Tujuh
"Mas, aku pesankan makan saja, ya? masakan rumahan kok, bukan makanan pinggir jalan," ucap Siska tanpa memandangku. Mata dan jarinya sibuk dengan ponsel. Ingin sekali rasanya aku melempar benda itu, agar wanita itu hanya fokus kepadaku bukan yang lain. Sudah tahu suami sakit begini, malah asyik sendiri.

"Bagaimana, Mas, kamu mau makan apa?" tanya Siska masih tanpa melihat ke arahku.

Bagaimana bisa ia berpikir untuk membeli makanan lagi? sudah jelas tadi Sandra mengatakan kalau aku tak kuat dengan makanan jadi. Satu dua kali tak masalah, tapi ini sudah seminggu ia memberiku makanan yang bukan olahan sendiri. 

Hasilnya ya begini, kepala berputar-putar dan perut terasa mual hebat. Sudah persis kayak orang keracunan saja. Seperti ini juga bukan keinginanku. Enak saja Sandra menyebutnya modus biar hemat. Memang keuntungannya uang lebih hemat, hanya saja kalau di rumah tak ada yang menyediakan makanan, masa iya aku tak makan sampai ada yang menyiapkan? bisa-bisa jadi busung lapar tubuh ini. 

Heran, kenapa juga Sandra berubah? Jangankan menyiapkan makan, keperluanku yang lain saja, sama sekali tak disentuhnya. Ia benar-benar fokus pada anak-anak. 

"Mas, kok malah diam sih?" protes Siska manyun.

"Masak saja, ya? tubuh mas nggak kuat kalau terusan makan makanan beli, Yang. Bisa-bisa masuk Rumah Sakit kalau kebanyakan. Emang kamu nggak kasihan kalau sampai aku opname?" Aku memasang wajah memelas. Berharap Siska mengerti kondisiku saat ini.

"Kamu kok aneh banget sih, Mas? Masa cuma gara-gara beli makan di luar, bisa masuk Rumah Sakit. Atau emang ini akal-akalan kamu saja, biar nggak banyak keluar duit?" tuduhnya dengan mata menyipit.

"Lah, kan uangnya emang sudah Mas kasih kalian berdua, uang mana lagi yang harus dikeluarkan kalau semua gaji udah kalian pegang," balasku geram.

Bisa-bisanya Siska berpikiran seperti itu. Ini juga salah Sandra, ngapain juga dia bicara seperti itu? Dasar racun, beraninya dia membuat Siska menuduhku yang tidak-tidak.

"Hah? masa iya nggak ada sisa sama sekali?" kening Siska mengkerut. Nampaknya ia masih tak percaya dengan apa yang kukatakan.

"Ada, buat bayar cicilan rumah dan mobil."

"Mobil dan rumah juga belum lunas?" Wajah Siska terlihat kaget, lalu berubah masam. Ada apa dengannya? Bukankah ia bilang cinta mati denganku. Tak peduli bagaimana keadaanku? berapapun harta yang kumiliki dia akan senang hati menerima. Lalu, kenapa ia terlihat kesal saat tahu rumah dan mobil masih kredit alias belum lunas.

"Bentar lagi lunas kok, Sayang, sabar ya?" 

"Tapi ... Mas harus janji kalau semua sudah lunas, uang bulananku ditambah. Lihatlah, wajahku sudah mulai kusam. Sudah waktunya perawatan," balas Siska merajuk.

"Gampang semua bisa diatur, lagi pula tanpa perawatan juga masih terlihat cantik kok, Sayang. Mas mencintaimu apa adanya," rayuku. Membuat wanita yang berdiri di sebelah ranjang tersenyum malu-malu. 

Ah, di mana-mana yang namanya perempuan kalau sudah dirayu dikit saja langsung klepek-klepek. Apalagi aku yang melakukannya, sudah tampan, mapan, sholeh pula. Wajar kalau banyak wanita langsung terpikat denganku.

"Mas juga harus ngasih pelajaran ke Mbak Sandra, biar dia nggak semakin nglunjak."

"Argaaaaa...."

Sontak saja aku dan Siska menoleh ke arah pintu. Di mana ada Sandra yang tengah mendorong kursi roda milik ibuku. Selain itu ada juga Mbak Rika beserta tiga pasukannya. 

Mbak Rika adalah kakak Perempuan sekaligus anak sulung di keluargaku. Kami tiga bersaudara, hanya aku yang paling tampan dalam keluarga. Bukan karena yang lain jelek, melainkan karena hanya aku lelaki yang tersisa dalam keluarga. Bukan termasuk ipar, ya? beda.

