Dua
Aku menatap lekat Sandra, menunggu ia menyelesaikan kalimatnya yang masih gantung.

"Tapi apa, Mbak? cepat katakan! jangan membuat kami penasaran!" sela Siska tak sabar. 

Tuh, kan. Aku tak salah memilihnya sebagai istri. Tanpa kukatakan, ia bisa memahami apa yang kurasakan. Benar-benar istri idaman.

"Mas, kamu yakin bisa berlaku adil pada kami berdua?" Bukan meneruskan ucapannya, Sandra malah balik bertanya.

"Sangat yakin, percayalah! Mas, pasti bisa berlaku adil kepada kalian," balasku mantap.

"Mbak nggak setuju, ya, dengan pernikahan kami? jangan suruh kami berpisah, Mbak! Pasti Mbak sudah tahu kalau seorang istri tak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istrinya yang lain. Setuju atau tak setuju, aku sudah sah menjadi istri Mas Arga. Hak dan kewajiban kita sama. Harusnya Mbak Sandra berterima kasih padaku, karena mau membantu meringankan tanggung jawabmu. Bukan malah menjadikan saingan atau musuh," ujar Siska panjang lebar. Selain cantik, ternyata istri keduaku juga pandai dan baik hati. Tanpa ragu ia mau berbagi ilmunya pada kakak madunya.

"Tuh, Dek, dengerin! Mas tentu tak sembarangan memilih teman untukmu. Hanya kualitas terbaik yang Mas pilih. Agar kamu tak lagi merasa kesulitan atau kecapekan mengurus keluarga."

Sandra masih bergeming, hanya bola matanya yang berpindah-pindah mulai dari menatapku lalu beralih ke arah Siska. Tak sepatah kata pun yang keluar untuk menyela atau membantah kami. Dan sikapnya yang seperti ini, malah membuat rasa percaya diriku berganti rasa gugup. Ada keresahan yang mencuat dari lubuk hati, entah karena apa.

Sandra nampak menghela nafas panjang. Seolah ada beban yang ingin ia luapkan. Apa hal ini menjadi beban untuknya? ah, tidak mungkin akan jadi beban. Justru dengan kehadiran Siska, akan mengurangi beban yang dipikulnya.

"Seperti yang kubilang sebelumnya, aku sangat senang atas perhatian yang kalian berikan, dan sangat terbuka menerima kehadiran Siska di tengah keluarga ini. Tak mungkin kan kalau aku melarang, toh, apa yang diucapkan Siska benar, sudah tak ada gunanya. Percuma."

Deg!
Entah kenapa ucapan Sandra, mengusik sudut hatiku. Apa mungkin sebenarnya ia keberatan dengan pernikahanku dengan Siska? Eh, tapi bukannya ia tadi bilang kalau ia senang dan menerima dengan tangan terbuka? Itu berarti ia tak keberatan. Duhh, kenapa para wanita kalau ngomong suka muter-muter dulu, ya? tidak langsung pada intinya, bikin gagal paham saja.

"syukurlah, Mas, lega mendengarnya. Gini ini yang namanya istri idaman, mengerti apa kemauan suami. Mas, bangga bisa memiliki istri Sholehah seperti kalian," ujarku bangga dengan senyum mengembang. Kulirik Siska yang wajahnya nampak cerah dengan mata berbinar-binar.

"Mas, alasanmu menikah lagi karena ingin membantu meringankan tanggung jawabku, bukan?" tanya Sandra.

"Benar, Dek. Mas tak tega melihat Adek yang begitu kerepotan mengurus keluarga. Kalau ada Siska, kalian bisa berbagi tugas."

Lagi-lagi, Sandra kembali diam. Kukira ia akan meledak-ledak saat tahu bahwa suaminya ini telah menikah untuk kedua kalinya. Nyatanya ia hanya diam. Tak ada umpatan, makian, apalagi penyerangan secara brutal. Hanya saja, aku merasa reaksi Sandra yang seperti ini malah lebih menakutkan.

Ah, mungkin ia hanya syok sebentar. Nanti, juga bakalan kembali seperti semula. 

"Baik, seperti yang diucapkan Siska kalau hak dan kewajiban kita sama sebagai istri Mas Arga, untuk itu aku ingin tanggung jawab yang biasa kupanggul sendiri dibagi menjadi dua begitu juga dengan masalah nafkah. Bagaimana?"

"Tentu, Dek, aku akan membagi seadil-adilnya," balasku lantang. 

"No, kamu tak berhak untuk itu, Mas," balas Sandra enteng. Lantas membuat aku dan Siska saling berpandangan. Bingung dengan maksudnya. Kalau bukan aku siapa lagi? kan yang berperan sebagai Suami aku. 

