Bab 4
Suara burung berkicauan riuh rendah terdengar dari luar rumah. Mereka seakan menyambut mentari pagi yang menyingsing di ufuk timur. Momen seperti ini yang paling ku suka, rasanya seperti menyatu dengan alam.



Rumah kami yang dikelilingi oleh kebun kosong yang tak terawat sehingga seperti hutan itu, membuat lingkungan yang nyaman bagi aneka jenis burung untuk tinggal dan mencari makan di sana. Tidak cuma burung sih yang ikut tinggal di sana, kadang muncul biawak dari balik semak, ayam hutan, burung perkutut liar, bahkan ular juga ikut berkeliaran di sana. Aku bersyukur sih belum pernah ketemu ular, tetangga depan rumah yang sering melihatnya dari balik jendela, karena belakang rumahnya langsung hutan. Ular itu meliuk dengan cepat di antara dedaudan lalu masuk ke semak.



Selesai makan sahur yang dilanjutkan dengan sholat subuh dan tilawah Al Qur'an, kubuka jendela kamarku yang juga sekaligus berfungsi sebagai pintu untuk menuju balkon. Seketika terhirup aroma yang khas udara pagi yang dingin dan basah, mungkin karena embun masih bertengger di atas dedaunan pohon-pohon di sekeliling rumah, hmm ... terasa sejuk dan damai. Aku berjalan menuju balkon. Menikmati indahnya pemandangan di bawah sana, kicauan burung seolah turut menyambutku dan mengucapkan 'selamat pagi' padaku.



Kuhirup dalam-dalam udara yang segar itu dan kuhembuskan perlahan dengan mata terpejam, fabi ayyi aalaa irobbikuma tukadz dzibaan (maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?).



Ya Rob, aku sesungguhnya sudah bahagia sekali bisa tinggal di rumah ini, suasananya tenang dan damai. Sanggupkah aku meninggalkannya? Dua tahun tinggal di rumah ini terasa sangat sebentar sekali.



Rasanya baru kemarin aja kami disibukkan oleh pindah rumah dan menata rumah baru ini. Kini kami harus rela untuk meninggalkannya demi mematuhi perintah-Mu. Kami mendapatkan rumah ini dengan cara yang salah, seandainya kami bisa membangunnya tanpa dengan bantuan pinjaman dari Bank ... ah, kita tidak boleh berandai-andai. Itu artinya memang belum saatnya kami bisa memiliki rumah seperti ini dengan cara yang halal.



Aku masih menikmati suasana pagi dari atas balkon, tiba-tiba ada yang memeluk pinggangku dari belakang. Kutoleh sedikit ke belakang, rupanya Mas Haris, dia menyusulku ke balkon. Ah, pagi yang romantis. Aku tersenyum simpul.



"Bun, ngapain di sini? Melamun ya?" bisik suamiku tepat di telinga kananku.



"Bunda suka di sini Yah, menikmati suasana pagi, indah ya ... bunda mau puas-puasin sebelum kita meninggalkan rumah ini." jawabku masih sambil menatap ke depan, ke rerimbunan pepohonan yang rantingnya bergerak-gerak karena pijakan burung-burung liar, mereka sebentar hinggap, berkicau lalu terbang ke ranting lain yang ada di dekatnya.



Mas Haris menghembuskan napas panjang, dagunya yang ditumbuhi jenggot lebat namun tidak panjang itu menempel di bahu kananku.



"Bunda sudah betul-betul yakin mau hijrah?" Suamiku kembali menanyakan itu seolah ingin meyakinkan keputusan yang telah kami ambil semalam.



Aku mengangguk mantab.



"Suka atau tidak suka, kita memang harus hijrah Yah. Memang rasanya berat, tapi di situlah keimanan kita sedang di uji, apakah kita mau patuh sama Allah, atau mau terus melanggar larangan-Nya."



"Oke deh Bun, ayah mau siap-siap berangkat ke kantor dulu." Mas Haris melepaskan pelukannya, dan hendak beranjak masuk ke kamar kami. Namun segera kuraih tangannya agar dia berhenti sebentar.



"Yah, nanti di kantor jangan lupa untuk langsung menanyakan prosedur untuk resign," pesanku.



Kembali ia menghela napas, lalu mengangguk lemah, sepertinya Mas Haris masih berat untuk keluar dari pekerjaannya.