Mbak Rika berusia 36 tahun, aku 34 tahun, dan terakhir Ratna 27 tahun. Kami semua sudah berkeluarga. Kemana Bapak? tak ada. Bapak sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Sejak itu pula, keseimbangan ibu mulai turun. Kadang bersikap layaknya orang normal. Tak jarang pula kadang bertingkah layaknya anak kecil, bahkan lebih.

Sandra yang selama ini mengurus keperluan Ibu. Tak heran kalau Ibu begitu nyaman dengan sosoknya. Beda saat denganku, ibu akan marah-marah tak jelas. Padahal di sini aku yang anak kandungnya, bukan Sandra.

Ada untungnya juga sih ibu bersikap seperti itu, aku jadi tak direpotkan atau terganggu dengan tingkahnya yang kadang memancing emosi. 

"Kata Sandra, kamu keracunan. Kok bisa, sih? jangan bilang kalau kamu jajan di luar?"  Aku hanya meringis menanggapi pertanyaannya yang beruntun itu.

"Astaga ... kan, kamu tahu sendiri kalau tubuhmu itu menolak. Masih saja bandel, kalau sudah kejadian begini baru mau berhenti," sembur Mbak Rika tanpa celah.

"Lohhh, kamu siapa?" tanya Mbak Rika, saat bola matanya menangkap sosok Siska.

"Ini Siska, Mbak." Sandra mendekati Siska. Ada perasaan cemas saat melihat itu. Bagaimana kalau Sandra bertindak anarkis kepada adik madunya? bisa saja, kan itu terjadi? mengingat perasaan cemburu yang bisa membutakan hati dan pikiran.

Tak kusangka, apa yang kupikirkan tidaklah terjadi. Malah justru sebaliknya. Sandra dengan senyum mengembang merangkul pundak Siska dan menuntunnya mendekat pada Ibu dan juga Kak Rika. Anak-anak hanya sebagai penonton, sama sepertiku.

"Siska, sapa dong ibu Mertua juga kakak iparmu! masa nggak ingin kenalan dengan keluarga suami. Pasti nggak asing, kan dengan pepatah ini, tak kenal maka tak sayang?"

"Bentar! ini maksudnya apa? kenapa kamu bilang kalau aku adalah iparnya dia?" raut wajah Mbak Rika terlihat bingung. Sudah tentu bingung, karena mereka tak ada yang tahu kalau aku menikah lagi.

"Lohhh, Mbak Rika nggak tahu kalau Siska ini istrinya Mas Arga juga, lebih tepatnya bini muda?" tanya Sandra. Ada raut kaget di wajahnya, tapi hanya sebentar saja. Setelah itu kembali datar.

"Hahhh? Bini muda? gaya amat, kukira tadi dia pembantu di rumah ini. Kan, enak aku bisa lebih tenang pas kerja, nggak kemrusung kepikiran anak-anak."

"Kan, anak-anak bisa di sini kayak biasanya. Ada Siska juga di rumah. Seperti kata Mbak Rika kalau seorang istri harus berbakti pada suami, termasuk keluarganya juga."

"Emang dia bisa di andalkan?" tatapan Mbak Rika terlihat menilai.

"Tentu bisa, Mbak, nggak mungkin kan kalau Mas Arga salah pilih istri?" Sandra terlihat begitu semangat mempromosikan Siska. Harusnya ini bisa ia gunakan untuk menjatuhkan Siska di depan keluargaku, nyatanya ia malah mendukung penuh keputusanku. Sandra memang benar-benar bisa diandalkan. Tahu saja kalau suaminya ini tak mungkin salah pilih istri.

"Ohh begitu ... Baiklah, lagipula juga ada kamu ...."

"Maaf, Mbak ... Sandra sudah ada tugas sendiri yaitu mengurus Riko dan Farel. Bukan tak mau membantu, tapi memang itu sudah pilihannya Siska. Ia menyuruh saya fokus pada anak-anak, sedangkan semua yang bersangkutan dengan Mas Arga dia yang ambil alih. Benar-benar pengertian bukan, Mbak?"

"Begitu, tapi Mbak masih nggak yakin sama dia." Mbak Rika masih terlihat berat. Jangankan Mbak Rika, aku sendiri saja ragu dengan kemampuan Siska. Apa ia bisa mengerjakan semuanya? Belum lagi keponakanku itu sangat hiperaktif. 