'Duh, sebenarnya apa yang diinginkan oleh Sandra. Kenapa dari tadi membuatku bingung sendiri? Apa susahnya sih, ngomong langsung!' sungutku dalam hati.

"Loh, kenapa Mas Arga nggak berhak, Mbak? kan dia yang imam di sini, sudah sepatutnya kita sebagai makmum mengikutinya."

'Ah, Siska ... lagi-lagi kata yang keluar dari bibirmu suatu kebenaran, kamu memang benar-benar wanita berkelas. Tahu bagaimana memposisikan diri. Sungguh pesonamu membuatku tak tahan,' pujiku dalam hati.

"Memang benar, hanya saja kalau seorang Imam melakukan suatu kesalahan bukankah makmum berhak menegurnya?"

Kutatap wajah wanita di hadapanku, tak ada perubahan. Masih sama, tak ada ekspresi. Tapi, kenapa aku merasa kalau ia tengah menyudutkanku?

"Maksud Mbak Sandra pernikahan kami suatu kesalahan?" Sungut Siska kesal. Ia menatap nyalang wanita di hadapannya. "Asal Mbak tahu, ya? kalau bukan karena alasan anak, kamu sudah pasti ditinggalkan sama Mas Arga. Mana ada suami yang betah kalau istrinya sepertimu, Mbak," hardik Siska kepada ibu dari anak-anakku.

Herannya, Sandra tak membalas dengan hal yang sama. Justru ia nampak tersenyum. 

"Sudahlah, Dek, apa yang dibilang Siska benar. Kan, di sini Mas yang jadi kepala keluarga," ucapku menengahi. Bisa-bisa kalau dibiarkan akan terjadi baku hantam di antara mereka berdua. 

"Mas, aku tahu bahkan semua orang juga tahu kalau kamu adalah kepala keluarga. Hanya saja, biarkan kami para wanita yang menentukan pembagian tanggung jawab sebagai istri. Lagi pula kamu kan lelaki, Mas, mana paham kalau menyangkut pekerjaan rumah. Makanya tadi kubilang kalau tak berhak. Toh, yang tahu seluk beluk di rumah ini juga aku."

Benar juga, ya, apa yang dikatakan Sandra. Terpenting kan pekerjaan beres, istri akur.

"Baiklah, Dek, kamu yang menentukan," ucapku memutuskan. Membuat istri pertamaku tersenyum lebar. Sampai-sampai aku dibuat heran. Kenapa ia terlihat begitu puas sekali? atau mungkin ada yang ia rencanakan. Seperti cerita-cerita yang dibaca Siska. Istri pertama membalas suami dan madunya. Ada yang dibuat miskin, bahkan ada yang sampai depresi.  Ngeri-ngeri pembalasan yang mereka lakukan.

Aku, kan tak menceraikan Sandra. Jadi pembalasan seperti itu, tak berlaku untukku.

"Mas, bagaimana kalau Mbak Sandra memperlakukanku sebagai pembantu?" rengek Siska kepadaku. Apa iya Sandra tega seperti itu? rasanya tidak mungkin. Dia tipe orang yang tak tega melihat orang lain kesusahan. Sudah tentu ia tak akan membiarkan Siska bekerja sendirian. Selain itu, ia wanita yang sangat bertanggung jawab. Tak mungkin kalau sampai melempar tanggung jawabnya ke orang lain.

"Tenang, aku bukan orang yang seperti itu. Kamu tahu itu kan, Mas?"

Aku mengangguk, membenarkan apa yang diucapkannya.

"Nah, kamu lihat sendiri kan. Mas Arga sangat mengenalku, apa kamu tak percaya dengan suamimu?" 

'Loh, kok jadi aku dibawa-bawa? Terus kenapa juga Sandra bilang kalau aku suaminya Siska? ya, memang benar sih, tapi kan aku juga suaminya. Harusnya ia bilang suami kita, bukan suamimu.' lagi-lagi batinku protes.

"Cepat katakan! awas kalau aneh-aneh," ancam Siska.

"Tenang, hanya sebuah pilihan. Kamu pilih Mas Arga atau anak-anak?"

Aku mengernyit, tak paham dengan jalan pikiran Sandra. Pilihan macam apa itu?

"Maksudnya, Dek?"

"Seperti yang Mas katakan, kalau aku akan berbagi tanggung jawab dengannya." Tangan Sandra menunjuk Siska.

"Lalu apa hubungannya denganku dan anak-anak?"

"Karena Siska menikah dengan lelaki yang sudah berkeluarga, itu berarti ia harus siap menerima anak-anaknya. Bukan hanya mau sama Bapaknya saja. Intinya tanggung jawab mana yang mau ia ambil, Mas Arga atau anak-anak?"

