kemeja dengan corak yang ramai dan warna mencolok yang masih bisa diselamatkan. Sedangkan setelan yang lain terlihat lebih memprihatinkan. Teronggok di pojok kamar dalam kondisi belum dicuci. Siapa juga yang mau memakai baju kotor. Bisa terserang bakteri. Apalagi aku tak tahu, berapa lama Sandra menumpuk baju di keranjang itu.
'Sandra, kau benar-benar membuatku susah saja. Seharusnya kalau mau pergi, pastikan dulu keperluan suamimu. Sudah siap apa belum?' sungutku dalam hati.
Selama ini, semua keperluanku memang Sandra yang persiapkan. Bangun-bangun semua sudah tersedia. Toh, memang sudah jadi tugasnya sebagai istri melayani suami. Masa sudah capek-capek kerja cari uang, di rumah masih dikasih pekerjaan lagi? kan, egois itu namanya. Apapun pekerjaan yang ada di rumah, itu semua tugas tanggung jawab istri.
*****
Saat meeting, berulang kali ponselku berdering tiada henti. Sampai-sampai aku malu dibuatnya. Tak ada pilihan lain selain mematikan dayanya, agar aku bisa lebih fokus bekerja. Lagipula siapa sih yang menelponku? apa ia tak tahu aturan? harusnya sadar diri kalau saat ini masih jam kerja. Ini pasti kerjaan orang-orang yang kurang beretika.
"Pak Arga, tolong lain kali kalau ada masalah jangan dibawa ke dalam pekerjaan! Bersikaplah profesional!" ujar Pak Dayat selaku pimpinan tempatku bekerja. Setelah mengatakan hal itu, beliau langsung berlalu pergi. Diikuti sekretarisnya dari belakang. Mereka sama sekali tak memberikan kesempatan buatku mengutarakan pembelaan.
'Tuh, kan kena teguran. Ini semua gara-gara nomor sialan.' sungutku.
Bergegas kunyalakan ponsel milikku. Tak sabar ingin mendamprat pelaku yang tadi menerorku. Bisa-bisanya dia membuat nilaiku jatuh di depan atasan. Tak ada maaf untuk perusuh, apalagi sampai membuatku tercoreng dari gelar karyawan teladan yang selama ini disematkan padaku.
Saat melihat history panggilan, aku dibuat tercengang dengan nomor yang tadi meneror. Ada tiga puluh panggilan berasal dari nomor itu, yang tak lain pemiliknya adalah istriku, Siska.
'Pasti ada hal penting yang ingin disampaikan olehnya, mana mungkin ia gencar menelponku kalau bukan hal yang penting.' gumamku menghibur diri sendiri. Meredam kekesalan karena ulahnya.
Selain menelponku, ternyata Siska juga mengirim pesan yang tak kalah banyak. Dengan perasaan tak menentu, kubuka pesan darinya.
[ Mas, aku lapar. ]
[ Mas, kok nggak ada makanan sama sekali. Aku lapar. ]
[Mas.... Istrimu itu nggak becus banget sih, jadi istri. Masa keluar tanpa meninggalkan makanan apapun di rumah. Kerjaan dia apa sih? masa buat masak saja nggak sempat. ]
[ kok nggak diangkat, sih, Mas? aku ini di rumah kelaparan, loh. ]
[Mas.... ]
[Mas....]
[Mas.... ]
[ Mas, pulanglah sebentar! bawakan makanan untukku. Perutku lapar. huhuhuhu. ]
[Mas... perutku perih. Kalau aku mati bagaimana? Istrimu harus tanggung jawab. ]
Dan sederet pesan lainnya yang isinya sama. Merengek karena kelaparan. Tak ketinggalan umpatan dan makian untuk Sandra juga ia selipkan di pesannya.
Aku memijit kepala, pening. Baru saja sehari memboyong Siska untuk tinggal di rumah. Banyak sekali kejadian yang sama sekali tak mendatangkan keuntungan buatku. Benar-benar apes hari ini. Sudah pagi tak sempat sarapan, datang ke kantor terlambat, penampilan sudah mirip taman bunga warna-warni, dapat teguran dari atasan pula.
Sungguh nikmatnya, arghhhhh.
*******
Hari ini terasa melelahkan. Rasanya tak sabar untuk sampai rumah. Apalagi hari ini gajian, sudah dipastikan istri-istriku akan menyambutku dengan suka cita. Selain itu, aku ingin memberikan pelajaran kepada Sandra. Gara-gara dia yang mangkir dari tanggung jawabnya, membuat hariku menjadi berantakan.
'Awas saja kamu, Sandra,' gumamku.
Sesampainya di rumah, suasana masih sepi. Apa mungkin anak-anak belum pulang dari sekolah, ya?
Aku dan Sandra memang sengaja memilihkan sekolah yang sistemnya fullday untuk kedua putra kami. Bukan karena kesibukan, melainkan memang hanya sekolah itu yang kualitasnya bagus di sini.
Tak lama kemudian, disusul kedatangan dua jagoanku beserta Mamanya.
"Papa...." teriak keduanya sembari berlari menghampiriku yang sudah sampai di depan pintu. Keduanya gelendotan pada kakiku.
