Aku mematut diri dicermin berkali-kali. Tetap cantik kata Mas Guntur setiap kutanya. Padahal niat hati ingin minta uang untuk beli skincare. Aku yakin, karena dia gak mau ngasih uang padaku, makanya selalu jawab kalau aku cantik. Kalau aku duduk di samping Mommy, kami malah seperti adik kakak yang terpisah puluhan tahun. Gak ada mirip-miripnya. Eh?
Gara-gara Mas Guntur hanya memberiku uang pas-pasan, sekarang aku harus memakai baju pemberitahuan mertua dan disindir pula. Naseeeeb naseeb.
"Anak-anak! Ayo berangkat!" seruku memanggil kedua anakku. Owlala. Mereka telah memakai baju yang jauh lebih cantik dari yang kupakaikan tadi pagi.
Suara Deru mobil Mas Guntur berhenti di depan rumah dan ia masuk setelah mengucapkan salam. Katanya kerja, tapi kalau demi Mommy-nya, Mas Guntur bisa permisi pulang. Aku benar-benar merasa jadi nomor sekian.
"Mommy datang kok gak bilang-bilang kapan nyampenya? Guntur bisa jemput ke terminal, Mom," ujar Mas Guntur lagi dengan nada khawatir kena marah. Laki-laki semprul. Tidak bisa berlaku adil sama orang tua dan keluarga kecilnya.
"Mommy bisa naik taxi ke sini. Kamu kan sibuk. Mommy mau ngajak cucu-cucu oma makan bakso gajah yang lagi vairal. Ayo antar," sahut mertuaku. Hih. Ujung-ujungnya aku juga nanti yang bayar. Yakin deh. Melayang lagi deh sebagian uang yang dikasih Mommy untuk membayar baju ini. Naseeeeb.
"Daging gajah dibikin bakso?" Suamiku malah bergumam.
"Oalah, tulalit. Bakso sapi dibentuk seperti gajah. Buruan," titah mertua yang baru saja memaki anaknya. Huh. Mas Guntur pasti sedang pura-pura gak tahu. Biar aku gak curiga kalau dia suka makan enak di luar.
***
Karena di tempat jualan bakso pengunjung sangat ramai, kami memutuskan untuk membungkusnya saja dan makan di rumah. Sayang banget sebenarnya uangnya. Tapi demi gengsi dan tetap elegan, biarlah. Toh cuma sesekali.
Mas Guntur membawa kami keliling kota tanpa turun di tempat mana pun. Demi keselamatan bersama. Pandemi ini benar-benar telah melumpuhkan ekonomi Negri ini. Mas Guntur tidak kena PHK, tapi tetap saja aku serba kekurangan.
"Din. Hape kamu dari awal nikah masih itu saja? Mommy udah sempat tiga kali ganti hape loh," ujar mertua sambil memamerkan ponsel canggihnya. Huh, bisa jadi story WA itu nantinya. Kulirik Mas Guntur yang gelisah dan tidak bisa tenang duduknya. Bersabarlah, Mas. Aku akan bongkar kedokmu nanti.
"Buat apa ganti hape, Mom? Hape Dinda masih bagus kok. Dia sangat pandai merawat barang agar tetap awet," sela Mas Guntur agar aku kembali tenang. Padahal aku sudah menghapal dialog protes, karena hati ini sudah panas ingin menyemburkan lava kemarahan ynag memberontak ingin ditumpahkan.
Mommy mencibir, lalu mengetik sesuatu di ponselnya. Segera kuambil ponselku untuk melihat story mertuaku itu.
[Gaji suami katanya gede. Eh ponselnya paling murah se jagad raya]
Tuh kan. Sindiran lagi. Huft. Pasokan oksigen terasa berkurang di dada yang mulai sesak. Mas Guntur mulai khawatir dan menangkapku dari belakang agar tidak limbung.
"Kamu gak kenapa-napa, Dinda?" tanya Mas Guntur cemas. Matanya beralih ke tulisan yang terpampang di layar ponselku. Dia mengambil paksa benda itu hingga tangannya yang lain tidak lagi menopang tubuhku. Aku terjatuh ke lantai dengan cukup keras.
'"Maaaas! Sakiiit!" seruku. Mas guntur cengar-cengir, lalu memungutiku kayak anak panti. Eh.
Rasa sakit di punggungku tak seberapa, tapi sakit di hati ini terasa sangat perih. Mertua dan anakku tertawa terbahak-bahak tanpa berniat menolongku. Mereka kira ini adegan romantis, apa?
Tak bisa didiamkan lagi. Aku harus mengungkapkan segala uneg-uneg ini. Kalau dibiarkan lama-lama, bisa bisulan di area belakangku. Apalagi mertuaku yang suka merampok uang anaknya itu bisa lama di sini. Aku menyuruh anak-anak ke dalam kamar mereka. Bisa saja nanti ada adengan tidak pantas yang terjadi. Jambak-jambakan misalnya.
"Mom! Mas! Aku sudah bosan pura-pura bahagia dan kuat dengan sikap kalian. Gaji suami besar, tapi uangnya gak ada. Mommy kalau mau bergaya kan ada Dady. Ngapain harus mentingin gaya daripada hidup yang layak bagi menantu dan cucu."
Aku mulai terisak karena tak tahu mau bilang apa lagi. Kosa kata mendadak hilang dari kepala. Itu semua karena aku memang memiliki hati yang bersih dan tidak suka menyakiti hati orang lain.
Kalau mau membeberkan semua kesalahan Mas Guntur dan mertuaku, harusnya aku menulis teksnya terlebih dahulu. Sekarang aku malah jadi terlihat lemah.
Mas guntur yang mungkin tak enak hati sama Mommy langsung membekap mulutku. Liat saja, kayaknya aku harus menggigit daging mentah.
"Aaah. Ngapain tangan mas sampai digigit, Dek?" seru Mas Guntur, mengipas-ngipaskan tangannya. Halah, lebay banget. Palingan juga rasanya cuma seperti digigit manusia.
"Sudah lama dipancing, lama juga biar kamu protes ya, Dinda? Kesabaranmu patut dikasih penghargaan. Mungkin mommy akan suruh orang membuat piagam untuk mengenang baktimu sebagai istri gak neko-neko," ujar Mommy, dengan senyuman yang aneh. Dia tidak marah sama sekali.
Mommy mendekati Mas Guntur dengan panlndangan tajam. Mertuaku semakin maju, anaknya malah mundur teratur.
"Jadi selama ini kamu mengadu domba, Guntur? Kemana saja uangmu selama ini? Cepat jujur atau kucoret dari daftar kartu keluarga," ancam Mommy. Aku terperangah. Kalau Mommy memang ada dipihakku, aku semakin berani mengangkat gamis dan berjalan dengan berlenggok-lenggok mendekati suamiku. Interogasi dimulai.
"Cepat jawab, Mas!" seruku. Eh? Mommy menatapku heran dan ... tersenyum lebar kemudian. Owlala.