"Aku pilih Mas Arga, anak-anak bagian Mbak saja," sahut Siska cepat. Ternyata ia begitu mencintaiku. Siska bersandar pada pundakku dan kubalas dengan mengusap pucuk kepalanya.

"Ehm...."

Astaga, aku lupa kalau masih ada Sandra. Tak apa, pasti ia juga memaklumi tingkah kami. Namanya juga pengantin baru, maunya pengen nempel terus.

"Bisa saya lanjutkan?" tanyanya.

"Lanjutkan saja, Mbak, kami nggak tuli,  sudah pasti dengar apa yang Mbak ucapkan," balas Siska. Masih dengan posisi yang sama. Di tambah dengan memainkan ponselnya.

Sebenarnya ada perasaan tak enak pada Sandra, tapi mau bagaimana lagi. Kalau kutegur, takutnya Siska sedih dan merasa tak nyaman di rumah ini. 

"Baik kamu sudah memilih Mas Arga, jadi mulai detik ini apapun yang menyangkut dengannya itu tanggung jawabmu dan pilihan yang kamu ambil berlangsung selama menjadi istrinya. Sedangkan aku juga sama, apapun yang menyangkut anak-anak adalah tanggung jawabku. Bagaimana, kalian setuju?"

"Setuju," sahut Siska penuh keyakinan.

"Bagaimana denganmu, Mas?" tanya Sandra padaku. Sebenarnya ada perasaan janggal, hanya saja aku tak tahu itu apa.

"Kalau kalian setuju, Mas, juga setuju," ujarku sambil tersenyum. Berusaha melupakan perasaan resah yang tiba-tiba menghantui.

"Oke, untuk masalah nafkah berapa yang akan Mas Arga beri kepada kami?" Sandra kembali bertanya.

"Masing-masing dari kalian mendapatkan nafkah tiga juta."

"Baik, tolong mulai besok Mas Arga Carikan rewang untuk bantu beresin rumah. Tak perlu sampai seharian jam kerja, cukup bantu tiap pagi saja."

"Loh, Dek, kan sudah ada kalian berdua, kenapa masih cari rewang lagi?" protesku. Percuma kan punya istri dua, kalau buat beresin rumah masih saja cari orang. 

"Emangnya Mas Arga mau tiap hari denger kita ribut perkara beresin rumah. Emang Mas bisa jamin kalau istri mudanya mau ikut beresin rumah?"

"Kan kalian bisa bikin jadwal piket buat beberes rumah."

Sandra termenung, sepertinya ia tengah menimbang saranku. Benar kan, lebih baik uangnya ditabung dari pada dikasihkan ke orang. Toh, di rumah juga sudah ada dua istri.

"Baik, tapi di larang mengganggu yang bukan jadwalnya."

"Terserah kamu saja deh, Mbak, yang penting urusanku hanya tentang Mas Arga," sahut Siska.

"Oke, tunggu di sini!" pinta Sandra pada kami. Sedangkan ia bangkit dan berjalan ke arah kamar kami. Entah apa yang ia lakukan.

Tak lama kemudian, Sandra datang dengan menenteng sebuah Map biru. 

"Tolong kalian tanda tangani ini!" pintanya dengan mengulurkan selembar kertas. Aku dan Siska saling melempar pandangan. Ada tanya pada sorot mata kami.

"Apa ini, Dek?" tanyaku memastikan. Takut kalau ini jebakan yang dibuat Sandra untuk mengalihkan hartaku.

"Perjanjian bahwa kalian setuju dengan pembagian tanggung jawab tadi, baca saja kalau tak percaya!"

Kutatap lekat wajahnya, mencari kebohongan melalui sorot matanya. Nihil, ia benar-benar serius.

"Sudah, Mas, percaya denganmu, Dek," balasku dengan membubuhkan tanda tanganku pada bagian yang di tunjuk Sandra. Aku percaya padanya, tak mungkin ia akan melakukan hal keji. Dia bukan wanita yang serakah akan harta. Nyatanya ia tak pernah menuntutku untuk dibelikan suatu barang. Paling sering ia minta tambahan uang belanja karena uang yang keberi tak cukup katanya.

 Melihatku tanda tangan dengan suka rela, Siska akhirnya juga ikutan tanda tangan. Tanpa membaca apa isi perjanjian itu. Setelah mendapatkan tanda tanganku dan Siska, Sandra tersenyum lebar. Lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Dasar istri nggak ada akhlak!

*****

"Sandraaa...."
















Komentar

Login untuk melihat komentar!