"Hayooo, pada bersih-bersih badan dulu! mainnya sama Papa nanti lagi, biar Papa juga mandi," seru Sandra sembari berjalan kemari. Salah satu tangannya menenteng kantong plastik, entah apa isinya. Sedangkan satunya menenteng ransel biru bergambar robot. Oh, itu milik farel si bungsu.
"Beneran, ya, Ma?" tanya Riko memastikan.
"Iya, sudah mandi dulu, gih. Biar wangi nggak bau acem lagi," balas Sandra sembari mengulas senyum. Membuat kedua jagoanku lonjak-lonjak gembira. Astaga, segitu senangnya mereka bisa bermain denganku.
Ah, iya, bahkan aku sampai lupa kapan terakhir menghabiskan waktu bersama mereka. Entah kesibukan apa yang kulakukan, sampai-sampai tak sempat ada waktu untuk kedua putraku.
"Dek," panggilku menahan tubuh Sandra agar tak terburu masuk.
"Ya?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
"Kok, nggak salim?" tanyaku sembari menyodorkan tangan.
"Duh, maaf, Mas tanganku kotor selain itu juga kapalan. Takutnya kamu nanti ketularan penyakit dari kotoran yang ada di tanganku," balasnya dengan senyuman.
Aku merasa tertampar dengan kata-katanya. Kenapa Sandra bisa ngomong seperti itu, atau mungkin dia....
" Kalau gitu aku masuk dulu ya, Mas, jangan sampai anak-anak terabaikan gegara Ibunya asyik ngrumpi." Lagi aku di buat tersentak oleh ucapannya.
"Nah, ini dia orangnya sudah datang," ujar Siska dari dalam rumah. Membuat Sandra urung untuk melangkah. " Mbak, kamu itu jadi istri kok nggak becus, sih? seenaknya pergi meninggalkan tanggung jawabmu," maki Siska pada kakak madunya.
"Tanggung jawab mana yang kamu maksud?"
"Harusnya sebelum pergi, kamu selesaikan dulu tugas utamamu sebagai istri. Lihatlah bagaimana Mas Arga sekarang! sudah gitu Mbak juga tega membiarkanku kelaparan."
"Memang ada apa dengan Mas Arga? dia masih hidup, tuh, dan juga keadaannya utuh. Tak ada anggota tubuhnya yang hilang. Lalu apa hubungannya kamu yang kelaparan denganku?"
"Mbak, kamu ini istri macam apa yang terang-terangan mendoakan suaminya mati," Hardik Siska dengan mata melebar. " Setidaknya kalau mau pergi itu, tinggalkan makanan untukku. Kalau aku mati kelaparan bagaimana? Mbak, mau tanggung jawab?"
" Lalu statusmu di sini apa?" Sandra balik bertanya.
"Statusku juga sama kayak kamu, Mbak, sama-sama istrinya."
"Terus kenapa tidak kamu saja yang menyiapkan keperluannya? kupikir memasak untuk dua orang tak akan membuat kehilangan tangan atau kaki jenjangmu."
"Lohh, aku itu istri bukan pembantu, Mbak. Tugasku hanya melayani Mas Arga di...."
"Ranjang? Duh, udah mirip wanita panggilan dong kalau begitu," cibir Sandra tanpa pikir panjang.
"Maksudmu apa, Mbak, bilang seperti itu, ha?" sentak Siska tak terima. Tubuhnya merangsek maju ingin menyerang Sandra. Untung aku sigap menahannya.
"Tenang, sayang," ujarku meredam emosinya.
"Kamu dengar sendiri kan, Mas, kalau Istrimu tadi menyamakanku dengan wanita murahan. Aku nggak terima dihina seperti itu. Lepaskan aku, Mas! biar kuberi pelajaran istri tuamu itu." Siska terus meronta-ronta dalam dekapan. Hingga membuatku sedikit kewalahan. Kubisikkan kalimat-kalimat cinta pada telinganya. Perlahan tubuhnya mulai melunak.
"Dek, masuklah ke rumah. Nanti setelah anak-anak tidur, ada yang ingin Mas bicarakan kepada kalian berdua. Terutama kamu, Dek."
" Aku?" Sandra menunjuk dirinya dengan jarinya.
"Iya kamu, Dek, sebaiknya Adek introspeksi diri dulu. Kalau sudah tahu apa kesalahannya, katakan kepadaku! Percayalah! Mas, selalu mempunyai banyak pintu maaf atas kesalahan yang kamu lakukan, dengan catatan mau mengakui kesalahannya."
"Oh, kalau mengenai hal itu tidak perlu repot-repot menunggu nanti, karena sekarang saja sudah tahu letak kesalahanku." Masih dengan senyum yang mengembang pada wajahnya.
"Katakan saja, Dek! Mas pasti akan memaafkanmu."
"Kesalahanku cuma satu saat ini yaitu .... terlalu mempercayaimu."
Setelah mengatakan hal itu Sandra langsung berlalu, meninggalkan diriku dengan perasaan tak menentu.
Ada apa dengan Sandra? kenapa perasaanku mengatakan kalau ada jarak yang terbentang di antara kami.