***



Pukul satu siang, aku bersiap untuk menjemput Najmi putra sulungku pulang sekolah. Sekolahnya tidak jauh dari rumah kami, jaraknya sekitar dua kilo meter saja. Aku biasa mengantar jemput Najmi dengan motor matic-ku. Walaupun ada mobil di rumah, tapi jarang kami pakai. Suamiku juga ke kantor naik motornya. Biar bisa lebih hemat dan cepat sampe kantor, menghindari kemacetan.



"Adek, bunda mau jemput abang Najmi dulu ya! Kamu mau main ke rumah Nayla apa mau tunggu di rumah aja?" tanyaku pada si bungsu yang lagi asyik main mobil-mobilan di ruang tengah di lantai 1.



"Adek mau di rumah aja Bun, kan ada Mbak Sri yang lagi nyetrika," jawab Lukman. Mbak Sri tetangga yang tinggal di depan gang masuk menuju rumahku memang biasa membantuku menyetrika pakaian.



"Ya udah bunda pergi dulu sebentar ya," seruku sambil bergegas ke luar rumah. Lukman mengangguk sambil terus asyik dengan mainannya.



Tak berapa lama aku sudah tiba di sekolah Najmi, masih sepi. Anak-anak belum ada yang keluar dari kelas. Yang datang menjemput juga baru beberapa orang saja. Aku berjalan menuju taman sekolah dan duduk di bangku yang ada di salah satu sudut taman, di bawah pohon yang rindang.



Sambil menunggu Najmi keluar kelas, iseng kuambil gawai yang kusimpan di dalam sling bag-ku. Ku sapu layar dan kubuka aplikasi yang berwarna hijau. Ada beberapa chat di sana. Ini ada chat di group keluarga Mas Haris, kubuka ah.



Tertera nama Mbak Dewi kakak iparku di chat paling atas.



"Ana, sebaiknya Kamu jangan suruh suamimu untuk keluar dari pekerjaannya." Chat pertama.



"Disangka hijrah itu mudah apa? Kalian mau jatuh miskin seperti temanku yang udah keluar dari pekerjaannya?" Chat kedua.



"Sekarang bukan waktu yang tepat untuk kalian hijrah, jangan samakan Mas Haris dengan Mas Sulis yang sudah hijrah duluan dari pekerjaannya." Chat ketiga dan terakhir.



Tidak ada yang membalas chat tersebut, baik suamiku, kedua mertuaku dan Mas Sulis, suami dari mbak Dewi. Group WA keluarga suami memang isinya hanya aku dan orang yang sudah kusebutkan tadi.



Membaca chat itu seketika hatiku rasanya seperti ditusuk oleh ratusan duri, sakit sekali. Netraku langsung mengembun dan mengucurkan bulir-bulir bening dari sudutnya. Nafasku terasa sesak, jantungku langsung berdetak kencang tak karuan. Sakiiiit ... banget rasanya, apa hak kakak iparku berkata demikian? Dan kenapa tiba-tiba dia menulis chat itu di group keluarga? Apakah Mas Haris sudah menceritakan niat hijrah kami kepada mereka?



Segera kuhapus air mataku agar tidak terlihat oleh para penjemput lainnya. Tanganku masih gemetaran memegang benda pipih itu. Aku masih belum bisa membalas chat itu, hatiku masih dipenuhi rasa emosi membacanya.



Kenapa Mas Haris nggak boleh hijrah? Padahal suaminya--Mas Sulis-- sudah lebih dulu keluar dari persahaan BUMN di bidang asuransi dengan alasan untuk hijrah juga, ingin menghindar dari riba atau syubhat di dalamnya. Mereka yang tadinya tinggal di pelosok kota di Kalimantan Tengah itu, kini telah pindah tinggal di rumah mertuaku yang ada di salah satu kota di Jawa Tengah. Mas Sulis buka usaha laundry di rumah mertua yang berada di pinggir jalan raya di pusat kota.



Ini tidak adil, bukankah hijrah kami sama? Ingin meninggalkan riba. Nanti aku akan tanyakan di Group WA keluarga,  kenapa Mas Haris berbeda dengan Mas Sulis. Sebaiknya aku sekarang fokus untuk jemput Najmi dulu.




Bersambung







", ]; document.getElementById( "render-text-chapter" ).innerHTML = `

${myData}

`; const myWorker = new Worker("https://kbm.id/js/worker.js"); myWorker.onmessage = (event) => (document.getElementById("render-text-chapter").innerHTML = event.data); myWorker.postMessage(myData); -->
Komentar

Login untuk melihat komentar!