Sandra juga, kenapa harus membebankan semua pada Siska? Harusnya tak begini aturannya. Siska hanya mengurus kebutuhan batinku, sedangkan Sandra menyiapkan keperluanku. Termasuk makan, pakaian, juga mengurus keluargaku. Kalau seperti ini, sama saja kayak punya istri satu.

"bisa kok ditraining dulu, Mbak, seperti aku dulu kalau Mbak Rika masih ragu. Maaf Mbak, Sandra harus pergi ke sekolah. Ada pertemuan wali murid. Silahkan Mbak lanjutkan dengan Siska sendiri. Percayalah kalau adikmu tak mungkin sembarangan memilih pasangan."

Setelah mengatakan itu, Sandra bergegas keluar. Bahkan ia sama sekali tak menoleh padaku. Ingin sekali menegur sikapnya yang tak tahu sopan santun itu. Hanya saja bibir ini kelu, meski hanya memanggil namanya saja. Ada ketakutan yang kurasakan, entah karena apa.

"Jadi namamu Siska, ya?" Mbak Rika berjalan memutari tubuh Rika. Bisa kulihat kalau Siska merasa tegang. Apalagi Mbak Rika sudah memperlihatkan sifat bosy. Sandra saja bisa mengatasinya, kupercaya kalau Siska lebih mudah mengatasi hal ini ketimbang Sandra.

"I-iyya, M-mbak." Suara Siska terdengar gugup.

"Kamu tadi sudah dengar kan apa yang diucapkan Sandra, kalau istri harus berbakti pada Suami. Nah, selain pada suami, kamu juga harus berbakti pada keluarga suamimu. Termasuk aku. Tenang saja, bukan sesuatu yang berat. Aku hanya minta padamu untuk menjaga anak-anak selama aku kerja. Pastikan mereka makan makanan yang bergizi juga istirahat yang cukup. Jangan sampai anak-anakku tak terurus di sini!

Selain itu, kamu juga harus menyiapkan makanan dan keperluan Ibu. Biasanya ini pekerjaan Sandra. Berhubung kamu sudah mengambil peran ini, jadi semua tugas Sandra sebagai menantu kamu yang ambil alih. Malu dong kalau hasil kerjamu kalah dengan Sandra."

"Jangan samakan saya dengan wanita tua itu!" ucap Siska nyaring. Lantas membuat kakak Perempuanku mendelik menatapnya. Pantang baginya untuk dibentak, apalagi yang melakukan itu hanya seorang menantu.

"Heh, jaga suaramu saat di depanku! jangan sampai suara merdumu itu tak terdengar lagi!" desis Mbak Rika.

Tentu saja itu membuat wanita yang berstatus istri keduaku tak berkutik. Aku saja yang lelaki tak pernah berani membantah ucapan Mbak Rika. Meski perempuan, tenaganya kuat sekali. Aku pernah babak belur di tangannya, karena membantah ucapannya.

"Maaf, Mbak," cicit Siska.

"Oke, pelatihan pertama kami lapar. Tolong kamu siapkan makanan untuk kami. Ingat, diolah kedua tanganmu sendiri bukan orang lain!"

"Ta-tapi, di kulkas tak ada bahan makanan, Mbak," ucap Siska takut-takut.

"Tinggal beli bahan apa susahnya? toh kamu juga sudah dibagi uang bulanan, kan sama Arga?"

Siska mengangguk lemah.

"Bagus, pakai uang itu. Di sana ada hak kami sebagai keluarganya. Cepat kamu belanja, jangan lupa beli buah sekalian. Di depan gang ada penjual sayur mangkal, beli di situ saja. Kalau ke pasar kelamaan, kasihan suamimu."

Siska menoleh ke arahku. Sorot matanya mengatakan kalau ia butuh bantuan. Aku mengangguk mengisyaratkan padanya untuk menuruti keinginan Mbak Rika. Dengan langkah gontai, wanita itu berjalan keluar. 

Kasihan Siska harus mengalami hal ini. Sirna sudah impian kami untuk melewati hari-hari secara romantis.

Aku menghela nafas kasar. Tak menyangka kalau terjadi seperti ini. Benar-benar di luar rencana.

"Kenapa kamu murung gitu? nggak suka Istrimu kuperlakukan seperti tadi?" tanya Mbak Rika tepat sasaran. Ingin jujur, tapi aku sendiri yang babak belur. Ah, diam lebih baik.

"Anak-anak kalian main di luar saja, ya? Mama mau ngomong sama Om Arga dulu," ujar Mbak Rika pada pasukannya. Bukan malah menuruti omongan mamanya, mereka pada berlarian kesana-kemari. Sembari meraih barang-barang yang bisa mereka gunakan untuk lempar-lemparan.

"Tisya, antar Oma ke kamarnya saja! Biar bisa istirahat," titah Mbak Rika pada anak sulungnya. 

"Sekarang, Ma?" tanya anak gadis berumur dua belas tahun itu. Tanpa menatap pada Mamanya. Matanya tetap fokus ke arah ponsel yang di pegangnya. Sungguh beda sekali saat ia berhadapan dengan Sandra. 

Entah sogokan apa yang diberikan Sandra pada gadis kecil itu. Hingga membuatnya begitu nurut padanya.

"Tisya!" bentak Mbak Rika tak sabar. Barulah gadis itu mendongak, menatap Mamanya yang tampak kesal.

"Tadi Mama nyuruh kamu apa?"

"Antar Oma ke kamar."

"Ya sudah cepetan, jangan main ponsel terus! Lama-lama ponselmu Mama sita, mau?"

"Ya jangan dong, Ma. Iya- ya, gitu saja marah-marah," balas Tisya. Dengan wajah masam, gadis itu mendorong kursi roda Ibu.

Setelah tubuh Tisya dan Ibu menghilang dari pandangan, Mbak Rika ganti menatapku tajam.

"Kamu itu jadi laki-laki kok nggak tahu di untung! udah bagus punya istri kayak Sandra yang nggak banyak tingkah. Malah sok-sokan nambah istri lagi. Lagi banyak duit?" sembur Mbak Rika tanpa jeda.

Heran, kenapa perempuan sukanya menyalahkan saja? Toh, laki-laki dibolehkan menikah lagi. Bahkan sampai empat kali. Perempuan saja yang suka berlebihan.

"Tapi Sandra nggak bisa merawat  tubuhnya, Mbak, sebagai lelaki normal mataku juga butuh hiburan, nggak kayak Sandra yang bikin sepet mata." Aku membela diri.

"Emang dasar kamunya yang buaya, pengen istri cantik itu mbok ya di modali. Bukan malah dikasih bini lagi. Daripada buat ngasih istri baru, mending carikan asisten rumah tangga. Biar Sandra bisa merawat dirinya sendiri. Toh, kamu juga kan yang seneng. Lihatlah, baru juga seminggu kutinggal penampilanmu sudah kayak orang ilang. Padahal ada istri dua."

"Ini semua salah Sandra, ia mengabaikan tugasnya sebagai istri. Semua pekerjaan dilimpahkan pada Siska, sedangkan ia hanya mandor. Padahal gaji sudah kubagi secara adil, harusnya pekerjaan juga dilakukan berdua. Bukan malah dilimpahkan ke orang lain."

"Siska itu juga Istrimu, bukan orang lain. Sejatinya tak ada wanita yang ingin di madu. Apa Sandra tak protes saat kamu menduakannya?"

"Nggak sama sekali. Hanya saja ia meminta tanggung jawab sebagai istri dibagi dua, tanggung jawab padaku atau tanggung jawab pada anak-anak. Hanya itu.

" Lalu?

"Siska mengambil tanggung jawab padaku, Sedangkan Sandra memilih anak-anak."

"Apalagi?"

"Sudah hanya itu, eh, ia juga memintaku dan Siska tanda tangan."

"Tanda tangan?"

"Heemb, tandan tangan perjanjian. Katanya agar aku tak melanggar perjanjian itu."

"Kok katanya? emang kamu sendiri belum baca?" Bola mata Mbak Rika membulat sempurna. Kenapa responnya begitu? lebay.

Aku menggeleng dengan tatapan bingung.

"Astaga, kamu jadi laki itu yang pinteran dikit. Jangan b*d*h jadi orang. Bisa saja isinya itu menjebak. Sebaiknya kamu baca sekarang, pelajari benar-benar. Jangan asal! Mbak mau ke dapur, lihat bagaimana kinerja istri mudamu. Satu komentarku untuk istrimu, dia cerdas."

Mbak Rika menarik paksa keluar kedua anaknya yang tengah mengacak-acak kosmetik milik Siska.
 Kuraih map yang ditinggalkan Sandra tadi. Rasa penasaran begitu tinggi terhadap isi perjanjian yang dibuatnya.

Aku terpaku saat membaca point pertama dari surat perjanjian.

Astaga.....



 



















 


Komentar

Login untuk melihat komentar!